DENGAN berakhirnya pidato sang Gallant di pemakaman, yang juga diliput oleh banyak kamera dan ditayangkan langsung di stasiun berita di seluruh Zenna, maka perang melawan Hashin pun bisa dikatakan resmi dideklarasikan kembali.
Terduduk di sebuah bangku panjang di taman yang tidak jauh dari Kastel Isvar, Arthur bersama kopi panasnya yang mengamati daun-daun kecokelatan yang berguguran meninggalkan pohon-pohon yang telah mereka jadikan tempat bertengger selama dua musim.
“Di sini kamu rupanya.”
Tanpa melihat pun, Arthur sudah tahu siapa pemilik suara lembut nan jernih itu. “Ada yang mencariku?”
“Tidak,” jawab Lidwina. “Ya, baiklah. Aku yang mencarimu.”
Arthur tertawa kecil. Ia pun menepuk tempat kosong di sebelahnya. “Duduk.”
Setelah duduk beberapa saat dan menghirup harum tiupan angin musim ini, Lidwina pun kemudian ikut hanyut dalam pemandangan kecokelatan di hadapannya. Indah, ia akui. Namun ada sedikit rasa sesak yang melanda entah dari mana menyaksikan pemandangan ini. “Musim gugur Lampt. Benar-benar waktu yang tepat untuk berduka. Bau daun-daun yang berguguran tercium di mana-mana. Bau kesedihan.”
“Bau musim gugur,” Arthur membenarkan. “Dan sebentar lagi manusia-manusia akan berguguran lagi seperti daun-daun itu. Dan seperti biasa, kita yang akan berperan menjadi mesin eksekusi untuk melakukan semua itu. Harusnya ini adalah waktu kedamaian yang telah lama kita nantikan.”
“Dan betapa aku membenci orang-orang Hashin yang telah merusak kedamaian itu,” geram Lid. “Membantai seorang pemimpin merupakan pelecehan terbesar terhadap sebuah negara. Negara manapun takkan bisa menerima dan memaafkan perlakuan seperti itu.”
“Aku tidak ingin berperang lagi, Lid!”
“Lalu untuk apa kamu menjadi verdian, Arthur!?”
“Penilaianku terhadap Isvar selama ini keliru,” ucap Arthur. “Sebelum semua ini, kukira dengan menjadi seorang prajurit dari pasukan Isvar, aku bisa melindungi orang-orang yang kucintai, membantu sesama manusia, serta membela yang lemah. Tapi pada kenyataannya aku hanya menjadi seorang mesin pembunuh.”
“Kamu tidak pernah membunuh mereka, Arthur. Selama bertempur, hal yang kamu lakukan terhadap musuh-musuhmu hanyalah melukai mereka hingga mereka tidak bisa bertarung lagi. Satu-satunya manusia yang kamu bunuh hanyalah seorang penembak bodoh dari Ducain enam tahun yang lalu. Dan aku selalu kagum padamu karena itu sebab jika kamu tidak melakukannya, maka keadaan Aesild saat itu akan bertambah kacau.”
Pegangan Arthur terhadap gelas plastiknya pun mengendur hingga tak sadar ia menjatuhkan gelas itu dan menumpahkan kopi panasnya. Tangannya gemetar.
“Aku tidak ingin menjadi seperti ‘dia’, Lid.”
Dengan lembut dan tenang, Lidwina membelai wajah Arthur. “Tidak, Arthur. Kamu tidak sama dengan ‘dia’. Kamu telah berhasil lepas dari bayang-bayangnya hingga kamu bisa menjadi seperti sekarang ini, pemimpin pasukan verdian yang gagah berani. Lihatlah, begitu banyak orang yang rela bertempur di belakangmu. Mereka semua mengagumimu. Memujamu, sebagaimana aku memujamu. Keputusanmu menjadi seorang prajurit Isvar adalah keputusan terbenar yang pernah kamu ambil selama hidupmu. Dan lihatlah, takdir sendiri yang menentukan bahwa kamu tidak sama dengannya.”
Arthur pun lantas menggenggam erat tangan Lidwina yang membelai lembut wajahnya, sembari berkata, “Sudah lama rasanya kita tidak bicara seperti ini. Terima kasih, Lid. Terima kasih.”
