Dragana

Jufan Rizky
Chapter #31

Chapter 30 - A Piece of Memory

SEISI Ghrandir pun ricuh mendengar kabar mengenai hasil pemilihan presiden baru. Semuanya kecewa. Gegap gempita akan keberhasilan misi pun sontak lenyap. Suka cita para prajurit berganti menjadi keluhan.

Rasa kecewa turut pula dirasakan Sandra Vigor yang masih terbaring di ruang rawat VIP dengan tubuh bertebaran luka bakar.

“Sudahlah, Bi,” ujar Lid menenangkan. “Bibi istirahatlah dulu.”

“Jangan sentuh aku.” Sandra menepis tangan Lid. “Kau tak tahu apa yang akan terjadi jika orang seperti itu lagi yang memimpin.”

Lid menghela napas. “Ya sudah. Kalau begitu aku keluar dulu.”

Saat Lid hendak membuka pintu, Sandra memanggil.

Lid pun berpaling.

“Apa kau membenciku?” Sandra tiba-tiba bertanya.

Lid terperangah. “Mengapa Bibi bertanya begitu?”

“Jawab saja pertanyaanku.”

Lid pun bingung menjawabnya, “Bibi adalah bibiku. Mana mungkin aku membenci Bibi.”

“Bahkan ketika kau mengadangku di perang tadi?”

Lid kian dibuat heran. Ia tak menyangka Sandra akan mengungkit hal itu.

“Caramu menatapku benar-benar berbeda ketika itu, Lidwina. Aku yakin, meski hanya sesaat, kau sempat berniat menghabisiku dengan phoenixmu. Kenapa kau masih sudi menolongku? Padahal kau tahu aku tidak pantas untuk itu.”

Lid benar-benar tidak siap menghadapi pertanyaan seperti ini. “Semua orang pantas untuk diselamatkan.”

“Bahkan bibi yang kejam sepertiku?” Sandra tertawa kecil. “Kau tahu? Ketika kau mengadangku menyerang prajurit-prajurit Hashin itu, untuk pertama kalinya aku merasa bangga padamu.”

“Ba... bangga?”

“Kau mirip sekali dengan ibumu, Lidwina. Ah, sudah berapa kali kukatakan hal itu? Sama-sama lugu, namun kepala lebih keras dari kulit golem sekalipun. Aku amat menyayangi ibumu, asal kau tahu. Kami semua menyayanginya. Sampai ia bertemu dengan ayahmu si Aviva itu. Pria yang hanya mengandalkan tampang tanpa punya masa depan. Sayang ibumu terlalu buta oleh cinta. Lihat apa yang kemudian terjadi pada mereka.

“Tapi tadi... kau melakukan apa yang tidak pernah mereka lakukan, dan untuk pertama kalinya kutemukan dalam dirimu: keberanian. Itulah yang terus kucoba gali dari dirimu selama ini. Agar kau bisa melindungi dirimu sendiri tanpa harus bergantung pada dua verdian itu. Bahkan aku rela kaubunuh jika tadi kau benar-benar berniat melakukannya.”

Lid merasa seperti sedang bermimpi. Ia nyaris tak memercayai telinganya. Semua itu benar-benar keluar dari mulut seorang Sandra Vigor yang keras. Sikapnya selama ini, perilakunya, kata-katanya. Ternyata semuanya demi Lid. Semua itu ia lakukan agar Lidwina menjadi orang yang lebih baik. Untuk menjadi seorang prajurit Isvar yang sesungguhnya.

Itulah yang diinginkan Sandra selama ini. Harusnya aku tahu itu….

“Kau bukan anak kecil lagi, Lidwina. Aku hanya ingin kau mengerti bahwa hidup ini tidak mudah. Kelak kau akan dihadapkan pada keputusan-keputusan yang sulit. Akan tiba saat di mana kau harus cukup bijak untuk melakukan hal yang salah demi kebenaran yang sesungguhnya. Aku ingin kau memahami semua itu. Aku ingin—” Ucapan Sandra terputus ketika Lid tiba-tiba menghampirinya dan memeluknya erat.

 

USAI mengurus bibinya, Lid turut pula mengunjungi teman-teman prajurit lain.

Mulai dari Rey.

Meski ruang rawatnya tidak semewah ruang VIP yang ditujukan untuk para ketua divisi, ruang wakil ketua divisi seperti Rey ini pun sebenarnya juga tidak kalah nyaman. Namun ketika tiba di ruangan tersebut, Lid tidak diperbolehkan masuk oleh dokter. Kondisi Rey saat ini masih kritis dan belum boleh dikunjungi siapapun.

Maka, Lidwina pun beralih ke ruangan lain. Ruangan luas di mana prajurit-prajurit tiga divisi yang terluka dirawat dalam satu tempat. Oleh sebab itulah ruangan ini jauh dari kesan nyaman.

Tiap-tiap pasien hanya dipisahkan oleh sehelai tirai. Bau darah dan antiseptik bercampur menjadi bau menyengat yang menyesakkan. Belum lagi jerit-jerit kesakitan yang membuat bulu kuduk merinding. Namun Lid tetap melangkah ke dalam agar teman-temannya tahu bahwa ia peduli pada mereka.

“Hei, cantik,” panggil seseorang.

Lid menoleh, lalu terkesiap. “Armand? Dormand!?” Ia mendapati si kembar Virian tengah duduk santai. Armand di atas ranjang, sementara Dormand duduk di kursi. Andai mereka tidak mengenakan baju pasien, tentu tak akan ada yang percaya bahwa mereka baru saja sembuh dari luka yang cukup parah.

“Kalian sudah sembuh?” Lid masih tak percaya. “Kalau aku tidak salah dengar, di perang tadi kalian... eeemm... terbakar?”

“Haha. Tidak ada yang bisa sembuh lebih cepat dari Virian bersaudara,” ujar Armand ceria.

“Apa lagi yang kau dengar, Lid?” tanya Dormand.

Lihat selengkapnya