Aku segera berbicara dengan dokter yang menangani Alysa. Dia mengatakan bahwa Alysa terkena gejala demam berdarah. Dan sedang dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Dokter menjelaskan bahwa kondisinya sudah sangat lemah. Harusnya aku sudah memeriksakannya ke dokter dari dua hari yang lalu.
Beberapa hari yang lalu Alysa memang sempat demam. Tapi setelah aku memberikannya obat penurun panas, panasnya langsung reda dan dia kembali ceria. Aku tidak merasa perlu untuk membawanya ke dokter. Terlebih Rey memang sedang jauh. Dan kegiatanku sangat padat. Aku mengira Alysa hanya demam karena merindukan papinya. Hal tersebut biasa terjadi. Jika papinya sedang tugas ke luar kota lebih dari tiga hari, dia pasti demam.
Airmataku sudah tak terbendung mendengar penjelasan dokter. Bagaimana bisa aku menjadi sangat ceroboh hanya karena kesibukanku. Aku terus menerus mengutuk dan tidak dapat berhenti menyalahkan diriku sendiri.
“Tidak perlu khawatir lagi, Bu. Keadaannya sudah mulai stabil. Kami sedang mengurus pemindahan dari IGD ke ruang perawatan. Mohon tunggu sebentar.”
Dokter berlalu dan aku menghampiri tubuh mungil Alysa yang sedang tertidur. Aku mengenggam jemari kecilnya dan mulai tersedu.
“Maafin Mami, Sayang. Mami terlalu sibuk sampe nggak perhatiin kesehatan Alysa.”
Ponselku berdering. Aku memang panik dan belum menghubungi siapapun termasuk Rey. Panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal.
“Alysa baik-baik aja?”
Aku menyeka airmataku dan berusaha keras mengingat suara siapa yang sedang berbicara di sebrang.
“Saya bicara dengan siapa?” tanyaku.
“Oh, maaf. Saya Dirga. Tadi saya minta nomor kamu ke Rudi.”
“Oh, gitu. Alysa harus rawat inap.”
“Saya doakan lekas membaik. Kalau gitu saya tutup dulu telponnya.”
Aku hanya membalasnya dengan anggukan meski menyadari Dirga tidak dapat melihatnya. Sambungan terputus. Aku mengirimkan pesan melalui LINE kepada Rey. Beserta foto Alysa yang sedang tertidur. Aku juga mengirimkan pesan yang sama kepada Asri dan memintanya mengatur ulang semua jadwalku. Tidak perlu menunggu sampai lima menit, ada panggilan masuk dari Rey. Dan begitu mendengar suaranya, aku hanya bisa menangis. Tak mampu menjelaskan apapun.
Rey mencoba menenangkanku dan mengatakan sebisa mungkin akan pulang ke Jakarta secepatnya. Aku tak mampu mengatakan apapun. Hanya berharap dengan sungguh bahwa Rey akan segera datang untuk menemaniku.
***
Setelah satu minggu mendapatkan perawatan intensif, Alysa akhirnya diperbolehkan pulang. Aku merasakan seolah perasaan sesak yang menghimpit dadaku, runtuh seketika. Aku sudah dapat tersenyum dan kembali menjadi diriku sepenuhnya. Rey mendapatkan keringan dan langsung memutuskan untuk pulang. Padahal tugas luar kotanya belum selesai. Selain rasa syukur, aku juga merasa sangat bersalah karena kelalaianku membuat pekerjaannya tertunda sehingga dia terpaksa meminta izin dari kantornya.
“Jangan bikin Mami khawatir lagi ya anak cantiiik...”
Aku memeluk erat tubuh mungil Alysa. Tangan kecilnya mengusap rambutku membuatku terharu dan ingin menangis.