Kadang masih saja ada yang keheranan jika dikatakan bahwa orang yang sudah mati masih bisa hidup terus. Dan ini bukan bagian pembuka novel Cantik Itu Luka-nya Eka Kurniawan saja. Diceritakan di novel itu sesosok mayat bangkit dari kubur. Tentu saja ini sangat kental dengan aroma mistis. Bukan itu yang ingin saya sampaikan.
Orang mati bisa hidup terus di muka bumi ini karena mereka telah meninggalkan sesuatu untuk dikenang. Sesuatu yang menjadi semacam formalin non fisik. Sebut saja peninggalan mereka berupa tulisan. Ya, ada keabadian dalam sebuah tulisan. Dan itu tidak mati ketika sang penulis sudah tak lagi bisa dihitung harinya. Ketika penulis sudah meninggalkan alam dunia yang fana ini.
Tentu kita masih ingat ketika Al Ghazali berujar: jika kita bukan anak raja atau anak ulama, maka menulislah. Memang terasa tidak adil. Tetapi demikianlah kenyataannya. Faktor keturunan menjadi penentu hidup seorang anak manusia. Mereka tidak bisa melepaskan diri dari orang tuanya. Jika orang tuanya raja atau seorang ulama, maka mereka akan mewarisi nama besar orang tua mereka. Dan itu otomatis tanpa harus bersusah payah meraihnya. Mereka akan tetap dikenang sebagai anak raja maupun anak ulama.
Lain halnya jika seseorang lahir dari keluarga orang kebanyakan. Sejarah tak mungkin mencatat nama mereka dalam lembar-lembarannya. Pena seperti kehabisan tinta. Walau hanya dalam index. Tak akan kita temui nama-nama mereka. Bukankah sejarah hanya mencatat para pemenang?
Dengan keadaan seperti ini, orang yang biasa-biasa saja harus membuat sebuah tulisan untuk memperpanjang keberadaan mereka di muka bumi. Jangan sampai nafas selesai, cerita mereka pun berakhir. Itulah maksud Al Ghazali dengan ucapannya.
Coba cermati lagi buku-buku di rak perpustakaan pribadi kita. Mungkin seperempat atau bahkan setengah dari isi rak buku itu penulisnya sudah lama meninggal. Tetapi nama mereka masih dikenang. Nama mereka tercatat dalam cover depan dan bagian punggung buku. Padahal bisa jadi mereka sudah mati puluhan tahun lampau bahkan ratusan tahun yang lalu. Nama mereka tetap dikenang karena tulisannya.
Memang sangat tepat sekali ketika Pram mengatakan bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian. Dengan menulis, nama seseorang akan tetap abadi. Menulis mengatasi ruang dan waktu. Tidak ada sekat yang membatasinya.
Karena menulis adalah bekerja untuk keabadian.
***
Tadi malam aku baru saja merampungkan Les Mots-nya Jean Paul Sartre. Buku setebal 300 halaman itu di-Indonesia-kan dengan judul: Kata-kata. Diterbitkan oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Dan yang aku baca itu cetakan kedua, september 2009.
Ini bukan kali pertama aku bersinggungan dengan sartre. Sebelumnya aku pernah baca juga: Seks dan Revolusi. Juga dalam Indonesia. Kualitas terjemahan dan juga typo di sana-sini, membuat aku tidak selesai membacanya.
Untungnya aku pernah baca Mengikat Makna-nya Hernowo. Hanya dengan teknik mengikat makna yang pernah aku pelajari dari bukunya Hernowo lah, Seks dan Revolusi, terengkuh beberapa bagian. Walaupun tidak utuh. Jika tanpa itu, mungkin aku agak kesulitan memahaminya.
Berbeda dengan Seks dan Revolusi, membaca Les Mots lebih mengalir. Buku itu dibagi menjadi dua bab saja. Bab pertama berjudul: Membaca. Dan bab kedua berjudul: Menulis.