DRAFTER: Sebuah Perjalanan

Ade Imam Julipar
Chapter #9

MENJADI DRAFTER

Hidup adalah rangkaian ketidakpastian. Tidak bisa kita memastikan apa-apa yang akan terjadi nanti. Yang pasti saja sering kali tidak pasti, apalagi yang tidak pasti. Tugas kita hanya berusaha semaksimal mungkin, perkara hasil lain soal. Itu bukan urusan kita. Ada The Invisible hand yang sudah mengaturnya.

Kini aku bekerja di kantor sebagai drafter. Tidak lagi di lapangan.

Dan aku tidak bekerja di pabrik di daerah Balaraja itu lagi, tetapi pindah ke kantor pusat di sebuah kawasan industri di daerah Daan Mogot. Pindah kerja, pindah pula kontrakanku. Istriku dan anakku Gilang kuboyong lagi. Dan kontrakan baru itu tetap seperti kontrakan lama, rumah kontrakan tiga petak.

Drafter adalah orang yang menggambar desain. Jadi, bukan yang mendesain.

Kalau yang mendesain disebut arsitek atau engineer. Tergantung bidang tekniknya.

Perusahaanku bergerak di bidang kontruksi mesin. Orang yang mendesain mesinnya disebut Engineer.

Ada tiga orang senior drafter yang satu ruangan denganku. Mereka merangkap Engineer juga.

Jadi, perusahaan beli satu dapat dua. Engineer dan juga drafter. Padahal perjanjian pertamanya mereka bekerja sebagai Drafter. Tetapi karena tuntutan pekerjaan, mereka juga mengerjakan pekerjaan Engineer yaitu mendesain. Kelak di kemudian hari aku sering mendengar keluhan mereka akan hal ini. Harusnya perusahaan membayar lebih atas apa yang sudah mereka lakukan. Melakukan dua pekerjaan dalam satu profesi, demikian keluhan mereka.

Ruangan itu tidak terlalu luas. Dengan empat orang di dalamnya jadi semakin sempit. Buku-buku teknik tersusun rapih di rak-rak buku. Gambar-gambar kerja tiap mesin sudah dibundel. Satu mesin satu bundel.

Kami duduk berjejer menghadap komputer. Satu orang satu.

AC satu PK berhasil mengusir hawa panas di ruangan itu. Dan ini menjadi sesuatu yang membuat aku tidak nyaman.

Kerja di lapangan tidak ber-AC. Sehingga ketika ruangan kerjaku yang sekarang ber-AC, tubuhku harus dengan segera menyesuaikan diri. Masuk angin jadi sering melanda.

Aku harus berjuang keras untuk menyesuaikan tubuhku dengan AC yang ada di ruangan itu. Dinginnya AC merupakan siksaan tersendiri bagiku. Perlu waktu sekitar tiga sampai empat minggu sampai tubuhku berdamai dengan dinginnya AC.

Selama itu pula kerjaanku menggambar part-part mesin yang sudah disimpan di mejaku oleh salah seorang senior drafterku.

Ada sekitar lima part mesin yang kugambar. Tentu saja dengan kesalahan di sana sini.

Senior drafterku tidak banyak membantu. Mereka melepaskan aku begitu saja. Aku harus berusaha sendiri untuk belajar.

Memang rasa iri kadang menghinggapi hati-hati manusia yang merasa tidak seberuntung yang lainnya.

Aku yang tadinya bekerja di lapangan, kemudian dikursuskan AutoCAD oleh perusahaan merupakan sasaran empuk keirihatian para senior drafterku.

Mereka sering menyalahkanku tanpa memberitahu mana yang benar. Sebuah sifat kekanak-kanakan yang seharusnya tidak ada di ruangan itu. Tetapi kenyataannya aku merasakannya.

Tekadku sudah bulat, aku harus bisa menjadi drafter. Maka aku belajar siang dan malam mengejar ketertinggalanku.

Senior drafterku kebanyakan memiliki background teknik mesin. Sedangkan backgroundku bukan dari teknik.

“Engkau akan lama bisa, De. Engkau tidak memiliki dasar teknik,” seorang senior drafterku yang lain melemahkanku dengan ucapannya.

Mereka pura-pura tidak tahu atau memang tidak tahu. Bukankah setiap dan segala ilmu yang ada di dunia ini dilahirkan dari induk yang sama? Induk dari semua ilmu pengetahuan adalah filsafat.

Dengan filsafat orang akan dengan mudah menukik ke berbagai disiplin ilmu. Tidak terkecuali. Juga ilmu teknik.

Dan aku, walaupun study filsafatku acak-acakan, tetapi dasar filsafat sudah kubangun sejak belasan tahun lalu. Aku terbiasa berpikir filosofis. Jangankan dunia teknik yang terlihat, dunia metafisika yang tak terlihat juga aku selami.

Bukannya kendor semangat belajarku, justru ucapan yang pedas itu kujadikan cambuk untuk membuktikan pada mereka bahwa aku bisa.

Kugauli buku-buku teknik mesin penunjang. Setiap hari Sabtu atau Minggu, aku sering berlama-lama di Gramedia untuk membaca buku-buku teknik di sana. Dan itu tanpa satu pun buku yang kubeli. Ya, aku hanya numpang baca di sana. Jangankan untuk membeli buku, untuk kebutuhan sehari-hari saja aku agak kerepotan.

Lihat selengkapnya