Hari-hari berlangsung seperti biasanya. Tidak ada yang berubah dan tidak ada yang aneh. Semuanya masih berada di tempat yang semestinya.
Sarapan bersama dengan Rey dan Alysa. Alysa berangkat ke sekolah. Rey berangkat ke kantornya di Kementrian Pariwisata. Beberapa program yang dilakukan pemerintah membuatnya harus sering ke luar kota. Dan aku? Dengan kegiatan yang tidak manusiawi, masih berusaha memanusiakan manusia.
Aku meminta Asri untuk tidak bekerja terlalu keras. Aku juga sangat memohon kepada Dhea untuk benar-benar menyeleksi kegiatan yang paling penting saja untuk aku terima. Memang yang memutuskan akan mengambil kegiatan itu atau tidak adalah aku. Tapi yang membawa daftar kegiatan atau sejumlah proposal ke mejaku adalah Dhea. Jadi tolong Dhe, tolong peka sedikit.
“Ibu yang minta agar saya memasukkan beberapa kegiatan sosial. Ibu juga yang minta saya untuk memasukkan daftar dari proposal acara yang menarik. Oya, dan tv. Tidak boleh menolak acara tv. Radio. Meeting bareng editor bukunya Ibu.”
Itulah Dhea. Selalu berada di jalan yang lurus dan tidak pernah menyalahi perintah. Dia tidak pernah lalai. Hebat sekali. Dhea adalah mahasiswi psikologi tingkat akhir yang sudah bekerja di kantorku hampir satu tahun. Kantorku tidak memiliki banyak pegawai. Di dalamnya hanya berisi aku, Asri, Dhea, Rifki, Vio (Jujur kadang aku bahkan lupa bahwa di kantor ini ada yang bernama Vio. Karena dia sangat pendiam dan keberadaannya sedikit diragukan. Pekerjaannya di bidang administrasi sangat bagus. Namun dia tidak terlalu seru untuk diajak berkomunikasi.), dan yang terakhir adalah Rahmat. Selain Vio, tugas kami sangat fleksibel. Mungkin karena itulah kantorku jarang sekali kehilangan karyawan-karyawan handal. Ya seperti Dhea ini.
“Tapi, Dhe. Kalau semua kamu taruh di meja saya dan saya terlanjur baca, saya susah untuk nolak. Jadi tolong kamu yang pilih ya? Kalau kamu nggak percaya, coba tanya Asri. Sehari bahkan saya bisa ke sana ke mari. Loncat sana sini kayak bunglon. Cuma buat ngisi acara. Dan itu nggak satu dua acara. Lima, Dhe. Lima. Saya bahkan makan siang sambil kayang saking pegelnya pinggang saya.”
“Okey, Bu.”
Dhea mengiyakan kata-kataku namun dia langsung pergi. Sebentar, dia beneran bilang iya kaaaaan? Aku mengacak rambutku frustasi. Terdengar ada yang mengetuk pintu. Aku bahkan tak mampu mengangkat kepalaku.
“Ki...”
Suara Asri.
“Lagi ke laut Kiaranya,” jawabku sekenanya.
Dia memukul bahuku dengan buku agendanya.
“Aw! Sakit. Asri nakal!”
“Sore ini harus ke kantornya Pak Sumanta.”
“Ada apa di sana?”
“Ada karyawannya yang bermasalah dan alih-alih malas berurusan sama polisi, dia malah nyerahin karyawannya ke kantor kita.”
“Asri, ini kantor konsultan kan? Aku nyediain jasa sebagai psikolog. Bukan penanganan tindak kejahatan. Ada apa sih sama orang-orang kita? Sebagian bilang kita ngurusin orang sakit jiwa aja. Sekarang dia minta apa? Aduh tolong, pinggangku...”
“Berhenti ngeluh. Kita ke sana aja dulu.”