DRAFTER: Sebuah Perjalanan

Ade Imam Julipar
Chapter #18

TEKNOLOGI DAN BAHASA INGGRIS

Tadi pagi aku mengunjungi ruang produksi untuk membuat video mesin baru. Video itu rencananya untuk tamu-tamu yang berkunjung ke pabrik. Jadi, sebelum melihat-lihat pabrik, mereka sudah ada gambaran seperti apa.

Sambil membuat video, pikiranku tidak mau diam. Ada sesuatu yang melonjak-lonjak. Sebuah kesadaran muncul ketika memvideokan mesin itu.

Dulu, jika orang ingin membuat produk seperti yang dibuat oleh mesin di depan aku ini, paling tidak harus ada 10 orang. Kini, di depan aku hanya tampak dua orang yang sedang menjalankan mesin. Kemana yang 8 orangnya lagi?

Inilah ekses yang ditimbulkan oleh teknologi. Tenaga manusia telah tergantikan oleh mesin, dengan dalih efisiensi. Otomatisasi telah merambah ke seluruh bidang manusia. Tak ada yang tak tersentuh olehnya.

Jika orang tetap mempertahankan cara lama, maka siap-siaplah tergerus. Karena tidak ada lagi tempat untuk yang lama. Semua tergantikan dengan cara baru.

Yang jadi persoalan adalah apakah kita akan menjadi hanya sebagai pengguna, atau kita ikut serta berkontribusi terhadap perkembangan teknologi? Ini yang menjadi persoalan sesungguhnya.

Karena suka tidak suka teknologi akan menggantikan tenaga manusia. Seperti yang terjadi di ruang produksi tempatku bekerja. Lajunya tidak bisa dibendung lagi. Hanya ada satu pilihan: ikut terlibat dalam perkembangan teknologi.

Tetapi bagaimana kenyataan yang terjadi? Ternyata kita hanya menjadi pengguna saja. Belum lagi menjadi penyokong terciptanya teknologi baru. Ini bisa kubuktikan dengan mesin baru di tempat aku bekerja.

Mesin itu dibeli dari Italia. Tempat aku bekerja menggunakan mesin itu untuk memproduksi barang jadi. Karena mencari mesin sejenis di Indonesia belum ada. Walaupun ada tentu kualitasnya akan jauh dibawah standar.

Jika perusahaan memaksakan membeli produk lokal, resikonya akan terlalu besar bagi kualitas barang yang diproduksi. Bukannya untung, yang ada malah customer yang biasa membeli produk jadi di tempatku bekerja akan lari membeli ke pabrik lain.

Inilah posisi dilematis yang aku lihat. Di satu sisi kita ingin mengembangkan sektor industri dalam negeri, tetapi di sisi lain, kualitas lokalan belum lagi dapat menjamin sebuah produk akan berkualitas.

Ini bukan karena kita mengidap Barat Minded. Bukan. Ini lebih pada realitas yang ada. Realitas sesungguhnya. Bahwa bangsa kita masih jauh tertinggal dengan bangsa-bangsa lain di bidang teknologi.

Ya, teknologi belum lagi menjadi milik kita. Kita hanya sebagai pengguna saja. Tidak lebih.

***

Di kantor aku sejak satu bulan lalu ada aktivitas baru. Seminggu dua kali tiap jam 3 sore diadakan kursus bahasa inggris selama dua jam. Ada empat orang yang ikut. Salah satunya: aku. Lumayan buat upgrade skill. Kursus bahasa inggrisnya lebih pada percakapan. Atau dalam inggris: Conversation.

Aktivitas baru ini dilakukan untuk menyambut kedatangan mesin baru dari Italia. Karena yang datang nanti bukan hanya mesin saja, tetapi berikut para teknisinya. Jadi, sekitar dua atau tiga bulan lagi, perusahaan aku akan kedatangan 4 sampai 5 orang dari Italia. Maka perusahaan pun berinisiatif untuk mengupgrade orang-orang yang akan bersinggungan dengan mereka.

Jangan sampai terjadi miss komunikasi hanya karena bahasa Inggrisnya tidak cas cis cus. Karena jika gagal faham ketika bercakap-cakap dengan para teknisi dari Italia itu, akibatnya akan fatal bagi kelancaran jalannya mesin baru. Transfer ilmu cara pengoperasian mesin, maintanance, dan lain-lain akan tersendat jika beberapa dari kami yang berhubungan langsung dengan mereka tidak dibekali bahasa inggris yang mumpuni.

Untuk menulis dan membaca dalam Inggris sepertinya sebagian dari kami tidak ada masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika kita harus dihadapkan pada situasi percakapan. Dan itu tentu saja menuntut kecepatan, baik dalam menjawab ataupun bertanya. Karena bahasa tulis beda dengan bahasa lisan. Bahasa lisan tidak memberi kesempatan untuk berpikir dan mencari-cari kosakata. Dia harus langsung terucap saat itu juga.

Bahasa lisan ada dua macam: Monolog dan dialog. Kalau monolog kita hanya berkomunikasi satu arah. Jadi, materi sudah kita hafalkan. Tinggal dibawakan saja. Seperti yang pernah aku lakukan ketika menjadi pembicara di Event Autodesk University Extension ASEAN beberapa tahun lalu. Aku membawakan materi dalam Inggris. Aku tinggal menjelaskan apa yang sudah aku hafalkan.

Kalau dialog berbeda. Satu saat kita berbicara. Kemudian di saat lain kita mendengar. Setelah mendengar kita berbicara lagi untuk menanggapi apa yang lawan bicara kita sudah sampaikan. Terus seperti itu. Dan ini dibutuhkan kemampuan berdasarkan kebiasaan. Artinya, kalau kita tidak biasa berada pada lingkungan orang yang bercakap dalam Inggris, maka kita akan kesulitan. Apalagi pada saat kita mendengar lawan bicara kita. Ya, kemampuan mendengar yang paling sulit dibanding kemampuan berbahasa lainnya. Padahal kemampuan mendengar adalah kemampuan pertama manusia dalam berbahasa.

Pada kali pertama belajar, aku langsung mengungkapkan pada tutornya kebutuhan kami untuk lebih menekankan pengajarannya pada percakapan dalam Inggris. Dan tutornya, yang kebetulan cewek berwajah manis , menyanggupi. Bu Via, nama tutornya, langsung mengajarkan kami semua cara melakukan percakapan dalam Inggris. Menghafal beberapa frasa, kemudian dipraktekkan. Setelah hafal frasa yang diajarkan, kami membuat simulasi. Kami saling berhadapan sepasang-sepasang. Kemudian melakukan percakapan layaknya seperti orang sedang mengobrol.

Demikian metode kursusnya. Dalam 8 kali pertemuan, kami berempat sudah banyak perkembangan, baik dari segi berbicara maupun mendengarkan. Bahkan kami berempat menerapkan aturan hanya bicara dalam Inggris jika kami ada keperluan. Tanpa bahasa Inggris, lawan bicara tidak akan menanggapi. Jadi, mau tidak mau, kami semua harus bicara Inggris. Walaupun di sana-sini masih ditemui beberapa kekeliruan baik dalam pengucapan maupun pemilihan kosakata. Tetapi yang pasti, kami sudah siap menyambut kedatangan para tekhnisi dari Italia ke perusahaan kami.

***

Lihat selengkapnya