SEJAK berkarir sebagai prajurit di kesatuan Isvar, perang melawan Hashin merupakan cobaan terberat bagi Arthur. Negara Hashin terkenal dengan pasukan berpedangnya yang tangguh bernama Bayangan Girima. Nyaris setangguh para prajurit Isvar sehingga sulit menentukan siapa yang lebih unggul di antara keduanya. Ketangguhan ini memaksa Arthur mengerahkan seluruh kemampuannya hingga batas yang ia takutkan.
Perang melawan Hashin sendiri sudah dimulai sejak tanggal 16, bulan Zeke, tahun 1378—lima tahun yang lalu, kurang lebih satu tahun setelah kemenangan Irion atas Ducain ditentukan. Saat di mana Arthur dan kawan-kawan baru dinaikkan pangkatnya ke divisi yang mereka kehendaki.
Masalah dimulai dari sebuah pulau, pulau Dragana. Sebuah pulau yang sebenarnya tidak terlalu besar yang kebetulan terletak tepat di antara kedua negara tersebut. Meski luasnya tidak seberapa, namun Dragana memiliki tanah yang subur serta kaya akan mineral-mineral berharga. Sejak ditemukannya fakta menggiurkan itu, Irion dan Hashin kemudian sepakat untuk membagi dua wilayah pulau tersebut agar masing-masing negara bisa mengeruk hasilnya secara adil. Tidak ada masalah selama puluhan tahun. Namun apa mau dikata, ternyata manusia lebih tunduk pada ketamakan daripada rasa kepedulian akan kedamaian.
Perdebatan-perdebatan pun kemudian muncul. Kedua negara mulai saling memfitnah. Irion menuduh Hashin mencuri mineral di wilayahnya, begitu pula sebaliknya. Masalah-masalah lain pun segera menyusul hingga kata damai kian menjauh. Perkelahian antara para pekerja dari kedua negara juga makin tak terkendali hingga akhirnya menelan korban jiwa. Frans Sullivan yang kesabarannya habis akhirnya langsung menyatakan perang dengan mengerahkan pasukan Isvar untuk menyerang ibukota negara Hashin, Girima. Hashin pun balas menyerang Aesild. Begitu terus hingga beberapa waktu. Untungnya terkadang kedua belah pihak masih sedikit menggunakan akal sehat sehingga beberapa kali perang berlangsung di Dragana agar rakyat sipil tidak ikut menjadi korban.
Selama perang, Arthur kerap menunjukkan prestasi-prestasi gemilang. Ia bahkan berhasil menumbangkan tiga orang prajurit Hashin yang namanya tercantum dalam Catatan Merah Isvar, buku saku yang wajib dimiliki setiap prajurit Isvar yang berisi nama-nama prajurit dari negara yang sedang dihadapi yang dianggap terkuat bahkan harus dihindari.
Tiga prajurit yang pernah Arthur kalahkan tersebut adalah: Orlando Kagawa, Viktor Yamamoto, dan Stanley Arawa. Dua di antaranya, Yamamoto dan Arawa, merupakan anggota Bayangan Girima yang ditakuti bahkan mendapat julukan-julukan mengerikan. Sedangkan Kagawa merupakan anggota angkatan bersenjata Hashin yang juga tidak bisa diremehkan.
Gugurnya tiga orang itu memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap perang. Bukan hanya kehilangan tenaga terkuat, mental para prajurit Hashin pun merosot karena itu hingga mereka terpaksa mundur dan menghentikan serangan selama beberapa bulan. Itulah yang kemudian membuat Arthur diangkat menjadi Ketua Divisi Verdian tiga tahun sejak perang dimulai menggantikan Duncan Clover, ketua sebelumnya yang tewas di tangan Ramsey Yoshiyama. Hal itu menjadikan Arthur yang saat itu berumur 29 tahun termasuk salah satu orang termuda yang pernah menjabat sebagai ketua divisi.
