Sudah hampir lima belas menit, tak ada yang bicara. Aku dan Rey sama-sama terdiam dalam kecamuk hati masing-masing. Sejujurnya, aku tak pernah menginginkan suasana seperti ini. Tapi aku rasa aku sudah harus mulai membicarakan masalah hatiku. Agar dapat diatasi bersama.
“Aku tahu kamu mulai bosen ke aku, Rey.”
Rey masih terdiam. Namun matanya sudah beralih ke arahku. Dia menatapku dengan tatapan yang entah. Aku tak dapat mendefinisikannya. Dia hanya terlihat lelah.
“Aku tahu kita butuh banyak waktu untuk kembali ke perasaan masing-masing. Kamu pasti bosen sama aku. Lelah juga sama kegiatan aku. Belum lagi ditambah pekerjaan kamu. Aku tahu kalau aku nggak seharusnya nahan kamu kayak gini. Tapi ayo kita bicarakan. Kita harus gimana?”
Rey menggamit jemariku dan menggenggamnya.
“Cukup percaya aku, Kia. Percaya kalau aku nggak akan pernah ninggalin kamu. Aku nggak akan pernah biarin kamu dan Alysa berjuang tanpa aku. Urusan pekerjaan aku memang makin menggila. Tapi memang ada pilihan? Kalau aku kerja di kantor Papa, keadaannya akan lebih parah dari ini. Aku bahkan nggak akan punya waktu untuk bikinin kamu kopi di rumah.”
Rey benar. Sialnya, dia memang selalu benar. Aku dapat mengerti. Tapi dua minggu? Aku pasti akan sangat merindukannya. Dan aku membenci perasaan-perasaan seperti itu. Mengingatkanku pada perasaan merindukan papa yang sudah tak ada lagi di dunia ini. Aku mencium punggung tangan Rey dan menahan tangisku.
“Aku cuma nggak suka kalau kangen tapi nggak bisa ketemu kamu,” ucapku sedikit merengek.
Rey mengusap rambutku lembut. Sudah delapan tahun pernikahan kami. Dan Rey masih setia menjaga janjinya untuk melindungiku. Pada malam aku meminta untuk Rey menikah denganku, ke depannya sudah tak ada lagi ketenangan. Rey memaksa orang tuanya agar menyetujui pernikahan kami. Mama dan papa Rey juga tidak memiliki alasan yang spesifik untuk menolakku. Well, dari segi fisik aku memiliki tubuh dan wajah yang proposional. Untuk hal akademik pun aku selalu berada di nomor teratas paralel satu angkatan. Dan mama, yang entah bagaimana mendadak menjadi sangat perhatian mengenai rencana pernikahanku. Akhirnya, lima bulan kemudian kami menikah. Tepat saat aku sudah masuk ke semester empat dan Rey yang sudah selesai sidang skripsi.
“Nggak ada yang mudah, kan? Kita udah lewatin banyak hal yang lebih sulit dari ini.” Rey mencoba menenangkanku. Satu dua tetes air mataku jatuh. Dan aku langsung berusaha menguasai diriku. Aku menarik napas dan mencoba tersenyum.
“Kamu belum jawab pertanyaan aku," ucapku merajuk.
“Yang mana?”
“Kamu bosen ke aku, kan?”
“Yang tadi mah bukan pertanyaan. Tapi pernyataan, Kia. Kamu langsung bilang kalau kamu tahu aku bosen ke kamu.”