Suasana di tempat kerjaku sudah tidak nyaman lagi. Itu semua karena: iri hati.
Tidak hanya senior-senior Drafterku, bagian-bagian lain yang ada di kantor menunjukkan sikap yang sama. Mereka terlihat selalu melakukan usaha untuk menjatuhkan aku. Ada saja yang mereka lakukan.
Mereka sudah tahu tempat kursusku makin lama makin ramai. Aku tidak hanya mengandalkan gaji di situ. Keuanganku agak sedikit membaik.
Mereka kemudian menyebarkan omongan-omongan di sekitar kantor bahwa aku kerja disitu hanya sebagai sampingan.
Ada ungkapan yang menyatakan: Uang, jika dititipkan ke orang kemungkinan besar akan berkurang. Tetapi ucapan, jika dititipkan ke orang sudah pasti akan bertambahnya.
Begitu juga omongan-omongan orang di kantor tentangku.
Dan berita ini sampailah ke telinga bos besar. Tentu saja dengan berita yang sudah ditambah-tambahkan.
Bos besar tidak bisa menegur aku. Karena aku mengajar kursus di luar jam kerja.
Tetapi ada saja cara mereka membatasi ruang gerakku.
Di saat siswa kursusku sedang banyak-banyaknya, Bos besar mengirimkan aku ke Semarang untuk mengawasi tukang yang sedang memasang jalur piping baru di PT. IF.
Tanpa harus aku kesana, tukang itu sebetulnya sudah bisa memasangnya. Tetapi, ya itu tadi, Bos besar di kantorku itu tipe orang yang: Senang lihat orang susah, susah lihat orang senang.
Tipe ini menjadi typical dari orang-orang yang berada di tempat kerjaku.
Maka selama dua minggu di Semarang, terbengkalai lah tempat kursusku.
Aku harus meninggalkan siswa-siswiku.
Setelah kembali dari Semarang, bukannya tambah sepi, siswa-siswa baru makin banyak.
Selesai, datang lagi yang baru dengan jumlah yang lebih banyak. Selesai, datang lagi yang baru dengan jumlah yang lebih banyak. Begitu seterusnya.
Dan ini tercium juga oleh orang-orang di kantor tempatku kerja.
Dan kembali Bos besar mendapat kabar baru ini. Dan seperti sebelumnya, dengan kabar yang sudah ditambah-tambahkan.
Aku menduga dia sudah mempelajari 36 strategi perangnya Sun Tzu. Bukan hanya mempelajari, dia sering mempraktekkan strategi-strategi itu.
Pada satu waktu dia memanggilku.
Kemudian dia berbicara bahwa aku akan dipindahkan ke Balaraja lagi untuk menjadi pengawas di sana.
Pikiranku langsung berkecamuk mendengar ucapannya. Karena aku sudah mengetahui kursusku akan terbengkalai.
Pulang kerja jam lima, sampai rumah sudah dipastikan jam tujuh-an. Itu karena dua hal. Yang pertama jalanan di daerah situ macetnya sangat parah. Dan yang kedua aku tidak bisa mengendarai motor kencang. Ya, aku tidak bisa ngebut. Enam puluh kilometer per jam adalah kecepatan tertinggiku.
Jika aku datang ke rumah jam tujuh, kapan aku mengajar? Sedangkan kelas malam AutoCAD yang aku ajar mulai jam tujuh.
Dengan kekesalan di hati, akhirnya aku sanggupi permintaan dia.
Aku mulai kerja ke Balaraja pulang pergi dari Daan Mogot. Dan persis dugaanku, pulang kerja aku sampai rumah jam tujuh, bahkan lebih. Sedangkan siswa-siswiku sudah menunggu.
Aku jalani selama tiga hari. Dan hasilnya tetap sama, aku selalu pulang malam. Dan siswa-siswiku sama juga, sudah menunggu dari jam tujuh.
Maka dengan berat hati kuputuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan. Kubuat surat pengunduran diriku.
Kepada Yth.
Pimpinan
PT. P
Di