Bus Luragung jurusan Cirebon- Merak membawaku ke Tangerang. Bukan hanya tubuh ini yang terbawa, mimpi-mimpi juga. Mimpi untuk merubah nasib.
Bukankah guru agama waktu di SD mengajarkan pada kita bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, kalau kaum itu tidak mau merubah nasibnya sendiri?
Jadi, aku berkeyakinan jika ingin nasibku berubah, aku sendiri yang harus merubahnya.
Tiba-tiba muncul di kepalaku sebuah kata: Hijrah. Ya, aku sedang hijrah dari kota asalku ke Tangerang. Kemudian ingatanku merengkuh seorang lelaki putih, kurus, berkacamata.
Namanya Pak Mahmudin. Dia seorang ustad. Orangnya tinggi, kurus, berkulit putih dan berkacamata. Kemejanya selalu dimasukan ke celana. Tak pernah aku satu kalipun melihat kemejanya tidak dimasukkan. Dia setiap habis isya memerlukan datang ke rumah untuk mengajar ngaji. Sepeda ontel tua selalu menemani dia.
Bapak aku yang meminta dia untuk mengajar aku beserta saudara-saudara aku untuk mengaji di rumah.
Jadi, Pak Mahmudin mengajar ngaji secara private di rumah. Waktu itu aku belum lagi kelas 4 SD.
Setiap pulang ngaji bapak selalu memberi amplop putih. Isinya sudah dipastikan: Uang. Kenangan itu sangat membekas dalam pikiran aku. Sampai sekarang, tidak tahu kenapa, kalau mendengar kata: Ustad, otak aku selalu teringat akan amplop putih itu.
Pak Mahmudin ini yang dulu menceritakan tentang peristiwa hijrah. Dia bercerita katanya Pada waktu itu perlawanan dari kaum Musyrikin Mekah pada umat islam sangatlah merajalela, mereka tak segan-segan menghabisi nyawa umat Islam yang akan hijrah, sampai-sampai keselamatan Rasulullah dan para sahabatnya pun juga ikut terancam. Ditambah lagi, Rasulullah hijrah setelah semua sahabat telah berangkat menuju Madinah.
Rasulullah lebih mementingkan keamanan dan keselamatan umatnya terlebih dahulu dari pada dirinya sendiri, ditambah beliau juga memiliki ketenangan hati yang luar biasa walaupun keadaan sedang genting. Saat itu, Rasulullah ditemani oleh dua orang sahabat, yakni Abu Bakar serta Ali bin Ali Thalib.
Sambil mendengarkan cerita itu, pikiranku mengembara kemana-mana. Yang ada dalam gambaran pikiran aku ketika mendengar cerita itu: Rombongan orang berjalan di Gurun pasir.
Dari Pak Mahmudin inilah aku pertama kali mendengar cerita tentang hijrah.
Hijrah dalam pengertian aku berarti: Pindah. Baik secara fisik maupun psikis. Ada yang disyaratkan dalam berhijrah. Kita harus berhijrah ke arah yang lebih baik dari kondisi sekarang.Ya, pindah bukan sembarang pindah. Tetapi pindah dari suatu keadaan ke keadaan yang baru. Keadaan yang secara kuantitatif maupun kualitatif lebih dari keadaan semula. Inilah yang disebut proses dialektika.
Metode dialektika menurut Hegel adalah suatu metode atau cara memahami dan memecahkan persoalan atau problem berdasarkan tiga elemen yaitu thesa, antithesa dan sinthesa. Thesa adalah suatu persoalan atau problem tertentu, sedangkan antithesa adalah suatu reaksi, tanggapan, ataupun komentar kritis terhadap tesa (argumen dari tesa). Dari dua elemen tersebut diharapkan akan muncul sinthesa, yaitu suatu kesimpulan.
Thesa: menganggur di kampung. Antithesa: pergi ke Tangerang untuk memenuhi panggilan kerja. Sinthesa: keadaan ekonomi keluargaku akan berubah ke arah yang lebih baik karena punya penghasilan tetap.
***
Bus melaju dengan kecepatan sedang melintasi perbatasan Subang – Karawang. Hari belum lagi pagi. Hanya gelap yang terlihat di balik jendela. Matahari masih enggan menampakkan wujudnya. Hanya cahaya lampu jalan, yang jaraknya jauh-jauh, yang menjadi penerang jalan sepanjang pantura itu.
Penumpang lumayan meruah walau tidak padat. Untung aku masih kebagian tempat duduk. Masih ada beberapa kursi yang kosong. Tempat dudukku di deretan kiri pada baris tengah.
Tempat dudukku ada dua kursi. Dua-duanya kosong. Sedangkan pas di sebelah deretan kanan, terdiri dari tiga kursi. Dan dua dari tiga kursi itu telah terisi penumpang lain.
Kusimpan tas ranselku di antara lutut. Aku sandarkan kepalaku pada sandaran kursi.
Terdengar suara musik tarling yang diputar di pemutar DVD yang berada di bagian depan bus. Lagu-lagunya beberapa kuhapal. Tanggul Kali Blanakan, Sepayung Loroan, Surat Biru, Tangisan Rindu, dan satu lagi, sebuah Masterpiece lagu tarling: Pemuda Idaman.
Beberapa jam lagi aku akan kerja! Ya, aku akan kerja. Kerja di pabrik. Suara batinku seolah meronta kegirangan. Bukan hanya senang, jauh di pedalamanku, aku merasa deg-degan juga. Karena ini kali pertama aku kerja di sektor formal.