Dragana

Jufan Rizky
Chapter #19

Chapter 18 - Old Friend

LAGI-LAGI Orgosh Walmar tak mampu larut dalam tidurnya. Bagaimana tidak, saat ini pasukan yang ia bawahi sedang bertempur melawan negara yang lima tahun belakangan merupakan musuh bebuyutan Irion tanpa kehadiran dirinya sebagai pemimpin. Tidak seperti perang-perang sebelumnya semenjak ia menduduki posisi sebagai gallant.

Orgosh memercayakan kepemimpinan sementara kepada prajurit yang terbaik menurutnya, Arthur Alfrega. Dia bisa. Arthur pasti bisa.

Bukan hanya itu yang membuat Orgosh tak bisa memejamkan matanya. Beberapa jam lagi, ketika matahari keluar dari persembunyiannya, ia akan mengikuti pemilihan Presiden Irion berikutnya. Sudah sejak lama Orgosh menginginkan posisi tersebut. Tidak seperti kebanyakan presiden sebelumnya, Orgosh Walmar benar-benar ingin mengatur Irion sebagaimana mestinya seorang pemimpin. Jika nanti ia berhasil, ia ingin namanya dikenang sebagai pemimpin negara yang membawa perubahan besar dan positif. Seperti Bart Welles si presiden pertama yang dikenang akan semangatnya membangun sebuah bangsa yang maju. Seperti Claymond Rew yang dikenal dengan sifat diplomatisnya hingga mampu memecahkan berbagai perselisihan dengan negara lain tanpa harus berperang. Seperti Mathiu Manson yang berhasil menyelamatkan pekonomian Irion yang terpuruk pasca perang melawan Iflandi.

Orgosh ingin membawa suasana Irion kembali ke masa-masa kepemimpinan mereka. Masa-masa di mana Irion merupakan tempat yang nyaman untuk ditinggali rakyatnya. Bukan tempat kacau dan meresahkan seperti sekarang. Sudah cukup kekacauan yang dialami negeri ini. Orgosh berjanji seberat apa pun masalah yang akan ia hadapi jika berhasil menjadi presiden nanti, perang akan menjadi solusi terakhir. Orgosh sudah muak dengan perang yang tidak berkesudahan. Persoalan yang harus ditangani seorang presiden memang banyak. Tapi saat ini, melenyapkan perang dan menstabilkan negara merupakan prioritas utama. Jika nanti ia memenangkan pemilihan itu, Orgosh yakin akan bisa mewujudkan impiannya tersebut. Impian menuju Irion yang damai. Zenna yang damai. Dan Orgosh rela melakukan apa pun untuk mencapai itu.

Apa pun.

Masih beberapa jam lagi sebelum matahari terbit. Dari semalam, sayup-sayup ia mendengar huru-hara masyakarat yang berdemonstrasi di luar sana—di Gedung Utama Pemerintahan, tempat di mana presiden dan wakilnya bekerja bersama menteri-menteri. Tak hanya di Aesild sini, unjuk rasa gila-gilaan tentunya juga terjadi di gedung-gedung pemerintahan lain di berbagai kota di Irion. Mulai dari permohonan untuk menghentikan perang, sampai tuntutan untuk dilakukan pemilihan presiden dalam bentuk pemilihan umum. Berbagai macam unjuk rasa mereka lakukan untuk menarik perhatian pemimpin tertinggi saat ini, sang wakil presiden, Cliff Theosson. Berharap orang macam dia akan mendengar suara kalian. Ternyata kalian masih belum mengenal betul pendamping mendiang Frans Sullivan ini.

Di tengah kekacauan-kekacauan ini, rasanya cuma ada satu orang yang bisa Orgosh ajak mengobrol untuk menghilangkan rasa jenuhnya. Seorang pria yang berada di tempat yang jauh dari unsur-unsur politik dan semua kekacauan ini. Seorang teman lama.

Mengendarai mobilnya, Orgosh pun kemudian bertolak menuju tempat tersebut: Rumah Sakit Jiwa Araken.

Para petugas rumah sakit serta merta memberi hormat pada Orgosh sang gallant. Beberapa dari mereka bahkan mengemukakan pendapat bahwa ini merupakan waktu yang tepat bagi Orgosh untuk duduk di bangku presiden. “Doakan saja yang terbaik bagi negeri kita ini,” jawabnya.

Sesampainya di resepsionis, Orgosh berkata, “Saya ingin menemui Daniel Alfrega. Dikawal? Tidak. Tidak perlu, terima kasih. Saya bisa jaga diri.”

Orgosh tahu betapa takutnya para petugas dengan sel-sel lantai bawah. Bukannya merasa nyaman, ia justru akan merasa resah dan jengkel mendengar ketakutan-ketakutan mereka.

Dengan menekan tombol B7, Orgosh pun langsung tiba di lantai tujuannya. Orgosh berjalan pelan melewati sel demi sel.

“Kawan-kawan, lihat siapa yang datang,” ujar sebuah suara. Seketika kemudian, mata-mata penghuni seluruh sel pun bertimbulan dari balik jeruji-jeruji kecil. Tidak ada di antara mereka yang tidak kenal dengan Orgosh Walmar.

Orgosh mengenali suara barusan. Ia bahkan tidak perlu menoleh untuk melihat namanya. “Apa kabarmu, Benjamin?” tanya Orgosh.

“Masih ingat padaku rupanya.”

“Mana mungkin lupa. Mengingat caraku meringkusmu beserta pasukanmu yang sinting itu.”

