Dragana

Jufan Rizky
Chapter #2

Chapter 1 - The Flaming Wings

ADA dua macam orang di dunia ini: penegak keadilan, dan pembunuh yang bertingkah dan berbicara seolah sedang menegakkan keadilan.

Sejak dunia ini memiliki peradaban, perseteruan antara dua jenis manusia ini tidak pernah berhenti. Perseteruan itu kemudian menciptakan perang. Dan dari perang, timbul kehancuran. Bahkan sampai hari ini pun, hal itu masih belum berubah. Hari di mana dunia ini telah bertransformasi menjadi ‘sesuatu’ yang baru sejak ribuan tahun yang lalu, di mana sumber energi seperti minyak bumi dan gas alam telah habis sepenuhnya diserap dari dalam planet yang dulu pernah disebut Bumi. Habisnya dua sumber energi tersebut dari perut Bumi memicu sumber energi lain untuk keluar. Sumber energi tersembunyi yang tertutupi oleh kedua sumber tadi sehingga tak pernah terdeteksi selama berabad-abad. Kini, sumber energi yang baru itu telah melebur menjadi satu bersama udara di planet yang kini telah berganti nama menjadi: Zenna.

Di balik jendela kamar apartemennya yang berada di lantai 10, Arthur Alfrega menyaksikan hiruk-pikuk kotanya, ibukota negara Irion: Aesild. Sebuah kota besar nan megah di mana jalanan dipenuhi aktivitas pagi yang sibuk. Mobil-mobil yang saling mengklakson, motor-motor yang menyalip di antara kemacetan, bunyi-bunyi kereta listrik yang melaju di jalurnya masing-masing, serta gerombolan manusia dari berbagai lapisan yang siap menjalani rutinitas harian. Gedung-gedung megah yang seperti berlomba untuk menyentuh langit biru di sepanjang kota Aesild sama sekali tak terlihat seperti baru dibangun kembali setelah sempat porak-poranda akibat perang panjang yang baru selesai pekan lalu.

Semua itu membuat Arthur lupa sejenak akan mimpi buruk yang barusan membuatnya tersentak dari tidurnya. Kota Aesild terasa begitu hidup sebagaimana biasa. Seolah tidak pernah ada perang sama sekali. Begitu pula dengan kota-kota lain di Irion, Arthur yakin. Apa pun yang telah menimpa negara ini, terbukti Irion masih dapat segera berdiri tegak. Gelar negeri adidaya masih bisa disematkan padanya. Negeri-negeri lain di Zenna akan tetap segan padanya. Klaim bahwa ia merupakan salah satu negeri di Zenna yang memiliki kesatuan militer terkuat masih belum layak dicabut. Karena Irion tidak pernah tunduk semudah dan secepat itu. Dan sadar atau tidak sadar, kenyataan itu membuat Arthur merasa bangga sebagai salah seorang yang terlibat di dalamnya.

Arthur Alfrega merupakan seorang verdian. Lahir tanggal 25, bulan Iligar, tiga puluh satu tahun yang lalu. Sebagaimana prajurit militer seharusnya, Arthur bertubuh tinggi dan atletis. Rambut pirang yang merupakan salah satu daya tariknya selalu ia pastikan berada dalam potongan yang pas—tidak panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Pria bermata biru yang kini tinggal di apartemen di Jalan Liyya nomor 13 ini termasuk tipe pria yang memperhatikan penampilan. Tidak hanya cara berpakaian, melainkan juga air muka. Arthur selalu berusaha untuk tetap tampak ceria di hadapan semua orang, khususnya di depan rekan-rekan sesama prajurit kesatuan Isvar. Meskipun tanpa ia ketahui, orang-orang tahu dan bisa menilai bahwa senyum riangnya hanyalah topeng.

Itulah yang membuat Arthur begitu menikmati waktu-waktunya di kamar seorang diri. Di sini, ia tidak perlu mengenakan topeng itu. Di sini, tak ada seorang pun yang bisa melihat mata dan wajah lelahnya. Wajah seseorang yang menahan beban masa lalu. Masa lalu yang tidak pernah pergi, dan kerap menghantui di saat terlelap. Arthur Alfrega sudah tidak ingat kapan terakhir kali ia tidur nyenyak. Betapa ia merindukan kenikmatan itu. Larut dalam mimpi. Dengkuran yang damai. Bahkan ia iri melihat orang lain bangun dengan panik lantaran kesiangan akibat terlalu dalam tenggelam dalam lelapnya tidur. Arthur hampir rela menukar semua yang ia punya asalkan ia juga bisa tenggelam dalam kelelapan yang sama dalamnya.

