Pada suatu malam aku mencoba menelusuri garis-garis kehidupan yang telah kulewati. Slide-slide seperti tampil dalam ingatan. Membentuk sebuah penggalan-penggalan episode dalam kehidupanku.
Bermusik, , dagang plastik, berpolitik, menjadi Leader sales di kredit Elektronik, dan kini aku masuk dalam dunia yang sama sekali berbeda dengan dunia-dunia sebelumnya. Kini aku berada di dunia teknik. Seperti rima sempurna dalam larik-larik puisi.
Penggalan episode dalam hidupku itu ternyata yang menyeruak keluar adalah masa-masa dimana aku bermusik di kampung asalku.
***
“Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu tiap sudut menyapaku bersahabat
penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja”
Klasik bukan hanya sebatas nama sebuah grup band. Lebih dari itu. Di sana kami banyak belajar tentang kehidupan. Tentang persahabatan beserta bumbu-bumbunya. Tentang: Musik, filsafat, psikologi, politik, sastra, dan konsep keagamaan. Sesekali kami membahas masalah-masalah sepele seperti: kuliner khas daerah kami lengko atau nasi uduk Mang Darim di dekat perempatan, Jeans robek pas dengkul, atau mungkin tentang: sandal jepit.
Walaupun klasik adalah grup band tetapi obrolan kami tidak berhenti di persoalan musik saja. Apa yang bisa dibahas dan dikritisi tentu akan bergulir menjadi tema obrolan dan diskusi. Memang kadang tidak sampai pada sebuah kesimpulan. Tapi paling tidak sudah melatih otot-otot otak kami agar tidak lembek. Boleh dikatakan Klasik adalah semacam “Dapur Intelektual” bagi kami.
Berangkat dari ketertarikan yang sama terhadap musik, Klasik pun terbentuk. Sudah hampir dua puluh tahun usianya. Walaupun kini jarang aktif bermusik bukan berarti Klasik sudah tidak ada. Dia akan tetap dan selamanya ada. Paling tidak sebagai sebuah nama.
Penamaan Klasik diambil dari kondisi kami waktu itu. Setiap akan ngerental atau lagi ngumpul-ngumpul kami sering terbentur masalah keuangan. Sebuah masalah klasik manusia. Nah, dari situlah nama Klasik diambil. Jadi, bukan karena aliran musik kami Klasik, tapi karena kami sering terkena masalah klasik.
Beberapa kali kami sempat manggung. Di acara agustusan hampir 4 kaii. Pernah juga mengisi di reuni akbar SMP. Dua kali ikut festival. Dan dua kali juga tidak juara. Pertama ikut festival unplug di Subang. Dan yang kedua Ikut lomba cipta lagu di SCTV.
Sebagai anak band, semua dari kami pernah gondrong. Walau waktunya tidak berbarengan. Konon katanya, menurut kepercayaan dunia music waktu itu, kalau tidak gondrong atau belum pernah gondrong belum sah menjadi anak band.
Lagu-lagu ciptaan sendiri pun lahir. Masa itu benar-benar masa produktif kami di musik. Kapan pun dan dimana pun hanya music yang ada di kepala. Ya, kami semua terobsesi menjadi pemain band terkenal. Pemain band kelas nasional. Atau bahkan ingin lebih dari itu. Ingin menjadi seperti Bon Jovi, rocker yang sayang istri.
Kiblat bermusik kami waktu itu Kla Project. Mungkin pilihannya lebih ke syair-syair lagunya yang agak nyastra. Ibarat naik bus salah jurusan, begitupun nasib musikalitas Klasik. Setelah sekarang baru sadar, bahwa kami salah berkiblat. Harusnya yang jadi kiblat kami adalah Ka’bah. Eeh itu kiblat lain lagi ya. Kiblat music kami harusnya Bon Jovi, The Beatles, atau mentok-mentoknya Koes Plus.
Kenapa dikatakan salah kiblat? Karena ternyata lagu-lagu Kla Project kurang begitu menjual dan juga tidak tahan lama. Kla Project penggemarnya sudah tersegmen. Hanya kalangan tertentu saja. Tidak menyentuh lapis bawah. Itulah akibat idealisme tanpa membaca arah pasar.
Kalau pilihan lagunya Bon Jovi, The Beatles, atau Koes Plus, mungkin kemampuan musikalitas Klasik akan berkembang. Karena sampai sekarang pun lagunya masih banyak dinyanyikan di acara-acara music. Lha, kalau Kla Project? Mungkin juga pernah kita dengar beberapa kali di acara-acara music. Tapi kan hanya beberapa kali. Dan itu juga hanya di acara-acara tertentu. Kalau dibuat perbandingan mungkin 1:20. 1 acara yang ada Kla Projectnya, 20 kali acara yang membawakan lagu Bon Jovi, The Beatles, atau Koes Plus.
Dan yang lucunya lagi ada beberapa lagu Kla Project yang sampai sekarang, sampai 20 tahun lebih, belum ketemu acordnya! Luar biasa. Bisa disebutkan di antaranya: Semoga. Itu lagu sungguh alot. Sampai sekarang nada refrainnya belum tahu harus lari kemana. Ada di accord apa.
Lagu andalan kami adalah: Jogja. Lagu ini sudah tidak terhitung berapa kali kami bawakan. Mungkin sudah ratusan kali. Karena di setiap manggung lagu itu selalu kami bawakan. Jogja bagi kami bukan hanya sekedar lagu. Dia lebih pada ritual bermusik Klasik. Bahkan seorang fanatik Klasik sempat berseloroh ketika kami mau naik panggung:
”Engga salah lagi nih….Engga salah lagi nih...Tuh kan Jogja lagi.”
Dia sudah bisa menebak dengan kepastian seratus persen bahwa lagu yang akan kami bawakan adalah: Jogja.
Ya, bicara Klasik sebagai grup musik berarti bicara Jogja.
“Walau kini kau t'lah tiada tak kembali