Sepuluh tahun sudah aku mengalami metamorfosis ke masa dewasa muda, tetapi, untuk pertama kali dalam kehidupanku, aku tidak dapat menemukan kata-kata untuk belajar menulis.
Selama belajar menulis, aku tidak berhenti untuk terus membaca dan membuat cerita baru. Sejujurnya, aku mulai putus asa dengan cerita ini, karena Dragon Eagle adalah cerita tentang tim sepak bola khayalan, semua mimpi, harapan, dan cita-cita terbesar dalam hidupku, yang hanya terwujud dalam dunia virtual game. Lebih dari itu, Dagon Eagle merupakan separuh hidupku. Aku menulisnya karena masa kecilku, semua adalah tentang sepak bola, Diza, dan Raisa. Atau mungkin karena aku tak punya masa depan dan hanya terbelenggu dalam kenangan masa kecilku yang begitu indah.
Ditambah lagi, cibiran yang datang bertubi-tubi membuatku tak dapat lagi menahan kejengkelanku. Apa lagi, salah satu teman baikku waktu itu sampai tega mendiagnosa jika aku termasuk jones, karena kegemaranku belajar menulis.
"Lebay!" Riyu mengatakannya ketika aku menghadiri resepsi pernikahan kakak perempuannya. "Otak kita berbeda dengan 'mereka'—para penulis hebat," tambahnya.
Aku tidak suka Riyu menggunakan kata 'kita'. Sebab, sudah tidak ada kata 'kita' antara aku dan Riyu.
Mungkin Riyu benar jika aku dan 'mereka' memang berbeda. Aku adalah aku. Mereka adalah mereka. Aku bukanlah mereka. Mereka juga bukanlah aku. Aku dan mereka punya impian yang berbeda. Otakku dan otak mereka pun, jelas berbeda.
Aku selalu menyakini, setiap orang yang terlahir ke dunia, pasti dikaruniai bakat yang berbeda oleh Tuhan. Aku sendiri sangat yakin dengan apa yang kulakukan. Aku juga tidak pernah meremehkan orang yang melakukan apa yang ingin mereka lakukan. Karena bagiku, apa yang kita lakukan hari ini, esok, dan seterusnya, adalah jawaban untuk masa depan kita sendiri.
"Tapi, kan, tidak ada salahnya berusaha. Yang salah adalah menyerah sebelum bertanding." Aku mencoba membela diri.
"Terserah kau saja. Sejujurnya, aku senang kalau kau sukses di kemudian hari, tapi kita lihat saja nanti." Nada bicaranya menyiratkan sejuta keraguan terhadap tulisanku.
Bukan hal yang aneh jika Riyu berbicara seperti itu padaku. Sebab, aku pernah mengalami kegagalan berkali-kali, bahkan sampai sekarang. Tapi setidaknya, dari semua itu, terpenting aku selalu belajar dari kesalahan masa lalu. Aku tidak takut untuk mencoba lagi dan gagal lagi. Semua itu tak lantas menyurutkan semangat juangku. Bukan hal yang buruk dan bukan musuh yang harus kutakuti, justru yang menjadi musuh dan harus kulawan itu adalah keraguan dan ketakutan yang ada dalam diriku sendiri.