Arthur lalu memalingkan pandangannya dari megahnya perkotaan Aesild ke sebuah benda besar nan indah berujung lancip yang terpajang di dinding kamarnya. Sebuah pedang. Varixul, demikian Arthur menamainya. Suasana hatinya kian memburuk ketika pedang itu tanpa izin menyeret pikirannya kembali ke peristiwa yang terjadi lima tahun belakangan. Peristiwa di mana bilah Varixul selalu kuyup oleh darah. Arthur bersyukur itu semua telah berakhir.

Inilah jalan yang telah kau pilih, Arthur. Apakah ini benar-benar yang selama ini kau cari dan inginkan? Ia bertanya sendiri.

Bel pintunya berbunyi. Arthur melihat jam di dinding, dan menemukan waktu telah menunjuk angka 8 lewat 20 pagi. Astaga, aku sampai lupa.

Kata orang, jika kau menghabiskan sebagian besar waktumu bersama seseorang, maka kau akan terlihat mirip dengannya. Entah itu sahabat dekat, entah itu kekasih. Kelihatannya mitos itu tidak sepenuhnya ngawur. Pria yang memencet bel pintu masuk apartemen Arthur ini, misalnya. Reynold Drake. Terlepas dari rambutnya yang hitam, matanya yang berwarna coklat, dan tubuhnya yang hanya lebih pendek sekitar dua sentimeter, banyak yang mengatakan ia dan Arthur mirip. Pria yang akrab disapa Rey itu bisa dibilang adalah teman terdekat Arthur. Di mana Arthur berada, hampir pasti Rey juga berada di situ bersamanya.

Bersama Rey, Arthur tak perlu mengenakan topeng cerianya. Mungkin karena pertemanan mereka yang tergolong erat dan sudah sejak lama. Namun Rey tidak terlalu banyak komentar mengenai hal tersebut. Lagi pula, pada dasarnya Reynold Drake memang bukan tipe orang yang terlalu senang mencampuri urusan orang lain, apalagi sampai berkomentar segala. Sekalipun itu adalah orang-orang terdekatnya. Dan itu membuat Arthur lega. Bahkan mungkin justru itu yang membuat mereka dekat.

“Ya ampun,” kata Reynold Drake setelah Arthur membukakan pintu. “Wajahmu pucat sekali. Kukira waktu cuti ini bisa membuatmu terlihat lebih segar.”

Arthur menanggapinya hanya dengan mengedikkan bahu sembari memijit kening.

“Aku hanya ingin mengingatkan kalau kau memang benar-benar lupa. Pagi ini, kita ada janji sarapan bersama teman-teman di Rose’s. Aku kemari karena seharusnya kita semua sudah berkumpul di sana dan sudah mulai menyesap secangkir kopi panas dua puluh menit yang lalu. Ponselmu juga tidak bisa dihubungi.”

“Maaf, Rey. Aku kesiangan,” Arthur berbohong.

Rey menghela napas. “Jadi kau mau ikut, tidak? Kalau kau sedang tidak fit, tidak masalah. Aku bisa kembali ke Rose’s dan menyampaikan kepada teman-teman kalau—”

Arthur memotong dengan mengangkat telunjuknya. “Aku baik-baik saja. Tunggu sebentar. Aku siap-siap dulu.”

“Baik. Cepatlah, Arthur. Harusnya kau terkejut dan bersyukur mereka masih mau menunggu. Aku tunggu kau di bawah.”

ENAM tahun yang lalu. Tanggal 2, bulan Gaveth, tahun 1377. Arthur muda yang waktu itu masih berpangkat prajurit pemula di Isvar mendapat tugas bersama beberapa prajurit lainnya mengawal sang presiden, Frans Sullivan, menuju mimbar di pusat kota Aesild untuk menyampaikan pidato kemenangan Irion atas perang melawan Ducain, negeri tetangga.

