Dragana

Jufan Rizky
Chapter #10

Chapter 9 - Him

MASIH tersisa dua jam sebelum pasukan bertolak menuju Girima. Di sisa-sisa waktu ini, Arthur menyempatkan diri berkendara dengan mobilnya menuju arah barat kota Aesild. Ia memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi meninggalkan perkotaan dan mulai memasuki daerah yang tidak memiliki banyak bangunan. Jantung Arthur berdegup kencang. Suhu udara malam yang menusuk pun kian memperparah suasana. Kau dijuluki Si Sayap Api di negeri seberang, Arthur meyakini dirinya. Cuaca segini harusnya tidak berarti apa-apa buatmu. Ketika menemui tikungan, Arthur memutar kemudinya ke kanan. Terdapat sebuah papan di ujung tikungan tersebut. “Araken 6 km.” Arthur terus melaju melintasi jalan lurus yang dikelilingi pepohonan lebat itu. Sedan merah itu melaju dengan kecepatan tinggi hingga enam kilometer tertempuh tidak sampai hitungan menit. Berdiri tegak di hadapannya, sebuah bangunan besar dikelilingi tembok-tembok tinggi yang kokoh. Terdapat satu papan besar di dekat pintu gerbang yang bertuliskan:

RUMAH SAKIT JIWA ARAKEN

Di pintu gerbang, Arthur menunjukkan kartu identitasnya kepada petugas. “Selamat datang kembali, Tuan Alfrega,” kata petugas tersebut sembari membukakan gerbang untuk Arthur. Sepi, seperti biasa. Usai memarkir kendarannya, Arthur pun turun dengan Varixul tergenggam di tangan. Seperti biasa, pedang itu tidak luput dari pandangan orang-orang yang lewat.

Bentuk Varixul amatlah menarik. Ia bernaung di dalam sarung berwarna keemasan yang terlihat bersinar meski di malam hari. Tak kalah menawan dari sarungnya, bilah Varixul yang terbuat dari terra pilihan dirancang sedemikian rupa hingga berwarna persis nyala api. Ketajaman dan kedahsyatan Varixul pun sama terkenal dengan keindahannya.

Arthur memasuki pintu dan menyapa seorang juru rawat yang berpapasan dengannya. “Tetap siaga seperti biasa ya, Tuan,” ujar juru rawat itu sembari melirik Varixul.

“Ya,” jawab Arthur. “Apakah dia berbuat ulah lagi belakangan ini?”

“Tidak, Tuan Alfrega,” jawab juru rawat tersebut. “Dan semoga akan terus begitu. Semoga.”

Arthur pun meneruskan langkah. Gemetar di tangannya kian parah. Ini hanya cuaca dingin. Ya, hanya cuaca dingin.

Suasana suram Araken tidak berubah sejak pertama kali Arthur menjejakkan kaki ke tempat ini dua puluh tiga tahun yang lalu. Suram, mencekam, serta beratmosfer ganjil yang membuat pengunjungnya serasa memasuki dunia lain. Keadaan diperparah dengan terdengarnya beberapa teriakan di suatu tempat dalam bangunan itu. Seharusnya mereka membuat film horor di tempat ini.

Resepsionis tidak bertanya lagi ada keperluan apa Arthur kemari. Ia segera mengutus seorang juru rawat berbadan besar untuk mengawal Arthur menuju tempat tujuan. Arthur sering melihat juru rawat itu di sini. Namanya Phil. Sebagaimana juru rawat yang lain, Phil melengkapi dirinya dengan berbagai perlengkapan keamanan seperti jarum suntik, taser, pisau, dan pistol berpeluru bius. “Tidak bawa pistol terra sekalian, Phil?” gurau Arthur.

Phil mengawal Arthur berjalan memasuki lift. Ia menekan tombol B7 dan lift langsung bergerak ke bawah menuju lantai tujuan. Lantai terbawah Araken.

Arthur teringat saat-saat dulu ketika belum ada lift menuju lantai bawah tanah. Ketika hendak menuju ke selnya yang berada di tujuh lantai di bawah tanah, Arthur harus menuruni tangga demi tangga dan melewati sel-sel dari tiap-tiap lantai. Arthur selalu merinding jika mengingat kembali sensasi aneh tiap melewati sel-sel tersebut. Semakin ke bawah, suasana mencekam semakin terasa. Penerangan yang ada pun kian terbatas.

“Kau takut, Nak?” tanya dokter saat Arthur kecil pertama kali melewati tempat itu.

Arthur kecil tentu tidak menjawab. Namun sang dokter dapat melihat tubuhnya gemetar dan wajahnya penuh keringat.

“Ini sama sekali bukan tempat untuk anak kecil,” kata dokter itu. “Tapi mengeluarkannya dari sel untuk bertemu denganmu di ruang kunjungan terlalu riskan. Orang itu terlalu berbahaya. Ketika masih berada di penjara saja, ia memberontak hebat dan membunuh beberapa polisi dan sipir yang bertugas. Kau tentu sudah mendengar kabar itu. Beritanya ada di mana-mana.

“Karena kesintingannya itulah ia dibawa kemari dan langsung dapat tiket gratis untuk tinggal di sel lantai terbawah. Maafkan kata-kataku, Nak. Tapi memang itu kenyataannya. Tapi yah, mau bagaimana lagi. Kalau Orgosh Walmar bukan teman lamaku tentu permintaannya untuk membawamu bertemu dengannya akan kutolak. Setelah kunjungan ini akan kusampaikan langsung kepada Orgosh untuk tidak membiarkanmu menjenguknya hingga kau sudah cukup dewasa.”