“Kau bersama temanmu si Alfrega yang gila itu. Haha!! Tidakkah itu mengasyikkan bagimu, Orgosh Walmar? Mana Qogurd-mu yang terkenal itu? Tumben kau tidak membawanya kemari.”

“Aku tidak perlu membawa pedangku hanya untuk menghadapi manusia-manusia di balik jeruji.”

Meski hanya terlihat matanya saja, tapi Orgosh tahu bahwa Benjamin menyeringai di balik jeruji itu. “Padahal kau selalu waspada. Atau jangan-jangan kau lupa? Hahaha. Hati-hati, Orgosh. Usia mulai mengikis insting, kemudian fisikmu. Kau tahu, jeruji ini takkan bisa menahan kami selamanya. Setiap kali kau kemari, aku selalu bilang kami akan keluar dari sini suatu hari nanti. Dan hari itu bisa saja hari ini. Saat ini. Dan kau tidak membawa pedangmu.”

Tanpa Orgosh sadari ia menelan ludah. Tangannya gemetar. Mata-mata Benjamin seolah mampu melihat sampai ke dasar hatinya. Orgosh pun mencoba mengendalikan diri seraya berkata, “Kalian mau menyerang? Coba saja. Aku tak butuh pedang kalau hanya untuk menghadapi pasien-pasien rumah sakit seperti kalian.”

Ia pun segera enyah dari sel Benjamin Townsend. Namun suara lain yang juga ia kenal langsung menghampiri tak lama kemudian.

“Masih belum mati kau, Walmar?”

Orgosh menoleh ke kanan. “Seperti yang kau lihat, Telhir. Aku masih bugar dan masih siap meladeni negaramu jika masih berani mengulah.”

Berbeda dengan Benjamin Townsend yang lebih bisa menahan diri, Floda Telhir justru tidak segan menunjukkan amarahnya. “Kembalikan aku ke negaraku, bangsat! Kalian tidak berhak menahanku di sini!”

“Salah besar jika kau beranggapan Ducain masih sudi menerimamu. Sekalipun kau adalah seorang komandan besar. Mantan, maksudku. Kau memang banyak berjasa bagi negaramu. Tapi memperlakukan prajuritmu sendiri layaknya hewan takkan bisa diterima oleh akal sehat manusia manapun. Menyiksa bawahan yang kemampuannya mengecewakan? Astaga. Terkadang aku ragu kau memiliki hati nurani. Aku bahkan yakin rakyat Ducain sudah membuatkan kuburan dengan namamu terukir di nisannya. Ducain tak lagi peduli padamu sejak kau tertangkap oleh kami. Mencoba menyelamatkanmu pun tidak. Beruntung kau dianggap gila sehingga kami tidak dibenarkan untuk segera menghabisimu. Kau sudah tua, Floda. Istirahatlah dalam selmu. Mati, kalau bisa.”

“Suatu hari nanti kau juga akan melakukan sesuatu yang dianggap keji oleh sebagian orang demi negaramu, Walmar,” balas Floda. “Kau dan aku sebenarnya tak jauh berbeda. Kita berdua mencintai negara kita dan rela melakukan apa pun deminya. Sekalipun itu perbuatan yang salah. Sekalipun itu berarti kau akan dibenci.”

Orgosh tak menjawab. Ia pun meninggalkan Floda dan kembali melangkah menuju sel tujuannya. Ia menyapa, “Halo, Daniel.”

“Enyahlah, Orgosh.”

“Jangan begitu. Tidakkah kau ingin bertemu teman lama?”

“Tidak kecuali kau membawakan Xillenne-ku.”

“Ia sudah mati, Dan. Kau sendiri yang membunuhnya, ingat?”

“Pedangku, sialan. Pedangku.”

“Oh! Haha. Aku belum mau melihat Aesild kacau.”

“Bukankah kau akan selalu ada sebagai gallant yang pemberani untuk mencegah itu semua? Sebagaimana yang kau lakukan ketika menghentikanku dulu dan membawaku kemari.”

Orgosh pun kembali mengingat peristiwa di mana ia meringkus Daniel yang membunuh istrinya yang saat itu tengah mengandung dengan teramat keji. Setelah dilakukan beberapa tes, maka disimpulkan bahwa Daniel mengidap gangguan kejiwaan sebelum kemudian dibawa kemari. “Kau sudah kelewatan waktu itu, Dan. Berapa kali harus kukatakan?”

“Mengapa tidak kau bunuh saja aku waktu itu daripada membawaku kemari?”

“Ayolah. Kau tahu undang-undangnya.”

“Setidaknya kau bisa kumaafkan karena menepati janjimu.”

Orgosh mengangguk. “Tidakkah kau lihat bagaimana ia tumbuh sekarang? Ia telah menjadi seorang Alfrega sejati.”

“Jangan sampai ia menjadi Alfrega sejati!” potong Daniel. “Alfrega sejati adalah manusia-manusia sinting yang haus darah. Jangan biarkan dia menjadi manusia seperti itu… manusia seperti ayahnya.”

“Aku masih tidak sependapat denganmu mengenai Alfrega sejati.”

“Aku lebih tahu! Aku yang memiliki darah itu!”

Orgosh terdiam.

“Pastikan saja dia tetap berada di jalan yang benar, seperti yang pernah kaujanjikan. Katakan padanya, kapanpun ia mendengar bisikan di telinganya, abaikan!”

Lihat selengkapnya