Aku menekan dadaku dengan sangat kuat. Masih mengingat betul bagaimana luka yang terbentuk di mata Monic. Sama seperti luka di mata Rey yang sampai saat ini membuatku kesulitan terlelap. Aku mengira bahwa aku adalah jodohnya dan aku memang ditakdirkan untuk hidup bersamanya. Namun kenyataan berkata lain. Aku merusak hidupku sendiri. Aku menghancurkan keluargaku.
Napasku mulai tersengal.
Entah mengapa aku tidak merasa bodoh karena telah mencintai seseorang yang lain. Seseorang yang kini lukisannya sudah hampir satu jam aku pandangi. Aku masih mengingat aroma tubuhnya.
Sesekali, membayangkan aroma tubuhnya membuat kerinduanku membuncah. Seolah hidupku kembali bergairah. Aku hanya dapat memejamkan mata dan mengingatnya saat tersenyum.
“Saya belum pernah ngajak siapapun ke danau ini. Gimana? Nyaman?”
“Aku nggak tahu kamu bakal bawa kabur aku sejauh ini. Nyaman kok.”
Aku tersenyum dan menyandarkan kepalaku ke bahunya.
Danau yang dulunya merupakan lokasi pertambangan pemecah batu untuk pembuatan beton di kota Bogor, kini menjadi tempat yang menyenangkan dengan air danau yang berwarna hijau. Aku menyukainya. Dia mengacak rambutku lembut.
“Kalau bisa saya mau bawa kamu ke tempat yang lebih jauh dari ini. Biar cuma tersisa saya yang milikin kamu.”
Mendengar kata-katanya, dadaku bergetar. Tubuhku serasa membeku. Matanya menatap lekat ke dalam mataku. Tubuhnya semakin rapat dengan tubuhku. Dia merengkuhku ke dalam pelukannya dan mencium pipiku yang sepertinya sudah memerah karena perkataan manisnya.
“Ini untuk ucapan terimakasih karena udah mau nemenin saya hari ini.” Dia mencium pipi kananku.
“Ini untuk kamu yang selalu cantik.” Dilanjutkan dengan mencium pipi kiriku. Aku tersipu. Dia mendaratkan bibir lembutnya di keningku.
“Untuk selalu mendamaikan hati kamu?” tebakku.