“Setidaknya hati, ingin merasakan bahagia meski hanya sekali. Selanjutnya hati, akan layu hingga tak ada yang tahu kapan ia mati.”
_____
Suara tawa menggema di seluruh ruangan. Semua karena kata-kata dosen seni rupa yang masih sangat muda dan terlihat seperti usianya tidak jauh berbeda denganku. Kami tidak sempat berkenalan karena aku datang terlambat ke aula fakultas seni. Aku harus mengurus seluruh keperluan Alysa dan beberapa masalah di kantor. Rey sudah lima hari di Surabaya. Aku benar-benar kelimpungan. Sesekali saat aku pulang terlambat, aku menelepon mama Rey untuk membantuku menjemput dan menjaga Alysa. Untungnya, karena Alysa adalah cucu perempuan satu-satunya dan tumbuh menjadi anak yang menggemaskan, mama Rey mulai sangat menyayangi Alysa. Mereka sudah menjalin kedekatan. Akupun sudah melupakan hal-hal yang tidak mengenakan hati di masa lalu dan sudah tidak perlu mengkhawatirkan lagi keadaan psikologis Alysa.
“Kalian lihat gambar di dalam kertas ini? Saya menggambar Ibu Kiara saat dia sedang menyampaikan materi tadi. Jika kalian melihat gambar ini dari dekat, maka tanpa perlu kata-kata pun kalian akan tahu bagian mana beliau terlihat buru-buru, ceria, tulus, dan bahkan terlihat saat dia membuat-buat ekspresi wajahnya agar terlihat cerah.”
Kata-kata dosen itu menarik perhatianku. Aku lantas menengok dan moderator acara bangkit untuk mengambil gambar tersebut kemudian menyerahkannya kepadaku. Aku terhenyak. Melihat gambarnya satu persatu. Ada sekitar tujuh lembar kertas gambar ukuran A3 dan isinya adalah sketsa yang mirip denganku dengan berbagai ekspresi. Aku kembali menengok padanya. Dia tersenyum.
“Saya akan memfotokopi gambar itu. Dan akan membagikan kepada kalian sebagai kenang-kenangan.”
Seluruh mahasiswa yang hadir bersorak. Aku terlempar pada semesta yang sepi. Hanya aku dan dosen muda di hadapanku. Seolah aku tertarik ke dalam sebuah momen di mana suara bising di sekitarku berubah menjadi angin lembut yang berembus di telinga.
Sayup-sayup aku mendengar suara moderator menyimpulkan materi yang telah aku dan dosen muda itu sampaikan. Kemudian ruangan menjadi kembali ramai dan aku menghela napas lega. Akhirnya selesai. Rasanya hari ini lebih melelahkan dari hari sebelumnya. Rudi dan Gia selaku panitia acara, menuntunku ke ruangan tempat beristirahat. Asri mengikutiku. Di dalam ruangan tersebut sudah ada dosen muda yang mengisi materi bersamaku tadi. Aku tersenyum. Tulus. Merasa banyak yang ingin aku tanyakan kepadanya.
“Gimana gambarnya?” tanyanya. Aku duduk di kursi dan mengangguk sembari kembali tersenyum.
“Lumayan.”
“Lumayan? Hei... Itu namanya luar biasa.” Selorohnya dengan ekspresi wajah tidak terima karena karyanya disebut lumayan.
“Ki, gue mesti balik ke kantor sekarang. Dhea bilang dia sendirian. Habis makan siang, lu ada jadwal di rumah Pak Budi. Jangan telat. Oke?” Asri sangat buru-buru.
Aku belum sempat mengangguk hanya memberi isyarat agar dia mengabariku lewat telepon. Kemudian tersisa aku dan laki-laki di hadapanku.
“Kiara Aviana. Saya pikir kita bisa ketemu dalam suasana yang lebih mendukung daripada ini.”