DUDUK di meja kerja di kediamannya malam itu—sebuah rumah besar di Perumahan Elit Fragrant yang terletak di bagian barat laut kota Aesild yang hampir seluruhnya dihuni oleh para menteri dan pejabat—Orgosh Walmar yang terus memutar-mutar globe di hadapannya. Sebuah benda bundar seukuran bola kaki yang memperlihatkan keseluruhan Zenna. Tangannya sibuk memutar pelan benda itu. Mengamati tiap benuanya. Mulai dari Lorgoth di barat. Vikror di tengah. Andsha di timur. Dan tak lupa dua benua yang berada di ujung utara dan di ujung selatan Zenna, Laka Utara dan Laka Selatan. Orgosh bisa berjam-jam mengamati Zenna mungil ini hingga ia nyaris hafal tiap lekuk benua dan pulau-pulaunya. Negara-negara serta kota-kotanya. Dan tak lupa samudra-samudra yang mengelilingi kelima benua itu. Semua terlihat begitu kecil. Bahkan Lorgoth yang merupakan benua terbesar sekalipun. Melihat ini semua, Orgosh merasa seperti dewa. Bebas berbuat sesuka hati terhadap planet yang dulu sempat porak-poranda sebelum berganti nama ini.
Sayangnya Orgosh Walmar bukanlah dewa. Terlepas dari kedudukannya sebagai gallant, pemimpin tertinggi kesatuan Isvar, ia tetaplah manusia. Makhluk yang jalan hidupnya ditentukan oleh takdir. Tak peduli meski ia dijuluki yang terkuat di Irion sekalipun. Yah, bahkan julukan itupun adalah jalan hidup yang telah diatur takdir untuknya. Orgosh berpikir, jika ia lahir ribuan tahun yang lalu ketika Zenna masih disebut Bumi, akan jadi apa dia? Apakah takdir juga akan menggiringnya menjadi pembela negara seperti sekarang ini? Bahkan tanpa vidra sekalipun?
Sebelum vidra ada, manusia menggunakan minyak bumi dan gas alam sebagai sumber energi untuk kehidupan mereka. Ketergantungan manusia terhadap kedua sumber alam tersebut membuat mereka terus mengambilnya kemudian mengolahnya tanpa terlalu memperhatikan akibatnya kelak. Baik itu untuk membantu kehidupan, maupun untuk kebutuhan komersil semata. Proyek pengeboran makin menyebar. Kilang-kilang dan pabrik-pabrik untuk mengolah kedua sumber energi tersebut semakin banyak pula didirikan. Semakin berkembang teknologi, eksploitasi terhadap dua sumber energi yang juga dinamai energi fosil itu pun semakin gila-gilaan. Hingga kemudian, berbagai bencana alam seperti gempa, longsor, dan tsunami mulai menyerang dan perlahan terus terjadi hingga menelan ratusan bahkan ribuan korban setiap tahunnya. Permukaan planet pun mulai berubah. Tiap tahun, bencana-bencana itu semakin sering datang. Bahan-bahan makanan yang dulunya berlimpah mulai menjadi langka. Dan dengan segera, kekeringan dan kelaparan pun melanda.
Hal ini memicu perpecahan manusia yang mulai menyerang satu sama lain untuk mendapatkan bahan-bahan makanan yang langka itu. Lama kelamaan, perang antar bangsa pun terjadi. Dan untuk berperang, diperlukan bahan bakar yang banyak untuk kendaraan-kendaraan tempur. Minyak bumi dan gas alam pun kembali diolah dalam jumlah besar hampir di semua negara tanpa sadar itu justru memperburuk keadaan.
Hingga kemudian, dua sumber alam itu pun akhirnya benar-benar habis dan secara tak terduga menciptakan bencana alam mengerikan yang belum pernah dilihat manusia. Gempa, tsunami, longsor, banjir, dan gunung berapi berlomba-lomba memporak-poranda Bumi dan makhluknya tanpa ampun hingga melenyapkan sebagian besar populasi.