Perang itu sendiri mulai berakar tiga tahun sebelumnya. Kala itu, Irion mengendus adanya pengembangan senjata rahasia berbahaya berupa meriam-meriam besar dan beraneka jenis bom di Ducain yang diduga kuat akan digunakan untuk invasi ke beberapa negara. Senjata-senjata itu dikabarkan cukup kuat untuk menaklukkan satu negara besar. Dan itu membuat Frans Sullivan sebagai presiden Irion, negara yang terdekat dengan Ducain, merasa khawatir dan terancam. Apalagi dengan reputasi Ducain yang dikenal gemar menjajah negara-negara kecil sejak puluhan tahun silam. Tak lama setelah desas-desus itu mencuat, media pun kemudian membenarkan berita tersebut hingga mau tak mau, Presiden Sullivan harus segera mengambil tindakan tegas sehingga terjadilah perang yang berlangsung selama kurang lebih dua tahun yang kemudian dimenangkan oleh Irion itu. Dan senjata-senjata berbahaya tersebut sebagian hancur pada saat perang, dan sebagian lagi disita oleh badan yang berwenang, Badan Persatuan Negara-Negara Zenna.

Pengawalan Presiden Sullivan saat itu amatlah ketat guna menghindari berbagai hal buruk yang bisa saja terjadi. Pasukan keamanan yang terdiri dari jajaran prajurit Isvar—sistem kemiliteran negara Irion—beserta Kepolisian Aesild tersebar di berbagai tempat.

Ada yang bilang, saat paling berbahaya dalam perang justru adalah ketika usainya perang itu sendiri. Apa pun bisa terjadi, dan sedikit sekali orang yang menduga.

Ternyata itu benar.

Arthur yang terus awas mengamati sekitar mendapati adanya gerakan mencurigakan dari arah salah satu atap gedung tinggi. Letupan senjata api lekas terdengar tepat pada saat Arthur yang curiga mendorong tiarap sang Presiden. Peluru berenergi itu pun meleset dan meledak mengenai salah seorang dari ribuan masyarakat yang hadir. Prajurit yang berada paling dekat dengan arah tembakan segera berlari mengejar sang penembak.

Serangan tentu saja tak cukup sampai di situ. Di tengah kericuhan masyarakat yang mulai panik, datang satu tembakan lagi dari arah lain menuju Arthur—atau lebih tepatnya menuju sang Presiden. Arthur yang diberkahi insting dan gerak refleks yang baik kembali melindungi Presiden dengan menariknya menjauhi peluru berenergi tersebut.

Mata Arthur pun segera tertuju ke arah asal tembakan dan dengan cepat menemukan seorang pria yang membawa senapan terra bersamanya. Pria itu kemudian berbaur dan lenyap bersama kericuhan. Beruntung Arthur sempat mengingat dan menandai penampilan orang tersebut. Dengan segera, ia meminta salah seorang rekannya untuk menggantikan dirinya melindungi Presiden, lalu lekas mengejar si penembak.

Dengan pengamatannya yang tajam, Arthur akhirnya menemukan si penembak dan tidak buang waktu untuk segera mengejarnya. Penembak yang tidak pernah memalingkan pengawasannya dari Arthur itu pun kemudian melepas satu tembakan. Namun dengan sigap dan cepat, Arthur dapat menghindari tembakan itu dan terus mendekat. Si penembak kemudian berlari.

Pengejaran berlangsung selama beberapa saat. Dan di saat itu pula, Arthur menyadari keadaan makin kacau. Suara tembakan dan jeritan terdengar di mana-mana. Ternyata para penyerang lebih banyak dari yang Arthur kira. Arthur hanya bisa berharap kini Presiden Sullivan telah berhasil dievakuasi dan dilarikan ke tempat yang aman.

Arthur beruntung. Penembak yang sedang ia kejar memiliki badan yang lebih besar, dan otomatis lebih berat darinya sehingga ia bisa lekas memperkecil jarak. Tak lama kemudian, setelah berada dalam jarak yang menurutnya cukup, satu tembakan Arthur lepaskan dari pistolnya ke arah kaki pria itu dan kena dengan tepat. Pria itu pun terjatuh.

“Letakkan senjatamu!” pekik Arthur dalam bahasa yang umum digunakan oleh seluruh penduduk Zenna sembari mendekat tanpa melepas bidikannya. Setelah berhadapan, barulah Arthur dapat melihat simbol kecil berupa bendera berwarna merah darah yang dihiasi gambar satu anak panah berwarna kuning yang tersemat di dada pria tersebut. Bendera Ducain, sesuai dugaan Arthur.

Namun pria dari Ducain itu tetap bergeming dan tidak melepas senapan besarnya. Alih-alih, ia balik menodongkan senjatanya ke Arthur.

Lihat selengkapnya