“Beginikah takdir? Atau beginikah aku menamakannya sebagai takdir?”
_____
Reynand Panji.
Aku dan Rey kuliah di kampus yang sama. Aku bingung bagaimana aku menamakannya.
Takdir? Entahlah. Kami memang sudah saling mengenal sejak lama. Meski dia berada di jurusan manajemen semester tujuh dan aku di jurusan psikologi semester tiga, tapi dalam beberapa acara dan kesempatan, aku selalu bertemu dengannya. Aku tidak merasakan debar-debar asmara seperti halnya hati yang jatuh karena cinta. Aku juga tidak merasakan hati yang berbunga-bunga seperti yang terjadi terhadap orang-orang yang mulai dimabuk oleh rasa yang tak biasa.
Aku memandangnya dengan tatapan yang biasa-biasa saja. Namun kemudian, saat papa meninggal karena sakit, seolah Tuhan memang sudah menyiapkan keberadaannya untukku, dia menjadi seseorang yang paling berarti dan bersedia dengan tenang menemani masa-masa sulitku.
Perasaan yang tak diinginkan mulai mekar. Rasa yang tak diharapkan mulai tumbuh. Aku mulai merasa takut akan kehilangannya. Aku tidak memedulikan lagi apapun yang ada di sekitarku selain Rey. Kehilangan papa dan menghadapi mama yang mulai tidak terkontrol membuatku muak dan menyerah pada mimpi-mimpi besarku dulu. Entah sudah berapa laki-laki yang mama sembunyikan di kamarnya. Aku sungguh lelah. Maka pada malam-malam panjang yang Rey gunakan untuk menemaniku, aku mengungkapkan seluruh perasaanku terhadapnya.
“Rey, udah cukup kamu nemenin aku sebagai teman.”
“Aku ngelakuin kesalahan?” tanyanya.
“Aku mulai merasa takut kehilangan kamu. Apa artinya?”
Rey terdiam. Jemarinya saling bertautan erat. Posisi duduknya terlihat sangat tidak nyaman. Dia mulai tampak gusar. Aku mendengarnya menarik napas panjang berkali-kali.
“Maaf, Rey. Tapi aku juga memang nggak minta kamu selalu ada di samping aku. Kamu ada saat Papa meninggal. Bahkan setelah berbulan-bulan lamanya. Mama aja udah mau nikah lagi dan entah. Waktu berjalan, Rey. Dan kamu masih ada di samping aku. Aku mulai merasa nggak nyaman kalau satu jam aja tanpa kamu.”
“Aku sebenernya udah lama mikirin perasaan aku ke kamu, Kia. Cuma masih takut untuk ngungkapin semuanya karena takut waktunya belum tepat.”
Rey mengucapkannya dengan ragu-ragu. Aku menatapnya. Dari sikapnya, aku tahu kalau dia memang juga memiliki perasaan yang sama denganku. Tapi entah dia akan menyetujui atau tidak hal gila yang akan aku sampaikan.
“Ayo kita nikah aja, Rey. Kamu sanggup?”
Rey terperanjat. Sorot matanya menunjukkan bahwa dia tidak percaya dengan apa yang aku katakan barusan. Lidahnya seolah kaku karena bibirnya terbuka tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku tertawa.
“Kenapa? Nggak mau?” ledekku.
Rey menggeleng cepat. Aku masih menjalani semester tiga dan Rey baru mempersiapkan sidang skripsinya agar dapat segera magang di perusahaan milik ayahnya. Aku memahami perasaan kagetnya. Aku bangkit dan menepuk bahunya.
“Lupain aja, Rey. Aku tahu kalau permintaan aku konyol. Lagian nikah nggak sesederhana ini kan? Kamu pulang gih. Udah malem.”
Aku mengucapkannya sembari berjalan masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba Rey menarik tubuhku dan dia memelukku sangat erat. Rasanya nyaman sekali berada di dalam pelukannya. Aku merasa sangat aman meskipun sudah tak ada lagi papa di dunia ini. Rey telah melindungiku selama ini.
“Jangan terlalu banyak berpikir. Apalagi sampe ngajakin aku nikah. Biar semua aku yang urus. Kamu cuma harus bahagia. Biar aku yang bahagiain kamu, Kia,” ucap Rey.
Ucapannya terasa sangat hangat di telingaku. Aku tidak dapat mendeskripsikan yang aku rasakan pada saat itu. Rasanya seolah seluruh dunia sedang memelukku. Memenuhi semestaku dengan kebahagiaan. Aku tahu bahwa mulai saat itu, akan selalu ada Rey yang tidak akan pernah membiarkanku sendirian.
***