MAFFREY Rayes masih terus menekuni dokumen-dokumen pembunuhan Frans Sullivan di hadapannya. Meski ia belum tidur semalaman. Meski mentari telah terbit. Meski tersangka sudah ditetapkan.
Meski semua sudah terlambat.
Tidak. Tidak ada kata terlambat untuk kebenaran.
Untuk ke sekian puluh kalinya, Maffrey kembali memutar rekaman peristiwa pembunuhan Frans Sullivan di komputernya. Sembari menyesap kopi pahitnya, ia tatap dekat-dekat komputer itu dan mengamati tiap gerakan sang pelaku.
Mengungkap kebenaran sama seperti bermain jigsaw puzzle. Perlu dilakukan pengamatan yang jeli dan memahami betul apa sebenarnya yang sedang coba diungkap. Ketelitian pun amat diperlukan untuk mempelajari letak-letak tiap kepingan agar tercipta satu buah gambar yang utuh.
Sembari melakukan itu, tak henti-henti pula semalaman ia memaki dalam hati karena pemerintah begitu saja menarik kesimpulan bahwa Hashin yang bertanggung jawab atas kematian Frans Sullivan. Bahkan mereka tidak menunggu hasil dari penyelidikan tim kepolisian dan seenaknya mengambil tindakan. Langsung melakukan penyerangan atas bukti-bukti kecil, tidakkah itu gila? Bukankah sosok bertopeng dalam rekaman itu bisa siapa saja? Mengapa mereka sama sekali tidak mengindahkan ajakan Vladimir Rui untuk bicara terlebih dahulu? Bukankah ini bisa saja kelakuan oknum lain yang ingin Irion dan Hashin kembali berseteru?
Maffrey berharap, jika memang negeri ini tidak dikutuk, semoga hasil pemilihan presiden nanti sesuai dengan harapannya. Demi Irion yang lebih baik.
Maffrey Rayes mengambil cerutunya kemudian mengisapnya dalam-dalam. Hanya cerutu mahalnya itu yang dapat mengembalikan kesabarannya.
Kesabaran adalah kunci untuk menyelesaikan jigsaw puzzle terumit sekalipun. Sayangnya tidak semua orang memiliki itu.
Terdengar ketukan di pintu.
“Masuk.”
Seorang petugas membawa setumpuk dokumen lain dan meletakkan semua itu di atas meja Maffrey. “Ini data-data yang berhasil dikumpulkan tim investigasi, Detektif Rayes. Sesuai yang Anda minta.” Ia juga menyerahkan sekeping disc. “Dan ini simulasi yang sudah kami kerjakan.”
Akhirnya. “Terima kasih.”
“Siaran langsung pemilihan presiden baru sudah dimulai, Detektif,” kata petugas itu. “Tidakkah Anda ingin menonton?”
“Pelaksanaannya pasti bertele-tele. Kabari saja kalau pemilihannya sudah selesai.”