ARTHUR membidikkan pistolnya ke pria di hadapannya yang juga melakukan hal serupa dengan senapannya ke Arthur. Hanya ada dua kemungkinan, Arthur yang lebih dulu menarik pelatuknya, atau orang itu. Arthur yang lebih dulu mati, atau orang itu. Arthur dapat mendengar kericuhan di sekitarnya. Suara tembakan, ledakan, teriakan panik masyarakat. Namun justru bukan suara-suara berisik itu yang terdengar lebih jelas di telinganya.
“Bunuh, darah, takdir.”
Suara bisikan itu merangsang pikiran Arthur untuk tidak ragu melepas tembakan. Namun ternyata akal sehatnya masih cukup kuat untuk mencegahnya melakukan itu. Jangan, Arthur. Sekali kau melepas tembakanmu, maka kau bukan lagi orang yang sama.
Waktu seperti berjalan dengan sangat lama. Meski pada kenyataannya hanya hitungan detik, namun ini semua terasa seperti berjam-jam. Bahkan berhari-hari.
Arthur melihat lawan di hadapannya mulai menggerakkan telunjuk dan tidak ragu untuk melepas tembakan. Lalu bagai pecut, teriakan Rey yang entah sejak kapan ada di sampingnya memecah lambatnya waktu dan menyadarkan Arthur.
“CEPAT TEMBAK SEBELUM DIA LEBIH DULU MENGHABISIMU!!!”
Pistol Arthur meletus. Dan tidak sampai sedetik, pria itu tewas.
Suara itu berbisik lagi, “Bunuh, darah, takdir.” Arthur tak bisa mengabaikannya. Bisikan itu terus-menerus terdengar. Seolah mengolok dirinya. Menertawai dirinya.
Arthur berteriak. Memohon agar suara itu berhenti. Namun suara tersebut justru semakin jelas terdengar bahkan sampai memekakkan telinga.
Lalu semuanya berubah. Ini bukan lagi tempat yang penuh huru-hara itu. Rey menghilang, begitu juga dengan pria bersenapan tadi.
“Arthur,” seseorang memanggil. Seorang wanita.
“Ibu?”
Arthur mengenal tempat ini. Tempat yang bahkan jauh lebih buruk dari tempat tadi. Lebih mencekam, terutama bagi Arthur kecil.
Arthur kecil merasa sangat takut. Luar biasa takut. Namun ia tetap maju mengadang pria gila di hadapannya dan menahannya.
“Jangan halangi aku, bocah,” katanya. “Minggir!”
Pria gila itu menendangnya. Memukulnya. Menghantamnya dengan berbagai benda yang ada di sekitar.
Arthur kesakitan. Namun ia tetap bertahan demi melindungi wanita yang terduduk dan tak berdaya di belakangnya itu.
“Jangan menangis, Ibu.”
Lalu pria itu mengeluarkan pedangnya. Xillenne, seperti nama wanita yang kini sedang Arthur lindungi. Pedang yang seharusnya membuat orang tercengang karena keindahannya. Namun seringai pria itu merusak segalanya.
Arthur takkan pernah lupa dengan seringai mengerikan itu.
Pria itu mulai bergerak dengan pedang Xillenne-nya. Ia melewati Arthur, dan tiba-tiba saja sudah berada di hadapan Ibu.
“AYAH, JANGAN!”
“Arthur!!”
Arthur membuka mata, dan menemukan Lid duduk di samping ranjangnya dengan penuh rasa khawatir.