Tak hanya disegani di negaranya, di kalangan prajurit Hashin juga tentu saja Arthur termasuk orang yang perlu diwaspadai. Ia mendapat julukan Si Sayap Api dari lawan-lawannya dikarenakan gerakan-gerakannya yang begitu cepat dan lincah dipadu dengan penampilannya yang serba merah. Mulai dari zirah yang ia kenakan sampai pedang Varixul-nya sendiri. Semua lawan pasti gentar tiap kali nama Si Sayap Api diucapkan.
Namun, ada satu kebiasaan Arthur ketika berperang yang agak membuat dahi mengernyit: ia tidak pernah membunuh. Yah, nyaris tidak pernah. Tiap kali bertempur, Arthur selalu mencoba untuk hanya memberi cedera dan luka-luka terhadap lawan-lawannya hingga mereka tak mampu lagi meneruskan pertarungan. Kalaupun ada lawan yang kemudian mati, itu sama sekali bukan kehendak Arthur. Sebagaimana yang terjadi pada tiga prajurit Hashin tadi.
Hal ini merupakan kelebihan Arthur, sekaligus kekurangannya. Tergantung cara pandang tiap-tiap orang. Beberapa orang menilai Arthur tidak tegas, terlalu lembek. Namun tidak sedikit juga yang justru menaruh rasa kagum yang tinggi bahkan memuja kemampuannya. Karena pada kenyataannya, lebih mudah langsung menghabisi nyawa lawan daripada membuatnya menyerah dan membiarkannya hidup. Tidak mudah memastikan apakah seorang lawan masih bisa bertarung atau tidak. Inilah yang terkadang membuat Arthur sendiri nyaris celaka.
Kebiasaannya ini juga ia coba terapkan kepada bawahan-bawahannya. Sebelum berperang, Arthur selalu mengingatkan mereka untuk tidak membunuh lawan kecuali benar-benar diperlukan. Biarpun kemudian hal itu tidak dilakukan oleh mereka.
Kendati memiliki prinsip yang sedemikian kokoh, tetap saja situasi panas saat bertarung terkadang membuat Arthur lepas kendali hingga beberapa kali menyebabkan lawannya nyaris mati. Seperti ketika menghadapi Viktor Yamamoto, bayangan Girima yang dijuluki Sisik Naga, misalnya. Musuh yang dihadapi Arthur dalam dahsyatnya medan pertempuran tersebut memiliki pengalaman bertarung jauh di atas Arthur hingga sempat membuat Arthur benar-benar kewalahan. Hanya keberuntungan yang membuatnya mampu bertahan menghadapi serangan-serangan maut sang Sisik Naga.
Arthur benar-benar terpojok. Akhirnya, ia terpaksa menghapus segala belas kasihan yang ada pada dirinya dan menghunjamkan Varixul dalam-dalam ke perut Sisik Naga hingga tembus begitu melihat kesempatan. Menyadari ia telah berbuat terlalu jauh, Arthur pun segera berpaling dan berniat meninggalkan lawannya tersebut.
“Bunuh aku!” Viktor Yamamoto berteriak. “Bunuh aku sekarang!!”
Arthur pun berhenti, lalu berkata, “Aku tidak harus membunuhmu. Melumpuhkanmu sudah cukup bagiku. Bukan tugas manusia untuk mencabut nyawa sesamanya. Meski dalam perang sekalipun. Hargailah kehidupanmu, Viktor Yamamoto.”
Meski berusaha terlihat tenang, pada kenyataannya Arthur Alfrega amatlah gentar tiap kali tak sengaja menempatkan lawannya pada kondisi kritis. Sedapat mungkin, ia tak ingin Varixul-nya menelan nyawa. Sayangnya, dalam perang hal itu nyaris mustahil untuk dilakukan. Apalagi menghadapi Hashin yang memiliki armada berkemampuan mengerikan. Itulah mengapa perang melawan negeri seberang itu merupakan cobaan terberat bagi Arthur.
Dan kini, ia harus menghadapi saat-saat itu lagi.
SIANG harinya, Gallant meminta ketiga ketua divisi beserta wakilnya serta Pemimpin Prajurit Pemula untuk hadir di ruang pertemuan di markas untuk membicarakan strategi penyerangan terhadap Girima, ibukota Hashin.
Bersama Reynold, Arthur mengemudikan sedan merah tanpa atapnya menuju Kastel Isvar.