Mereka yang tersisa hanya bisa memejamkan mata menahan kengerian dan mengira inilah akhir dunia. Namun, ketika kengerian itu berhenti dan mereka membuka mata, dugaan mereka ternyata jauh meleset. Alih-alih menemukan kehancuran yang miris, tanpa ada siapapun yang mengira, kesuburanlah yang ternyata terpampang di hadapan mereka. Tanah yang tadinya tandus tanpa mungkin mengalirkan kehidupan malah berubah menjadi subur dan segar bahkan dihiasi oleh aneka tanaman yang mulai tumbuh. Di beberapa tempat, bunga-bunga indah bermekaran. Langit yang tadinya ditutupi oleh awan gelap berubah menjadi biru cerah. Dan bagian terbaik: udara dipenuhi aroma harum yang belum pernah tercium sebelumnya. Banyak yang mengira bahwa sebenarnya mereka sudah mati, dan inilah surga. Namun tentu saja mereka akhirnya sadar bahwa ternyata mereka masih di dunia yang sama. Sejarah mencatat hari itu adalah hari berakhirnya Bumi, dan menjadi awal dari terbentuknya Zenna. Dan sejarah menamai orang-orang yang menyaksikan transformasi tersebut: Para Pemulai. Karena merekalah yang langsung memulai membangun kembali planet ini dari puing-puing yang tersisa. Tak ada yang benar-benar tahu kapan persisnya ini semua terjadi. Para peneliti hanya bisa memperkirakan bencana yang melahirkan transformasi planet ini terjadi puluhan ribu tahun silam.
Seiring berjalannya waktu, kehidupan pun berkembang kembali. Bangunan-bangunan kembali dibentuk. Gaya hidup mulai berubah di tiap belahan planet dan perlahan membentuk kebudayaan-kebudayaan baru. Bahasa-bahasa kian berkembang dari waktu ke waktu hingga kian menipiskan persamaan dengan bahasa-bahasa yang dulu pernah digunakan di era sebelumnya. Untuk memudahkan komunikasi antar bangsa, terdapat satu bahasa khusus yang diwajibkan untuk dikuasai setiap orang. Tidak ada nama khusus untuk bahasa ini, orang-orang hanya menyebutnya ‘bahasa umum.’
Tak hanya dari segi kehidupan sosial, dari segi geografis pun, planet ini telah jauh berubah. Bencana yang dahsyat mengubah tata letak tiap penjuru planet sehingga dapat dipastikan peta lama tak lagi bisa dijadikan pedoman. Para ahli geografi dan penjelajah pun kemudian berlomba-lomba membuat peta dunia baru. Dari hasil akhir pemetaan-pemetaan tersebut, dikelompokkanlah negara-negara Zenna ke dalam lima benua berdasarkan letak, iklim, ras, dan budaya. Dan dari hasil pemetaan-pemetaan itu pula, masyarakat seluruh dunia semakin sadar bahwa planet ini benar-benar telah berubah menjadi dunia yang berbeda. Itu jugalah yang merupakan faktor utama penunjang pergantian nama planet.
Setelah bencana besar terjadi, sepertinya Para Pemulai berhenti menghitung hari. Terang saja, ketika semuanya hancur, apalah guna hari, tanggal, dan tahun. Namun itu pulalah yang kemudian mengakibatkan Para Peneliti kesulitan memperkirakan kapan persisnya bencana yang mengubah planet tersebut terjadi.
Ketika dunia mulai stabil, barulah sistem penanggalan-penanggalan baru bermunculan. Banyak penanggalan-penanggalan yang muncul di berbagai negara. Masing-masing memiliki cara sendiri dalam penyusunannya. Namun biar bagaimanapun, tetap harus ada satu penanggalan yang diwajibkan untuk diikuti seluruh Zenna agar tidak menimbulkan kebingungan sebagaimana penanggalan Masehi yang diterapkan di era Bumi dulu. Adalah Xalin, nama penanggalan tersebut. Terdiri dari sepuluh bulan: Hanor, Iligar, Gaveth, Wilica, Zeke, Lampt, Almar, Wren, Rilla, dan Vanya. Kata ‘Xalin’ diambil dari nama orang yang menyusun sistem penanggalan itu. Ditetapkannya Xalin sebagai sistem penanggalan dunia adalah karena Xalin merupakan penanggalan yang paling banyak dipedomani seantero Zenna.
Peradaban yang semakin maju pun kemudian mengungkap fenomena apa yang membuat planet kembali subur hingga ditumbuhi berbagai macam tanaman tepat di detik setelah bencana besar berhenti. Para Peneliti menyatakan bencana-bencana besar yang mengubah planet disebabkan oleh sebuah sumber energi baru yang mendesak keluar ketika minyak bumi dan gas alam habis. Layaknya makhluk hidup yang menetas dari telur. Selama ini, sumber energi berjumlah besar ini tertutupi dan tertahan oleh kedua sumber alam tadi sehingga tidak pernah terdeteksi keberadaannya. Energi ini berfasa gas pada suhu normal dan berat jenisnya nyaris sama dengan udara. Sehingga pada saat keluar, energi ini langsung bercampur dan menyatu dengan udara.