Tak terasa sudah hampir satu jam aku mengobrol tak tentu arah bersama Dirga. Dia benar-benar menyenangkan. Selorohannya lucu dan membuatku sering tertawa.
“Ada mahasiswa saya juga sedikit butuh penanganan.”
“Oya? Gejalanya apa?” tanyaku.
“Lucunya, dia merasa kalau semua hal yang digambarnya selalu hidup.”
“Hidup gimana?”
Dirga tertawa tapi aku tak tahu apa yang membuatnya tertawa.
“Ih, serius,” ucapku.
“Ya hidup, Kia. Jadi dia melukis perempuan, misalnya. Itu dia selalu berdialog dengan lukisannya seolah lukisan itu bisa jawab kata-katanya."
“Itu sih bukan butuh sedikit. Tapi banyak, Dirga. Ke psikiater aja langsung.”
Aku memberengut. Jika seseorang sudah berkomunikasi dengan benda mati seolah-olah benda tersebut dapat berbicara kepadanya, tentu bukan sedikit penanganan. Aku harus masuk terlebih dahulu ke dalam dunianya kemudian mengatakan bahwa ada dunia yang lebih baik daripada yang dia tinggali. Dirga makin tertawa.
“Bantu mahasiswa saya.”
"Dia harus dapet penanganan dari dokter. Kalau aku hanya psikolog. Bahkan nggak bisa meresepkan obat. Bukan bidangku."
"Ketemu dulu aja. Barangkali masih ringan dan bisa kamu tangani tanpa perlu dokter."
Aku menimbang-nimbang permintaan dosen muda itu.
“Aku harus ketemu dulu sama dia. Baru aku kasih keputusan. Soalnya, yang kayak gitu harus ditangani langsung sama yang memang fokus ke dokter atau psikologi klinis.”
Dirga mengangguk-angguk, “Nanti coba saya atur ya pertemuan kalian,” ucap Dirga serius.
Aku menghela napas. Melihat beberapa notif yang muncul di ponselku.
“Aku harus pergi nih. Nanti kamu atur aja ya untuk pertemuan sama mahasiswa kamu. Kalau memang sekiranya masih bisa aku tangani, nanti aku minta kamu kirim berkas-berkas tentang mahasiswa kamu ini ke kantor aku.”
“Oke, Kia. Makasih atas waktunya ya. Senang bisa ngobrol sama kamu.”