Dragana

Jufan Rizky
Chapter #4

Chapter 3 - The Evidence

ARTHUR dan Rey tiba di sana pukul 00.45 dini hari. Istana Kepresidenan yang biasanya megah dan tenang menjelma menjadi rumah pembantaian mencekam yang di pintu masuknya terikat pembatas antara wartawan dan orang yang berkepentingan berupa garis polisi. Tentu saja Arthur dan Rey diperbolehkan melintasi garis tersebut karena mereka juga merupakan anggota kesatuan Isvar sebagaimana korban-korban di dalam yang katanya berada dalam kondisi yang lebih buruk dari mengenaskan.

Ternyata yang lain sudah berada di dalam: Gallant, Lidwina, si kembar Virian, serta beberapa prajurit Isvar lain. Termasuk Windhra Fulguresh, Ketua Divisi Rahanak.

Sejak pertama kali melihatnya hingga hari ini, Arthur selalu merasa tidak biasa tatkala berada di dekat Windhra. Pria tua penuh uban—yang selalu mengenakan jubah birunya yang usang—itu memiliki aura tersendiri. Ia terlihat sudah sangat berumur dan rapuh. Namun ada sesuatu tak kasat mata di dalam diri Windhra yang begitu kuat dan memiliki kebesaran tersendiri. Matanya, terutama, sayu dan penuh kerutan, namun memancarkan kebijaksanaaan dan terkesan memiliki pengamatan yang tajam terhadap sekeliling. Mata yang seolah sudah pernah melihat semua yang ada di dunia ini. Tubuhnya yang jangkung dipadukan dengan rambut dan janggut putih yang panjang menambah keagungan yang terdapat pada diri seorang Windhra Fulguresh.

Terkadang, ia begitu ringkih layaknya pria tua biasa. Namun di waktu-waktu tertentu, khususnya pada saat perang, Windhra Fulguresh laksana panglima besar yang mampu meluluhlantakkan ribuan musuh dengan ayunan tongkat Thurall-nya yang legendaris. Tidak tahu apakah orang lain juga merasakannya, tapi aura tak biasa yang dipancarkan Windhra membuat Arthur merasa seperti sedang berhadapan dengan sesosok dewa. Dan Arthur tidak pernah terbiasa dengan itu.

Ia pun memalingkan perhatiannya dari sang master rahanak dan kembali fokus ke tempat kejadian perkara. Di mana kemewahan berpadu kebesaran tercemar oleh genangan serta bau khas darah. Belum lagi bau busuk kematian yang meneror tiap penjuru istana. Arthur menyaksikan jari tangan, mata, telinga, beserta usus dan isi perut lainnya bercecer nyaris di semua tempat. Warna seragam verdian dan rahanak yang jasad-jasad itu kenakan sebelum kematian bahkan nyaris tertelan sepenuhnya oleh warna darah. Ini jauh lebih buruk dari yang kudengar. Pedang-pedang dan tongkat-tongkat terra yang tergeletak di lantai seolah hidup dalam diam dan setia menemani masing-masing pemilik setidaknya sampai mereka diangkut dari situ. Takkan kuasa orang yang tidak biasa melihat kematian berdiri di tempat ini sekarang. Untung tim medis akhirnya diperbolehkan membereskan sisa kekacauan mengerikan ini.

Belum ada satu orang pun yang diizinkan masuk oleh tim penyidik ke kamar tidur Presiden, tempat di mana beliau dan istrinya ditemukan tewas. Bahkan Gallant sekalipun.

“Luar biasa,” decak Armand. “Menembus pertahanan berlapis Istana Kepresidenan bahkan membantai semuanya.”

“Dan mereka melakukannya dengan sangat rapi,” sahut Dormand. “Lihatlah. Tidak ada kerusakan benda yang berarti. Mereka mengalahkan para verdian dan rahanak pilihan ini dengan mudah.”

Lidwina memang seorang prajurit Isvar. Kematian-kematian sudah ratusan kali ia saksikan di depan matanya. Namun berlama-lama di tempat yang mencekam disertai bau busuk luar biasa ternyata jauh lebih tak tertahankan. Maka, akhirnya Lid pun memutuskan untuk keluar dengan menutup rapat-rapat hidungnya. Tak peduli meski nantinya ia akan ditertawakan oleh rekan-rekan sesama Isvar. Tak peduli meski ia dinilai lemah. Tak peduli meski di luar lautan wartawan makin membanjir secepat gelombang laut sesungguhnya. Bahkan Lid juga tak peduli meski Sandra Vigor menyaksikannya berlalu dengan pandangan menusuk. Merendahkan, bahkan.

Melihat keadaan Lid, Rey pun segera menyusul. Sementara Arthur mendekati sang Gallant yang mematung melihat kengerian ini.

“Gallant, Anda tidak apa-apa?” tanya Arthur sembari memegang pundak pria yang lebih tinggi lima senti darinya itu.

Gallant seolah tidak mendengar pertanyaan Arthur dan alih-alih berkata, “Kita terlambat lagi, Arthur.”

Arthur pun menunduk. Ia lalu mendengar langkah kaki Windhra yang kemudian juga meninggalkan tempat ini. Dan lagi, diiringi tatapan sinis Sandra. Mereka berdua lalu saling tatap satu sama lain bagaikan dua ekor macan yang siap menyerang. Untungnya itu hanya sesaat, karena kemudian Windhra Fulguresh berpaling dan kembali meneruskan langkah keluar meninggalkan istana.

Tak lama kemudian, akhirnya, keluar dari kamar tidur Presiden, sesosok pria jangkung dan kurus dengan buku catatan kecil di tangannya. Matanya lalu melirik ke Arthur dan yang lain. Seperti biasa, tatapan pria itu menyiratkan ketidakpercayaan. Tak peduli kepada siapa pun mata itu tertuju. Tersemat lencana Kepolisian Aesild di dada kirinya.

Lihat selengkapnya