Namanya Bu Anita. Orangnya tinggi putih. Tangan dan kakinya dipenuhi bulu-bulu halus. Bu Anita 'nyaris' berkumis. Karena ada bulu-bulu halus juga di sebelah bibir atasnya. Dia adalah guru les matematika di kota kecil kami. Tempat lesnya pas di sebelah selatan toko Gajah Dua. Waktu itu toko Gajah Dua sangat terkenal di kota kecil kami. Hampir semua barang yang akan dibeli ada disana. Jadi, konsepnya seperti toko serba ada. Kalau sekarang mungkin seperti : Indomaret dan Alfamart.
Ibu aku memasukkan aku les di Bu Anita. Saat itu aku kelas tiga SD. Aku les setiap jam 3 sore. Seminggu tiga kali. Hari: Senin, Rabu, dan Jumat. Disana ada juga beberapa anak kelas tiga SD lainnya. Tetapi berbeda sekolah dengan aku. Mereka kebanyakan dari SD Bunda Maria. Dan mereka keturunan Tionghoa. Jadi, aku pun berinteraksi dengan mereka.
Ada beberapa nama yang sempat teringat. Itu pun karena ketika aku menginjak SMP, mereka kemudian satu angkatan dengan aku. Beberapa yang masih teringat: Yanto, Yopi, Diana, dan beberapa cewek lagi yang aku tidak ingat lagi namanya. Ada satu lagi cowok. Namanya: Leo. Ketika SMP dia tidak satu sekolah dengan aku. Aku tidak tahu di SMP mana dia sekolah. Anaknya suka memain-mainkan pensil layaknya seperti sebuah pisau.
Leo sangat pandai Matematika-nya. Itu aku ketahui ketika bareng-bareng mengerjakan soal yang ditulis di papan tulis oleh Bu Anita. Jadi, sistem les-nya: Bu Anita menuliskan soal di papan tulis, kemudian kami disuruh menyalin dan mengerjakan soal-soal itu di buku tulis kami. Dan yang duluan selesai selalu: Leo.
Dari Ibu Anita-lah dasar-dasar matematika aku diperkokoh. Dan ini aku rasakan sampai sekarang. Matematika menjadi penyumbang terbesar dalam kemampuan logika berfikir aku.
Seluruh aspek dalam pelajaran matematika berbicara mengenai kemampuan berpikir logis. Tidak ada asumsi, praduga, atau tebak-tebakan. Semua harus dihasilkan melalui penghitungan yang tepat.
Bahkan berdasarkan literasi yang ditulis oleh Johnson dan Rising, matematika dibentuk atas dasar kebutuhan pembuktian yang logis. Pernyataan ini tentu semakin menguatkan posisi matematika sebagai media pembelajaran efektif agar kita tumbuh menjadi orang yang anti-galau. Logika akan membantu menajamkan pola pikir, yang tentu membuat kita mampu mengambil keputusan secara matang.
Tentu kita cukup peka melihat kondisi masyarakat sekarang yang mudah terbius informasi hoax, kan? Itu adalah satu dari contoh kemampuan berpikir logis yang rendah. Melakukan latihan soal matematika akan secara paralel melatih otak menggunakan logika berpikir secara optimal. Setidaknya, kita akan menjadi generasi yang lebih banyak berpikir dengan logika sebelum bertindak.
Agar tetap les matematika di Bu Anita, ibu aku harus mengeluarkan uang tiap bulan untuk biayanya. Mungkin kalau uang dengan nilai sekarang, uang bulanan yang ibu bayarkan buat les, cukup untuk membeli beras dua karung. Lumayan juga memang. Tapi itu sebanding dengan apa yang didapat.
Aku ingat betul ketika Bu Anita di satu kesempatan pernah berbicara bahwa: "Melalui kebiasaan berhitung, berlatih deret, dan sejenisnya, secara tidak sadar kamu telah memaksa otak untuk terbiasa berpikir secara runut. Hal ini akan membuatmu mudah dalam mengorganisasi segala sesuatu. Kemampuan ini yang juga sangat mendukung untuk menjadi seorang pemimpin kelak ketika kamu dewasa."
Demikian kurang lebih Bu Anita pernah katakan. Dan di kesempatan lain di suatu sore yang gelap, mendung menggelayuti kota kecil kami ketika itu, walaupun memang mendung tak berarti hujan, Bu Anita juga mengatakan hal lain. Bu Anita mengatakan: Matematika sering disebut juga sebagai ilmu yang bersifat deduktif. Artinya, matematika membantu seseorang dalam menarik kesimpulan berdasarkan pola yang umum. Hal ini akan membiasakan otak kita untuk berpikir secara objektif.
Kemampuan berpikir objektif lagi-lagi adalah satu dari sekian banyak soft skill yang dicari oleh seluruh bidang kerja. Bukan cuma itu, dengan sering menyelesaikan latihan matematika berupa kasus logika, kita pun akan terbiasa berpikir secara rasional.
Kadang ketika aku pulang kampung waktu lebaran, terbersit juga ingin mengunjungi Bu Anita. Entah itu hanya sekadar untuk melihat bulu-bulu halusnya, atau sekadar berbincang barang beberapa kalimat. Karena aku yakin dia pasti tidak ingat lagi ke aku. Begitu banyak anak-anak yang les di tempat Bu Anita.