DRAFTER: Sebuah Perjalanan

Ade Imam Julipar
Chapter #4

28.800 DETIK PERHARI

Gerinda tangan 7 inchi merk BOSCH itu berkecepatan 8500 putaran per satu menit. Bisa dibayangkan betapa cepatnya. Dan bisa dibayangkan juga jika itu terkena kulit.

Benda inilah yang menjadi alat kerjaku. Jadi, setiap hari aku menggerinda plat-plat dari besi, stainless, dan aluminium yang baru saja dipotong oleh kepala bagianku, Siswanto.

Hasil potongan menggunakan mesin potong oksigen-Acetylene meninggalkan kerak-kerak di bekas potongannya. Sebelum masuk ruang mesin, itu harus dibersihkan dulu. Dan itu adalah bagian dari pekerjaanku.

Di bagian persiapan ada sekitar empat orang, lima dengan Siswanto si kepala bagian.

Setelah berkenalan, aku dan mereka kembali melanjutkan pekerjaan.

Ada juga beberapa orang dari bagian lain yang memerlukan berkenalan denganku. Mereka tahu bahwa aku kakaknya Joni. Joni adalah seorang programer di perusahaan itu.

Waktu terus merambat dari pagi ke siang.

“Teeeettttt........!” terdengar bel berbunyi. Waktunya istirahat.

“Hayu, De. Ke warung Kokoy,” ajak seorang teman satu bagianku.

Aku menurut saja seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Karena tidak mengetahui harus kemana untuk makan siang.

Di warung sudah antri orang. Mereka dari perusahaan yang sama dengan aku.

Setelah minuman dan makanan terhidang di meja, aku pun langsung mengambil gelas yang berisi teh manis hendak meminumnya. Tetapi apa yang terjadi? Tanganku bergetar ketika hendak meminumnya. Bibir gelas bergerak-gerak sehingga aku kesulitan untuk meminumnya. Dengan bersusah payah akhirnya aku bisa meminumnya juga.

Demikian pula ketika aku hendak menyuap makanan, sendok yang kupegang bergetar.

Ini akibat dari dari pagi sampai siang aku menggerinda! Ya, terjadi resonansi pada tanganku. Getaran gerinda itu telah mempengaruhi tangan kananku.

“Aah, nanti juga biasa. Engkau baru pertama kali menggerinda. Getarannya masih terasa,” jawab Siswanto ketika aku menanyakan apa yang terjadi pada tanganku.

Setelah makan aku menikmati waktu istirahat ku yang masih tersisa setengah jam lagi.

Sambil duduk di bawah sebuah pohon sukun yang berada di luar pabrik, pikiranku kembali membongkar.

Kelakuanku mungkin tidak jauh berbeda dengan Bung Karno ketika dalam pengasingan di Ende, Flores.

Lihat selengkapnya