Tanggal muda adalah tanggal yang paling ditunggu-tunggu oleh semua orang yang bekerja di sebuah perusahaan. Dari jabatan yang paling rendah sampai yang paling tinggi mereka semua bergembira menyambut tanggal muda. Di tanggal itu mereka akan menerima gaji.
Demikian juga akan halnya aku. Tanggal satu telah tiba. Saatnya gajian. Aku baru bekerja dua minggu.
Bu Mery langsung yang menyerahkan gaji itu padaku dalam bentuk amplop coklat.
Setelah mengucapkan terima kasih, aku bergegas mencari tempat yang agak sepi di sekitar pabrik. Aku buka amplop coklat itu. Di dalamnya berisi: Slip gaji dan beberapa lembar uang lima puluh ribuan.
Pertama kubaca dulu slip gaji itu. Di situ tertera bulan Juni tahun 2005. Tertulis juga aku telah bekerja selama tujuh hari! Tujuh hari? Aku sudah bekerja empat belas hari. Kenapa ditulis tujuh hari?
Kulanjutkan dengan melihat total gaji yang kuterima, di situ tertulis: Tiga ratus ribu rupiah.
Alhamdulillah. Ini adalah gaji pertamaku. Kuhitung lembaran-lembaran uang lima puluh ribuan itu.
Enam lembar, batinku. Ya, pas tiga ratus ribu.
Masih diliputi rasa penasaran, aku tanyakan perihal gaji yang hanya dibayar tujuh hari itu ke Siswanto si kepala bagian.
“Ya, hitungannya seperti itu. Yang seminggu adalah gantungan,” jelas Siswanto si kepala bagian.
Gantungan? Aku baru mendengar istilah itu. Istilah yang sama sekali baru di telingaku. Yang pasti ada sesuatu yang tidak beres yang aku rasakan. Tetapi hal ini aku simpan dalam hati saja. Karena mulai saat ini aku harus ikut apapun yang menjadi kebijakan perusahaan.
Jiwa ‘pemberontak’ yang melonjak-lonjak di pedalaman kuredam. Atau lebih tepatnya sementara kuredam. Sampai menunggu saatnya tiba untuk menampakan wujudnya kembali.
Teman-teman kerjaku tampak sumringah hari itu. Mereka yang sudah lama bekerja, gajiannya lewat ATM. Tetapi slip-nya dibagikan hari itu semua. Berbarengan.
“Gaji hanya numpang lewat saja, De,” seloroh seorang kawan yang bernama Sunardi.
Waktu itu pemahamanku belum sampai kesana. Banyak istilah-istilah yang tidak kumengerti.
Jadi, aku tidak mengerti apa yang diucapkan Sunardi ketika itu.
Kukabarkan tentang gaji pertama ini pada istriku. Kutelepon langsung dia.
“Alhamdulillah,” ucapnya di seberang sana setelah mendengar aku telah menerima gaji pertamaku. Ada keharuan dalam nada suaranya.