“Jadi apakah kalimat ‘Adik menendang anjing itu’ dengan ‘Anjing itu ditendang adikku’ sama? Apa seharusnya kita bilang ‘air putih’ atau ‘air bening’? Apakah kata ‘wanita’ bersinonim dengan ‘perempuan’? Apakah kalau ada orang bilang ‘Saya tidak ingin mandi dengan air dingin’ berarti ia ingin mandi dengan air panas? Nah, itu semua yang harus kalian teliti, bagaimana Bahasa Indonesia bermain dan menjelaskan itu semua.”
Sayup-sayup Gita mendengar suara Pak Farhan, dosen Bahasa Indonesia, di salah satu ruang kelas di lantai tiga. Saat semester satu dan dua lalu, Pak Farhan juga yang mengajar mata kuliah tersebut di kelasnya. Cara mengajarnya lugas, orangnya asik dan mudah akrab dengan mahasiswa walau usianya sudah di atas lima puluh tahun. Saat Gita sampai di lantai tiga tadi, ia sempat berpapasan dengannya dan melempar senyum.
Gita tengah menunggu Pak Gun di depan ruang tersebut, ruang itu berada di dekat tangga lantai tiga dan juga lift. Ia tidak mau menunggunya di depan ruang dosen lagi, ia memutuskan menunggu di sana saja dengan mata dan telinga awas memperhatikan tangga juga lift ketika pintunya terbuka.
“Ini setelah kamu tulis SL[8]-nya langsung kamu tulis TL[9]-nya di bawahnya, setelah itu baru kamu tulis analisisnya di paling bawah. Tidak perlu dijelaskan lagi SL itu menceritakan begini TL itu begitu, terlalu bertele-tele, itu sudah kamu jelaskan di bab dua, tidak perlu kamu tulis lagi di sini, langsung analisis saja datanya.”
Di sudut selasar, terlihat Pak Evert dengan salah satu mahasiswa yang sedang bimbingan. Mereka sudah di sana ketika Gita tiba di lantai tiga. Gita tahu mahasiswa tersebut, ia adalah Katingnya, Gita sering melihatnya jika sedang ke ruang Pak Evert. Kalau tidak salah ia adalah anak bimbingan Pak Evert sejak lama. Pak Evert bilang ia sempat menghilang selama beberapa semester dan tiba-tiba datang ingin menyelesaikan skripsinya dengan masa studi yang tinggal satu semester lagi. Geregetanlah Pak Evert.
Gita sebenarnya ingin sekali menghampirinya, ingin bersalaman atau sekedar menanyakan kabar. Namun urung ia lakukan khawatir tiba-tiba Pak Evert bertanya kenapa ia tidak jadi bimbingan dengannya, Gita pasti bingung akan menjawab apa. Sejak mata kuliah Seminar Proposal, ia menjadi cukup dekat dengan wakil dekan tersebut. Tidak lain tidak bukan karena proposal skripsinya sempurna sekali di matanya, jauh lebih paripurna dibanding Lidya atau Faiz dan Gilang yang habis dicela sampai harus mengganti data. Gita bahkan sempat dua atau tiga kali bertemu Pak Evert untuk konsul soal skripsinya sebelum ia mendapat dospem sah yang sekarang.
Jam di ponselnya menunjukan pukul sembilan lewat tujuh belas menit. Hari ini ia janjian dengan Pak Gun jam setengah sepuluh, karena Pak Gun ada kelas pengganti sampai jam sembilan lewat sepuluh. Ia bertekad akan langsung menelponnya tepat pukul sembilan dua puluh menit nanti. Sebenarnya Gita menanyakan di ruang mana Pak Gun mengajar agar ia bisa menunggu di depannya, tapi dijawab kalau ia tidak mengajar di jurusan Sasing dan menyuruhnya menunggu di ruang dosen saja.
Tiba-tiba ponselnya berdering, tertera nama Dosen Pak Gun di layarnya.
“Halo.” Ucap Gita.
“Langsung ke bawah ya, Git.” Balas Pak Gun.
“Ke bawah ke mana, Pak?” Gita langsung bangkit menuju tangga.
“Lantai dua, di ruang…coba kamu cari aja deh saya di ruang berapa, lupa saya tadi.” Pak Gun langsung mematikan ponselnya.
“Rese bet nih dosen.” Gita merutuk, bagus saja tadi ia menunggu dekat tangga sehingga bisa langsung turun, kalau ia menunggu di depan ruang dosen maka ia harus memutar sembilan puluh derajat dulu baru sampai tangga. Kebanyakan fakultas di kampusnya memang berbentuk persegi.
Sampai di lantai dua, Gita langsung menelusuri setiap kelas di sana. Tidak mau mengulang kesalahan yang sama, ia tidak hanya menengok ke kelas tetapi juga masuk ke dalam atau menggeser pintu. Jaga-jaga kalau Pak Gun bersembunyi di belakangnya. Ia sampai di ruang 2.18, ruang kelima yang ia periksa dan menemukan Pak Gun di sana.
“Permisi, Pak.” Gita mengetuk pintu.
“Masuk, Git.” Jawab Pak Gun tanpa mengalihkan pandangan dari atas meja.
Gita masuk menghampirinya.
“Duduk.” Pak Gun menyuruhnya duduk. Gita duduk di depannya dan melihat Pak Gun tengah mengoreksi, sepertinya mata kuliah Structure.
Sekira sepuluh menit setelah Gita duduk mereka hanya terdiam. Pak Gun masih sibuk mengoreksi, sesekali wajahnya menampakan kekesalan dan kepalanya menggeleng. Walau kesal karena keberadaannya seperti tidak digubris sama sekali, Gita tetap tidak berani menegur Pak Gun. Ia hanya memperhatikan saja dosen di hadapannya yang sedang serius itu. Sesekali melihat wajahnya sesekali melihat koreksiannya. Tepat ketika Gita melihat wajah Pak Gun, ia mengangkat kepalanya, menangkap Gita yang sedang memperhatikannya dan mengangkat alisnya.