Masuk akal. Sebenarnya, biar bagaimanapun, Orgosh yang saat itu masih berpangkat Ketua Divisi Verdian tidak seharusnya membiarkan anak kecil seperti Arthur masuk ke tempat seperti Araken. Semua orang tahu pasien-pasien yang dirawat di tempat ini bukan orang-orang biasa. Hampir semua dari mereka adalah kriminal sadis. Tidak mudah membiasakan diri dengan keadaan di sini. Araken memiliki atmosfer yang membuat pengunjungnya serasa seperti hendak ditikam dari belakang. Bahkan kini Arthur pun masih heran bagaimana ia yang saat itu masih kecil bisa bertahan dengan suasana Araken.

Semua yang bertugas di sini pun seperti bertaruh nyawa dalam menjalankan tugasnya. Baik itu dokter, juru rawat, bahkan petugas keamanan. Tiap satu tahun, setidaknya lima dokter, lima belas juru rawat, dan sepuluh petugas keamanan tewas terbunuh oleh para pasien. Sebagian juru rawat saja bahkan dikabarkan masih sering pingsan tiap kali mendengar salah seorang dari mereka mendengus marah. Latihan fisik dan mental yang diterapkan kepada para petugas keamanan setiap hari juga terbukti tidak terlalu memberikan dampak. Berdiri di dekat sel para pasien saja mereka masih tidak terlalu berani. Namun Arthur dapat memaklumi itu. Ia sendiri juga mengakui, orang-orang yang dirawat di rumah sakit jiwa ini benar-benar jauh dari kesan manusia. Mereka memiliki pengalaman hidup yang tidak sama dengan orang kebanyakan. Dan mungkin sudah mustahil untuk disembuhkan.

Khususnya mereka yang dikurung dalam sel-sel bawah tanah.

Sudah merupakan rahasia umum bahwa semua petugas termasuk dokter sangat enggan mendekati tempat itu kecuali ada kunjungan dari kerabat. Untungnya itu sangat jarang. Dibandingkan pasien-pasien lantai atas, pasien-pasien lantai bawah jauh lebih agresif. Terkadang mereka tak ragu untuk langsung menyerang bahkan membunuh siapa pun yang berani membuka kurungan mereka. Termasuk dokter, tentunya. Percobaan melarikan diri oleh para pasien pun sudah ratusan kali dialami oleh para petugas Araken. Tiap kali itu terjadi, pihak rumah sakit terpaksa meminta bantuan tenaga dari Isvar untuk membekuk mereka. Berdasarkan kejadian-kejadian itu, maka pihak rumah sakit dengan sangat terpaksa membiarkan orang-orang itu terus terkurung tanpa diberi kesempatan keluar untuk menghirup udara segar dan mendapat paparan sinar matahari. Mereka tidak lagi diberi obat, tidak lagi diterapi, bahkan diberi makan pun sangat jarang. Rasa takut semua petugas terhadap para pasien lantai bawah sudah sangat besar. Hawa kehadiran mereka yang mengerikan terbukti bukan sekadar gertakan.

Dengan perlakuan seperti itu, beberapa dari pasien lantai bawah mungkin ada yang sudah tewas. Dan tentu saja tidak menutup kemungkinan bagi pasien-pasien yang tinggal berdua dalam satu sel telah saling memakan satu sama lain. Mungkin. Tidak ada satu manusia pun yang berani mendekat untuk memastikan.

Tentu saja para dokter sebenarnya lebih memilih untuk langsung membunuh para pasien yang dianggap berbahaya dengan suntikan racun daripada membiarkan mereka hidup seperti itu. Namun di Irion berlaku undang-undang yang dengan keras melarang pembunuhan dengan cara apa pun termasuk terhadap orang-orang yang dinyatakan gila. Maka, jika seorang kriminal dianggap tidak waras, sekeji apa pun kejahatan yang telah ia lakukan, ia bebas dari segala macam hukuman dan langsung dibawa ke Araken untuk ditangani penyakitnya.

Rumah Sakit Jiwa Araken terdiri dari lima belas lantai. Ada lobi, kemudian tujuh lantai di atas lobi, dan tujuh lantai di bawah lobi. Semakin ke bawah, pasiennya dianggap semakin berbahaya. Semakin ke bawah, sel-sel yang ada semakin tertutup. Jika pasien lantai atas bisa tidur nyenyak di kamar yang lebih nyaman, pasien lantai bawah harus berpuas diri mendekam di balik jeruji. Yang paling buruk, dua lantai terbawah, di mana pasien-pasiennya dikurung di balik pintu besi yang hanya menyisakan celah kecil berjeruji untuk jalan masuk cahaya dan udara.

Semakin ke bawah, udara semakin busuk. Entah lebih karena kotoran para pasien yang tak pernah dibersihkan atau lebih karena bau busuk mayat pasien yang mungkin sudah tewas. Manusia normal mana pun tidak akan bertahan hidup di tempat seperti ini.

Lift pun tiba di lantai yang dituju. B7, lantai terbawah. “Dari sini biarkan aku sendiri,” kata Arthur. “Kau boleh pergi, Phil. Nanti aku bisa naik sendiri begitu aku selesai.”

Lihat selengkapnya