Ketika seseorang memutuskan untuk menjadi penulis, bersamaan dengan itu, jatuh pula kutukan atasnya. Kutukan itu sebuah ketidakbebasan berpikir. Hanya ada dua dalam pikirannya. Yang pertama: menulis. Dan pikiran kedua: Ketika dia tidak menulis, dia akan berpikir tentang menulis.
Apapun yang ter-indera-i olehnya, itu akan menjadi bahan tulisan. Sehingga kepekaan akan realitas pun, secara tidak sadar, akan muncul. Dan itu pada tingkat daya serap yang lebih tinggi daripada sebelum menjadi penulis. Memang kita tidak bisa menutup mata, ketika sebelum memutuskan menjadi penulis, kepekaan itu ada. Tapi pada tingkat yang lebih rendah. Berbeda dengan kepekaan seorang penulis.
Seorang penulis tidak hanya bisa melihat sesuatu dari cangkangnya saja. Lebih dari itu. Ia dapat menerabas masuk ke dalam sesuatu di belakang realitas yang di-inderai- nya. Ia bisa membaui hakikat dibalik sesuatu. Kemampuan ini muncul karena tuntutan dari sebuah tulisan yang dibuatnya. Tidak cukup sebuah tulisan hanya menggambarkan sebuah realitas. Dia akan bergerak lebih jauh. Mengungkap dan menyingkap hal tersembunyi dalam sebuah realitas. Yang pada gilirannya, hasil ungkapan dan singkapan itu ia suguhkan kepada pembaca tulisannya sebagai tangkapan pemahaman terhadap realitas tersebut.
Adapun pemahaman realitas yang berhasil dia tangkap ternyata tidak linear dengan pemikiran yang ada, itu soal lain. Sekali lagi bisa dikatakan: selama itu belum ada bantahan, tangkapan realitas itu dianggap sebagai satu-satunya kebenaran. Sampai suatu saat tiba masanya tangkapan realitas itu menjadi tidak benar lagi. Karena munculnya sebuah bantahan yang lebih kuat ---baik secara logika maupun pembuktian ilmiah lainnya.
Tugas kepenulisan memang tidaklah mudah. Selain tuntutan fungsi sosial yang diidap, dalam dirinya sendiri sudah terkena kutukan. Hanya menulis dan berpikir tentang menulis.