Gamal kembali membolak-balikkan bukunya ketika rumus yang ia gunakan sama sekali tak bisa menghasilkan nilai yang cocok dengan pilihan ganda dalam sana. Berkali-kali ia mencocokkan cara kerja rumus yang terdapat pada contoh dan hasil pekerjaannya sendiri. Tidak ada yang salah, hanya saja ia tetap tak bisa menemukan jumlah yang benar.
Lelaki dengan tinggi 1.80 cm itu mencoba, berulang-ulang ia menghitung tapi hitungannya masih saja tidak tepat. Hingga pada akhirnya ia menyerah dan memilih untuk mengusak rambut ikalnya dan melepaskan kacamata yang ia kenakan dengan kasar.
“Ah, menyebalkan.” Ia menjauhkan bukunya, lalu melempar pensil yang tadinya ia genggam hingga terguling-guling dan jatuh ke bawah meja.
Jika saja nilai Gamal tidak berkurang satu poin di semester kemarin, mungkin ia tak akan pernah sepusing ini. Sejauh ini nilainya memang masih aman, tapi tidak sesempurna awal semester.
“Gamal Hendrawan!” Perhatian pemuda dengan tinggi di atas rata-rata itu terbagi begitu suara melengking ia dengar dari arah koridor.
“Gamal sayang!”
Oh sungguh, jika Gamal tidak ingat siapa pemilik suara itu mungkin saja ia sudah melempar kursinya keluar kelas.
"Bisakah kau datang dengan sedikit tenang?" Gamal berbalik ke arah Theo yang malah memamerkan senyum tiga jarinya. Lelaki itu cukup menarik perhatian beberapa orang. Dengan parasnya yang kental dengan gen kaukasia, Theo mampu membuat beberapa gadis menggulirkan mata ke arahnya.
“Lihat ini!” seru Theo seraya menunjukkan selebaran pada temannya yang satu itu.
“Apa ini?” tanya Gamal heran, ia membolak-balikkan kertas yang berisikan pengumuman lomba menari itu.
Theo berdecak dan mengambil kembali kertas yang ia berikan pada Gamal. “ngumuman lomba menari itu. Kau ini benar-benar, peringkat saja nomor satu, tapi tidak bisa membaca.”
“Heh, bukan begitu.” Gamal kembali merebut selebaran tersebut. “Aku hanya ingin bertanya apa maksudmu memberikan itu kepadaku? Kau kan tahu aku sama sekali tidak bisa menari.”
“Siapa juga yang menyuruhmu mengikutinya. Aku yang akan maju. Pelatih sudah menyetujuinya. Jadi minggu depan aku akan bolos, yeaaaah.”
Gamal menggulirkan matanya jengah, Theo memang kadang suka sedikit berlebihan.
Gamal dan Theo, mereka sudah mengenal sejak masuk sekolah dasar. Lingkungan rumah mereka sama, walau tidak bisa dibilang dekat membuat keduanya sering bermain bersama.
Mereka sudah seperti saudara kembar yang tak bisa di pisahkan, walau memang sifat dasar keduanya saling bertolak belakang. Gamal amat disiplin waktu, gila belajar dan sedikit anti sosial, berbeda jauh dengan Theo yang begitu bersinar dengan kemampuannya bergaul. Temannya ada di mana-mana, dari senior, seangkatan hingga junior tak ada yang tidak tahu Mattheo si dancer kebanggaan sekolah. Kurangnya, Theo tak pernah bisa serius dan sedikit rendah di bidang akademik.
Namun bagaimana pun perbedaan mereka, baik Gamal maupun Theo tidak pernah sekalipun merasa keberatan dengan itu. Ya meskipun memang banyaknya Gamal yang lebih nelangsa.
“Aku turut senang, lagi pula itu artinya aku tidak akan susah-susah memberimu bocoran.”
Gamal berdiri sembari membenahi ranselnya. Sementara Theo tengah memikirkan sesuatu tentang minggu depan itu. Matanya berotasi ke langit-langit, berusaha memahami ucapan kawannya.
“Oh astaga, aku lupa kalau minggu depan itu ujian fisika. Mati aku!”
“Maka dengan senang hati aku akan menguburkanmu.” Gamal bicara di ambang pintu. Ia tertawa lebar mendapati wajah menderita Theo. Sebelum matanya melirik ke arah ujung koridor yang sudah mulai gelap.
“Aku minta maaf, Kak.”
“Kau pikir maafmu akan membuat semuanya menjadi beres. Dasar tidak tahu diri!”
Telinga Gamal seolah terfokus pada bunyi pukulan dan tendangan tak jauh dari kelasnya, mungkin dari gudang atau dari ruang kebersihan yang memang tak jauh dari sana.
“Suara apa itu?” tanya Theo kepada Gamal yang berdiri diam di ambang pintu.
“Tidak tahu.”
“Itu terdengar seperti suara Mikha.” Theo kembali bicara setelah menajamkan telinganya.
Gamal mengangguk setuju. Ia mengenal Mikha, mereka satu kelas, lebih dari itu Mikha adalah teman mereka semasa SMP. Anak itu cukup pendiam ketika menginjak bangku SMA. Ia juga sangat jarang terlihat bergaul dengan anak-anak yang lainnya. Namun, walaupun Mikha sangat jarang bicara di kelas, Gamal sudah hafal betul dengan suara kesakitannya.
“Kita tidak berniat membantu?”
“Tidak usah.” Gamal berlalu begitu saja dari sana. “Lagi pula bukan urusan kita.”
Theo membulatkan matanya tak percaya. “Wah, Gamal Hendrawan memang tidak punya hati, ya.” Ia berteriak kencang, tak peduli pada keadaan sekitarnya.
“Setidaknya aku punya otak yang cerdas.”
“Heh, Mal. Maksudnya aku tidak punya hati, begitu?”
***
“Heh, Mal. Maksudnya aku tidak punya hati, begitu?”