Pabrik itu tampak berdiri kokoh. Tembok setinggi dua meter lebih mengelilingi seluruh bangunan. Gerbang dari lempengan besi dicat biru langit.
Tukang ojek baru saja menurunkan aku pas di gerbang besi bercat biru itu.
Tak ada tulisan atau plang yang menyatakan bahwa tempat itu benar tempat yang aku tuju. Aku hanya mengandalkan kepercayaan pada tukang ojek saja bahwa dia telah mengantar ke tempat yang aku maksud.
Kepercayaan atau keyakinan memang bisa dalam berbagai bentuk. Juga kepercayaanku pada tukang ojek itu.
Ada tiga tingkat kepercayaan orang pada sesuatu, yaitu: Ilmul Yaqin, Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin.
Tampak dari belakang bangunan pabrik asap putih membumbung tinggi. Aku yakin ada api di belakang sana. Ini adalah Ilmul Yaqin. Sebuah keyakinan berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang sudah ada. Karena jika ada asap, pasti ada api. Kesimpulan ini terbentuk karena pengalamanku.
Jika aku ke belakang pabrik itu, kemudian melihat bahwa benar ada api yang terlihat, ini adalah Ainul Yaqin. Sebuah keyakinan berdasarkan penglihatan.
Nah, yang terakhir, jika aku memegang api itu, kemudian terasa api itu membakar tangan, ini adalah keyakinan tertinggi yang disebut dengan Haquul Yaqin. Sebuah keyakinan yang tak terbantah. Bahwa memang benar ada api di belakang pabrik itu. Karena apinya telah membakar tangan.
Keyakinanku pada tukang ojek itu adalah Ilmul Yaqin. Karena biasanya tukang ojek sudah mengetahui daerah dimana dia mangkal.
Setelah mengumpulkan segenap keberanian, kuketuk gerbang besi itu.
“Permisi,” ucapku.