Dragana

Jufan Rizky
Chapter #8

Chapter 7 - The Protector

REYNOLD Drake membanting pintu kamarnya dan menendang kursi kayu di hadapannya hingga patah. Ini bukan pertama kalinya ia merasa kecewa terhadap Gallant serta pemerintah yang mengendalikannya. Rey merasa muak dengan keegoisan pemerintah yang selalu memilih berperang sebagai solusi tanpa ada sedikit pun keinginan untuk merundingkan jalan keluar yang lebih baik. Dan ia menyesali dirinya sendiri yang hanya bisa menjadi bidak dari keegoisan itu tanpa ada daya untuk melawan.

Bidak pemerintah. Rey menyesal karena dulu terlalu lugu untuk menyadari bahwa itulah jati diri sesungguhnya dari kesatuan Isvar. Ia yang waktu itu masih muda dan bodoh hanya beranggapan bahwa Isvar adalah kesatuan prajurit pemberani yang jika menjadi bagian di dalamnya siapa pun akan menjelma menjadi manusia berharga diri paling tinggi dengan senjata yang tergenggam dalam tangan. Tak ada yang lebih mengesankan selain menjadi bagian dari Isvar. Khususnya para verdian yang merupakan prajurit baris depan dengan pedang yang terhunus.

Namun semakin ia dewasa, Rey kian menyadari bahwa semua itu hanyalah doktrin sang ayah terhadap dirinya. Lebih dari itu, Rey mulai mengakui bahwa ini semua hanya untuk membuat beliau bangga. Dan tentu saja, entah Rey sadari atau tidak, semua ini juga untuk mendapat perhatian seorang gadis yang wajahnya terbingkai di atas meja kamar Rey. Gadis yang selalu ia kagumi dari dulu. Gadis yang membuat Rey untuk pertama kalinya memiliki sesuatu untuk dilindungi.

Sejatinya, Rey merupakan pribadi bersifat acuh tak acuh pada semua hal. Pada peraturan-peraturan, pada orang-orang di sekitarnya, juga pada cara mereka menilainya. Sedari kecil Rey cenderung penyendiri dan tidak mudah menerima seseorang untuk menjadi temannya. Hal itu didukung dengan bakat serta kemampuan Rey yang beragam hingga membuatnya hampir tidak pernah bergantung pada orang lain. Atau setidaknya itulah pelajaran yang ia tangkap dari ayahnya, “Jadilah yang terbaik dan jangan beri kesempatan pada orang lain untuk mengunggulimu. Jangan gampang percaya karena kepercayaan yang berlebih dapat menghancurkanmu. Dan jangan pernah bicara kecuali itu dapat membuat orang lain terperangah mendengarnya.”

Beranjak remaja, Rey tetap tumbuh dengan didikan seperti itu hingga membuatnya benar-benar mandiri dan tidak memiliki satu temanpun. Hingga pada suatu hari di sekolahnya, muncul murid baru yang datang dari Aesild bagian Timur yang kemudian menjadi adik kelasnya. Seorang gadis kecil yang manis.

Sekadar cantik tentu tidak cukup menarik perhatian seorang Reynold Drake kecil. Banyak di sekolah itu yang lebih cantik daripada murid baru tersebut. Kehadirannya yang sudah lewat satu minggu di sekolah itu bahkan tidak akan Rey sadari jika saja peristiwa itu tidak terjadi.

Saat itu, Rey yang sedang melangkah acuh tak acuh di lingkungan sekolahnya tiba-tiba mendengar ribut-ribut di dekatnya. Tak perlu melangkah lebih dekat dan melihat untuk mengetahui bahwa itu hanyalah penindasan terhadap anak yang lebih lemah. Bukan hal yang baru. Rey amat membenci hal itu. Tidak ada yang membuatnya lebih muak selain anak-anak sok jago yang hanya berani menindas yang lebih lemah, mengeroyok pula. Beberapa kali hal itu terjadi di sekolah. Dan penindasan adalah satu-satunya hal yang tidak bisa Rey abaikan. Rey nyaris tidak bisa tidak memutuskan untuk memberi anak-anak sok jago itu pelajaran.

Mendengar itu, ia segera berpaling dan melangkahkan kakinya menuju arah ribut-ribut tersebut. Tanpa berpikir lagi, Rey langsung menarik satu dari empat penindas itu dan langsung memukulinya tanpa ampun. Tiga orang lainnya pun segera bergerak dan mulai menyerang Rey.

“Sial! Kau lagi, Rey!” Suasana semakin ricuh. Anak-anak lain mulai menyoraki mereka.

Pada dasarnya, Rey memang anak yang kuat. Meski seorang diri dan agak kepayahan lantaran kalah jumlah, ia cukup mampu membuat empat orang lawannya kewalahan. Satu dari mereka bahkan menangis, dan ada pula yang diam-diam melarikan diri. Sedangkan dua orang lagi mengambil jarak dan berhenti karena mulai babak belur.

“Kenapa kau selalu ikut campur urusan kami!?” kata salah seorang dari mereka.

“Aku hanya membenci orang-orang sok jago dan bodoh sepertimu.”

Merasa terlalu lelah meneruskan perkelahian, anak-anak itu pun kemudian pergi meninggalkan Rey. Begitu pula dengan mereka yang menyoraki.

