[De, nanti besok ke Tangerang ya. Langsung ke pabrik. Bu Mery sudah nyuruh mulai masuk kerja]
Aku baca sms dari adikku itu. Tak bisa dilukiskan betapa senangnya melihat rangkaian kata-kata di HP Nokia-ku.
[ Iya, aku besok ke Tangerang]
Kutulis beberapa kata sebagai jawaban.
Kopi yang tinggal setengah gelas lagi aku habiskan. Setelah membayar, aku meninggalkan warung Mang Holik untuk pulang ke rumah.
Warung kopi Mang Holik menjadi semacam “kantorku”. Aku sering menghabiskan waktu di sana. Tempatnya di depan sebuah kantor perkreditan barang-barang elektronik yang cukup terkenal. Jadi, kantor ku ada di depan sebuah kantor.
Sambil nongkrong aku sering membawa buku untuk kubaca. Tema bukunya beragam. Tapi yang paling sering buku-buku filsafat. Siang itu kebetulan aku membawa Pendidikan Kaum Tertindas-nya Paulo Freire.
Aku sering menghutang di warung Mang Holik. Entah itu rokok, gorengan, atau beberapa gelas teh manis untuk menemani siangku. Sesekali aku minum kopi juga. Aku bisa menghabiskan satu sampai dua gelas kopi setiap siang.
Dalam salah satu artikel yang pernah kubaca, kopi bisa meningkatkan kecerdasan. Entah benar atau tidak. Yang pasti aku suka meminumnya. Tapi kalau dibuat perbandingan, aku lebih sering meminum teh manis dibanding kopi. Walaupun minum teh manis di Warung Mang Holik, tetap saja orang menyebutnya lagi ngopi.
Tidak punya pekerjaan membuatku banyak waktu luang. Dan itu kuhabiskan untuk nongkrong. Dengan nongkrong di warung Mang Holik, tidak jarang ada saja bisnis yang nyangkut. Dan jika bisnis nyangkut, tentu saja aku punya uang.
Ada rejeki dari seseorang yang minta dibantu memasukkan sertifikat tanah ke sebuah bank beberapa hari lalu. Kebetulan kepala bank itu teman sekolahku. Tadi pagi pencairan.
Dan aku dikasih uang “terima kasih” oleh orang itu yang kebetulan masih tetangga kampung.
Padahal aku tidak minta. Dia sendiri yang memberi. Sehingga aku bisa melunasi hutang di warung Mang Holik.
Aku percaya rejeki bukan hanya gaji. Jadi, walaupun tidak punya gaji, bukan berarti aku tidak mendapat rejeki. Terlalu picik pikiran yang menyatakan bahwa rejeki adalah hanya gaji.
Aku bergegas pulang untuk memberitahu istriku tentang sms dari adikku. Sebuah kabar yang sudah ditunggu-tunggu hampir dua bulan.
Siang dan malam aku menantikan kabar dari Tangerang. Dan ternyata kabar itu kuterima hari ini. Di saat menunggu itulah aku makin meyakini ucapan orang yang mengatakan bahwa menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan.
Dengan langkah bergegas aku menyusuri gang-gang menuju rumah. Matahari sudah berangsur bergerak ke ufuk barat. Senja sebentar lagi tiba. Raja siang akan tergantikan Dewi malam.
“Hei, De. Darimana?” seorang teman menyapa di teras rumahnya.
“Biasa, dari Mang Holik. Nongkrong,” jawabku.
“Mampir sini.”
“Iya, nanti ya. Ini lagi ada perlu.”
“Ok, deh.”
Depan rumah sudah terlihat. Rumah itu adalah rumah mertuaku.
Ya, lengkap sudah. Tinggal di rumah mertua dalam keadaan menganggur.
Sehingga aku termasuk gerombolan Anggur Merah. Tahu apa arti Anggur Merah? Menantu menganggur, mertua marah.
Beberapa langkah lagi aku sampai. Tampak istriku sedang berdiri di luar sambil menyuapi anak pertamaku, Gilang.
“Aku besok ke Tangerang. Tadi Joni sms,” kataku singkat.
Kulihat air muka istriku langsung berubah. Antara senang dan tak senang. Senang karena yang ditunggu selama dua bulan ini akhirnya berakhir. Tidak senang karena dia harus ditinggal di kampung dengan anakku.
“Jam berapa berangkatnya?”
“Jam dua dinihari.”
“Ya, sudah. Aku siapkan apa saja yang mau dibawa,”
Aku ambil Gilang dari pangkuannya. Istriku langsung masuk ke dalam rumah untuk memasukkan baju, celana, alat-alat mandi, dan tiga buku komputer yang sudah aku siapkan jauh-jauh hari. Tidak ada buku lain yang dibawa selain ketiga buku komputer itu.
Aku pandangi Gilang dalam pangkuanku.