GIRIMA semakin tampak. Hanya tinggal beberapa menit lagi sebelum Arthur dan pasukannya mendarat. Arthur kembali memeriksa perlengkapan-perlengkapan pasukannya dan kembali menjelaskan strategi kepada mereka.
“Kali ini... kita serang mereka tanpa ampun,” ujar Arthur di akhir pidatonya. “Girima akan kita ambil alih. Para kolvar, ingat tugas kalian. Kalian merupakan kunci keberhasilan kali ini. Takkan ada ampun untuk Hashin.”
Usai membubarkan pasukan, Rey menghampirinya, “Apa itu berarti kau akan membunuh kali ini?”
Membunuh. Kata itu ibarat gema yang terdengar berulang kali di telinga Arthur ketika Rey mengucapkannya. Arthur tak tahu apakah kali ini ia akan sanggup menghabisi nyawa lawan meski ia sendiri memerintahkan anak-anak buahnya untuk menyerang habis-habisan. Arthur merasa akan amat buruk dampaknya jika ia melakukan itu. Seperti mimpi buruk.
Tentu saja Arthur sudah merasa cukup akan mimpi-mimpi buruk yang menghantuinya nyaris setiap malam. Mimpi di mana kejadian itu terulang lagi; Daniel yang membantai ibunya dengan kejam. Seringai itu. Tawa itu. Bau darah itu. Atmosfernya yang mencekam. Seolah Arthur benar-benar kembali hadir dalam peristiwa dua puluh tiga tahun silam itu. Belum lagi mimpi lain di mana ia menembak mati prajurit dari Ducain yang merupakan pembunuhan pertamanya. Sebagaimana waktu itu, bisikan yang sama juga menghantui Arthur ketika ia memimpikan peristiwa tersebut: bunuh, darah, takdir. Dan Arthur tahu itu adalah suara hatinya. Memaksanya untuk menjadi seseorang yang tidak ia inginkan dan masuk ke dalam takdir Alfrega yang ia anggap tidak benar.
Namun mau tak mau, Arthur harus akui, meski lebih sering merasa takut, terkadang bisikan tersebut juga terdengar sangat menggoda.
“Tidak,” jawab Arthur.
“Masih tetap pada pendirian ternyata,” ujar Rey. “Tapi percayalah, suatu hari nanti, kau harus berani melakukan itu. Atau lawanmu yang akan menghabisimu... atau orang yang kau cintai. Dan waktu tidak bisa diputar kembali. Ingat itu, Arthur.”
SEMUA verdian dan rahanak telah siap di atas rhuno mereka masing-masing sementara para kolvar sudah terlebih dulu turun di pesisir barat Girima dengan dikawal oleh sejumlah prajurit pemula. Prajurit pemula lain turut pula turun menggunakan parasut di tempat-tempat tersembunyi lain dan mulai menyerang terlebih dahulu.
Pintu di hadapan para verdian dan rahanak pun terbuka, memperlihatkan dataran kota Girima yang telah mereka kenal. Pertahanan Girima telah dipersiapkan dengan mantap, tentu saja. Sudah sewajarnya mereka mengantisipasi serangan mendadak setelah semua yang terjadi. Pasukan Bayangan Girima dan kemiliteran telah siap di pos masing-masing. Sama sekali tidak menunjukkan kelengahan meski di pagi-pagi buta begini. Dan tampak di kejauhan oleh mereka: Istana Kaisar Vladimir Rui yang di puncaknya berkibar bendera berlambang dua pedang menyilang dengan pusaran hitam sebagai latar belakang. Tempat tujuan Arthur.
“Arthur, tidakkah lebih baik jika sebagian dari kita langsung saja mengarahkan Ghrandir ke dekat Istana?” usul Moore Volaris, salah seorang verdian. “Dengan demikian tujuan kita akan lebih cepat tercapai daripada harus berhadapan lebih dulu dengan ribuan pasukan Hashin.”
“Tidakkah kau ingat apa yang terjadi dengan kapal Xainair?” balas Arthur. “Bisa gawat kalau hal yang sama terjadi pada Ghrandir. Kalau Ghrandir juga sampai ikut hancur seperti Xainair waktu itu, maka kita tidak akan bisa pulang. Kita tidak punya kapal besar lain saat ini selain Ghrandir, kau mengerti? Maka sudah diputuskan, kita akan langsung turun di sini, dan Ghrandir harus segera pergi ke tempat yang aman dan tunggu perintah selanjutnya.”