Suara sirine berbunyi mendekat, cahaya lampu merah dan biru memantul dan menyinari kegelapan.
Dua mobil polisi mematikan mesin mereka setelah mereka tiba, telah membuka jalan untuk mobil ambulance yang menyusul di belakangnya.
Aku mencoba untuk bernapas dengan teratur, tapi kengerian masih merambat di dalam tubuhku.
Terduduk di pojokan, menangis, mengubur wajahku dibalik rambut-rambut cokelat milikku yang sudah mulai panjang.
Polisi bergegas masuk ke dalam Villa tempat kami tinggal, bergerak cepat menuju tempat perkara kejadian.
Dapat kudengar suara sepasang sepatu berjalan menghampiri, ku tadahkan wajahku ke atas untuk mengintip dari sela-sela rambut yang masih menutupi sebagian mukaku. Seorang penyelidik sepertinya.
Pria itu berlutut di depanku dan memulai pertanyaannya, "apakah kalian yang menghubungi 112?" dia berpaling ke arah kanan, menatap ke arah Karina. Wajahnya masih pucat pasi. Namun bisa ku pastikan seperti itulah warna wajahku sekarang apabila aku bisa bercermin.
Jangankan bercermin, bahkan sekarang tidak ada lagi waktu untuk memikirkan hari esok, atau masa depan. Setelah apa yang kami lalui.
Hanya tinggal aku dan Karina saja.
"Betul, saya yang tadi menelepon," jawabku dengan suara serak.
Penyelidik itu kembali berpaling ke arahku, "baik, tolong ikut dengan saya ke ruangan lain. Saya perlu menginterogasi kalian berdua secara satu persatu."
Karina mendongak, "apa? Interogasi? Apa maksud Bapak? Bapak pikir kami pelakunya?"
Pria itu menggeleng, "ini juga merupakan prosedur, baik itu untuk mendapatkan pengakuan dari saksi, apabila nanti dibutuhkan untuk pengadilan. Atau untuk tujuan mencari ciri-ciri dari tersangka," jelasnya.