“Terima kasih,” ucap sebuah suara lemah.

Rey tidak menanggapi ucapan terima kasih itu. “Lain kali, anak lemah sepertimu duduk dan diam saja di kelas kalau tidak mau dijahili,” katanya tanpa melirik sedikitpun. Tapi ia tidak menangis.

“Maaf, Kak. Aku hanya ingin melindungi ini.”

Penasaran, Rey pun akhirnya melirik sedikit dan menemukan sesosok gadis kecil terduduk sambil kedua tangan menangkup sesuatu. Ia lalu melangkah lebih dekat dan menemukan sesosok makhluk kecil berbulu keemasan di balik tangan-tangan kecil itu.

“Itu kan bayi phoenix. Bagaimana bisa ada padamu?”

“Aku menemukan burung ini di dekat pohon di taman. Sepertinya baru beberapa hari menetas. Lalu anak-anak tadi melihat aku membawa burung ini dan mencoba untuk merebutnya. Aku tidak mau menyerahkan ini kepada mereka. Mereka pasti akan menyakitinya.”

Ya, pasti. Rey sebenarnya tidak terlalu heran akan keberadaan phoenix kecil tersebut. Beberapa hari yang lalu, sejumlah prajurit kolvar memberikan sedikit materi dan pengetahuan kepada sejumlah kelas termasuk kelas Rey mengenai sejarah dan perkembang biakan wildur. Kelas tersebut dilakukan di luar ruangan, yakni di taman. Namun di akhir kelas, para kolvar kehilangan satu buah telur: telur phoenix. Dan kini Rey tahu di mana dan apa yang telah terjadi kepada telur tersebut.

Gadis kecil itu pun bangun dan mengulurkan tangannya ke Rey. “Kenalkan, namaku Lidwina Aviva. Aku murid pindahan dari Timur.”

Aviva. Rey tahu nama itu. Aviva adalah nama keluarga yang dimiliki pasangan suami istri yang belakangan menjadi topik hangat di berbagai media. Pasangan itu tewas mengenaskan lantaran menjadi korban amukan seekor wildur jenis fang yang lepas kendali akibat keteledoran seorang kolvar pekan sebelumnya.

“Reynold Drake,” jawab Rey membalas jabat tangan Lidwina kecil. “Lalu phoenix itu mau dikemanakan?”

“Mungkin akan kurawat di rumah.”

“Di mana rumahmu?”

“Di Pemukiman Bukit Barat nomor 66.”

Gadis malang. “Wah, kita bertetangga,” ujar Rey. “Bahkan bersebelahan. Rumahku nomor 67. Rupanya anak kecil yang datang minggu lalu itu kau, ya? Pantas saja aku seperti pernah melihat. Kalau begitu biar aku yang membawa phoenix ini pulang. Kebetulan ibuku juga anggota divisi Kolvar, sama seperti bibimu si Sandra yang galak itu. Kami bisa merawatnya dan kau bisa menengok phoenix kecil ini kapanpun kau mau. Jangan khawatir, bibimu takkan tahu.”

“Terima kasih, Kak. Tapi aku bisa menjaga burung ini sendiri.”

“Bibimu takkan suka. Ia berperangai buruk, semua orang bisa menilai. Percaya padaku.” Perlahan, Rey mengambil burung mutan itu dari tangan Lid. Lalu, ia mendapati gadis kecil itu menatapnya lama. “Kenapa kau melihatku seperti itu?”

“Beberapa hari belakangan, diam-diam aku selalu memperhatikan Kakak yang setiap sore dan malam berlatih bersama ayah Kakak di halaman rumah. Kakak memang dibesarkan untuk menjadi anggota kesatuan Isvar, ya?”

“Oh, ya?” Tanpa Rey sadari, pipinya merona. Gadis yang sangat berterus terang.

Itulah awal perkenalan Rey dan Lid. Dan berkat phoenix kecil tersebut, hubungan mereka pun kian akrab. Phoenix itu bahkan mereka beri nama Reyna, gabungan dari nama Reynold dan Lidwina.

Dalam hati, Reynold menyimpan kagum terhadap Lid. Masih mau mati-matian melindungi dan merawat seekor wildur hingga besar sementara kedua orangtuanya sendiri terbunuh oleh makhluk serupa.

Beranjak dewasa, Rey dan Lid semakin sering menghabiskan waktu bersama. Berjalan-jalan di taman, rekreasi, dan makan malam selalu mereka lakukan jika ada waktu senggang. Bahkan ketika Rey sudah menjadi anggota Isvar dan tinggal di asrama pun, ia tetap menyempatkan diri menemui Lid dan menghabiskan waktu bersamanya.

Reyna yang telah menjelma menjadi phoenix dewasa pun kemudian dikirim oleh ibunda Rey ke habitat yang seharusnya dan dapat dipanggil kapanpun jika Lid rindu padanya.

Kedekatan Lid dengan Rey yang berwatak keras bahkan membuatnya berani beberapa kali melawan Sandra yang seringkali bersifat kasar. Dan hal itu semakin menambah kebencian Sandra terhadap dirinya. Hubungan keduanya pun memburuk.

Lihat selengkapnya