TANGGAL 9, bulan Lampt, tahun 1383. Hari ini akan menjadi hari bersejarah bagi Orgosh Walmar dan Irion andai semua berjalan sesuai harapan.
Fajar kian menyingsing. Pemilihan presiden baru akan dilaksanakan sebentar lagi. Rasa gugup semakin dirasa oleh Orgsoh Walmar mengingat dirinya akan menghadapi saat yang menentukan beberapa jam lagi. Orgosh menatap cermin besar di hadapannya, dan menemukan sesosok pria tinggi besar, tua, berwajah pucat, dan kaku di sana. Pria yang entah mengapa tiba-tiba merasa bahwa dirinya belum siap bertanggung jawab mengurus negeri adidaya ini. Namun kehadiran wanita di belakangnya segera mengubah perasaannya.
“Kau selalu terlihat gagah.”
“Kau selalu melebih-lebihkan,” balas Orgosh sembari menatap mata wanita itu dalam-dalam. Pesona wanita itu tak pernah luntur dari matanya. Selalu sama seperti pertama kali ia mengenalnya empat puluh tahun yang lalu. Di matanya, wanita ini tidak pernah bertambah tua. Orgosh selalu jatuh cinta tatkala melayangkan pandangannya terhadap wanita ini. Bahkan sampai detik ini. Menikahi dan memiliki anak-anak darinya merupakan suatu anugerah bagi Orgosh. Sebuah keputusan terbenar yang pernah ia ambil.
“Bukankah kau harus segera bersiap-siap? Jasmu sudah kusiapkan di kamar.”
“Terima kasih, Elena.”
“Wajahmu pucat sekali. Ada apa?”
Orgosh menghela napas. “Entahlah. Perasaanku tak menentu. Tiba-tiba nyaliku ciut menghadapi semuanya.”
“Semua akan baik-baik saja,” Elena Walmar berusaha menenangkan. “Tak akan ada yang bisa mengalahkan Orgosh Walmar yang tangguh. Seburuk apa pun keadaannya, sang Gallant pasti bisa mengatasinya. Begitu juga jika nanti kau berhasil memenangkan suara dan menjadi presiden. Kau akan membawa negeri ini menjadi lebih baik. Irion yang diimpikan semua orang.”
Tentu saja. Itulah yang selalu coba diyakini Orgosh. Orgosh yang akan melakukan apa saja demi Irion yang damai. Zenna yang damai.
Orgosh mengecup kening istrinya. “Sekali lagi terima kasih. Kau selalu ada untukku.”
Beberapa menit kemudian, Orgosh pun telah siap dengan jasnya. Ia terlihat begitu tampan. Elena tak henti-henti memuji dan terus mengatakan betapa berbeda penampilannya sekarang dengan penampilannya ketika mengenakan zirah keemasan gallant yang hampir selalu ia kenakan selama lima tahun terakhir.
“Aku pergi dulu.”
“Pulanglah dengan membawa kabar baik,” ucap Elena penuh harap.
DIKAWAL tiga pemula, Orgosh berjalan menembus kerumunan media yang memenuhi pintu masuk Gedung Utama Pemerintahan, tempat pemilihan presiden diadakan. Upayanya untuk menghindari mereka dengan datang beberapa jam lebih awal ternyata tidak berhasil. Media memang selalu lebih cepat.
Pemilihan tidak sepenuhnya dilakukan secara tertutup. Beberapa media diperbolehkan masuk untuk meliput agar masyarakat bisa menonton pemilihan ini di rumah masing-masing.
Merasa dirinya sudah aman dari mereka, Orgosh pun mempersilakan tiga pengawalnya untuk menunggu di luar, sementara ia memasuki aula pertemuan. Orgosh mendapati ternyata baru satu orang yang hadir di sana. Ia pun kembali menutup pintu dan memilih tempat untuk duduk. Langkah kakinya menggema memenuhi ruangan. Ia akhirnya duduk di tempat yang agak jauh dari orang itu.
Hening cukup lama.
“Di aula ini dilarang membawa senjata, kau tahu?” Orgosh akhirnya memulai.
Windhra Fulguresh menatapnya bingung. “Senjata? Senjata apa? Aku tidak bawa senjata.”
“Tidak usah main-main denganku, Fulguresh. Thurall yang kau pegang itu adalah salah satu senjata paling berbahaya di Zenna.”
“Jadi kau ingin membiarkan orang tua ini berjalan tanpa tongkat? Oh? Sepertinya kau tidak sengaja membawa pisau cukur di balik jasmu,” kata Windhra.
“Maaf?”