Dragon Eagle

Luca Scofish
Chapter #2

Anak Yang Jatuh Cinta Pada Teman Sekelas

Untuk masa kecilku yang penuh asa, cita, dan cinta.


SD Secang, puncak musim kemarau tahun 2001, Magelang.


Kisah ini berawal dari sebuah buku dan bola usang.


Tuhan memberi anugerah kepada setiap anak yang terlahir ke dunia. Sebagian ada yang pintar secara akademik, sebagian lagi pintar bernyanyi, ada pula yang pintar bermain sepak bola dan berbagai macam olahraga lainnya. Tuhan menganugerahiku kemampuan bermain sepak bola dan aku akan memanfaatkannya sebaik mungkin untuk mewujudkan impianku menjadi pemain terbaik dunia. Intinya cukup mencoba untuk menjadi lebih hebat dan terus berlatih keras melampaui kemampuan diri. Gak peduli semua itu bakal terwujud atau tidak di masa depan. Terpenting aku selalu berusaha dan membuka peluang. Soal hasil akhir aku selalu menyerahkannya pada Tuhan.


Saat memikirkan semua itu, aku sedang duduk manis di meja belajarku bersama sebuah bola usang peninggalan ayahku sambil menggambar sampul buku pelajaran: 'Bagaimana Cara Menjadi Kiper Hebat'.


Aku menggambar sosok kiper idolaku, Genzo Wakabayashi. Aku manusia dan ia hanyalah animasi yang memiliki segudang prestasi, tetapi ia hanya bisa diam ketika kuajak bicara. Kami berbicara menggunakan kutipan-kutipan yang kutulis sendiri, dan terkadang aku mengajak Tuhan larut dalam pembicaraan ini. Aku juga mengatakan pada Tuhan jika aku baik-baik saja meski saat ini sedang berada dalam keadaan gelisah. Tetapi, kukatakan sekali lagi jika aku baik-baik saja dan akan terus berjuang tanpa henti entah dengan cara seperti apa nanti.


Namaku Luca Erillio, anak pintar dan bersahabat yang bercita-cita menjadi pemain sepak bola dunia seperti sosok idolaku tadi. Sebenarnya aku gak pintar-pintar banget sih, tapi juga gak bisa dibilang bodoh banget, juga gak setengah-setengah, melainkan sedikit di atas normal. Maksudnya itu, satu tingkat di bawah zona anak-anak pintar—kayaknya sih, gitu.


Yah, aku memang tidak begitu pintar dalam pelajaran sekolah, kecuali bahasa Indonesia, Jawa, dan Inggris. Aku pintar bahasa Indonesia karena aku orang Indonesia. Aku pintar bahasa Jawa karena aku tinggal di pulau Jawa. Dan, aku pintar bahasa Inggris karena aku suka bermain PS—playstation. Lho, kok bisa main PS pintar bahasa Inggris? Iya, karena aku sering bermain game bergenre sport terutama sepak bola yang menggunakan bahasa Inggris untuk memprogramnya (padahal bahasa inggrisnya sedikit). Tapi, tak jarang pula aku suka bermain game yang bergenre RPG, adventure, dan sejenisnya. Jika kita ingin melanjutkan permainan, maka kita harus memahami maksud dan tujuan dari percakapan-percakapan yang ada dalam game tersebut.


Selain itu, aku juga pintar dalam hal lain, lho. Aku pintar berenang, menyontek, main layangan, main gitar, sampai mainin cewek segala—boneka Barbie.


"Luca.... sarapan pagi sudah siap. Cepatlah turun!"


Hehehe, yang bicara barusan adalah ibuku. Ibuku memang agak ribet orangnya, tapi beliau sangat menyayangiku. Aku suka banget memanggilnya ibu, tapi tak jarang pula kupanggil mama, biar gaul kayak di tivi-tivi, gitu. Di rumah ini, aku tinggal sama ibu dan adekku satu-satunya yang bernama Lusi. Sementara ayahku bekerja di Korea sebagai TKI. Ayahku bekerja jauh-jauh sampai negeri Ginseng karena beliau tak ingin mengecewakan masa depanku. Beliau ingin sekali menjadikanku pesepakbola hebat yang mampu membawa Timnas Indonesia lolos ke Piala Dunia. Sepertinya mustahil sih, tapi ayahku pernah bilang jika segala sesuatu itu mungkin! Dan aku percaya, semuanya berawal dari mimpi, tekat, kerja keras, dan semangat pantang menyerah. Aku juga meyakini, jika suatu hari nanti entah itu kapan, aku bersama timnas Indonesia akan bermain di Piala Dunia untuk pertama kali dalam sejarah sepak bola bumi pertiwi.


'Luca,' kata ayah sambil memegang kepalaku. 'Kamu bisa! Kamu pasti bisa masuk Timnas Indonesia! INDONESIA PASTI JUARA DUNIA!!!' Itu adalah motivasi terakhir dari ayah sebelum beliau terbang ke Korea.


"WOY.... MI'ON!!! AYO BALAPAN!!!"


"SIAAPPP.... JOW!!!"


"DON, KAMU MAU IKUT, TIDAK!!!"


Upz, ada suara ribut-ribut di depan rumahku. Itu berarti teman-temanku sudah menungguku untuk berangkat sekolah. Mereka memang punya cara tersendiri untuk memanggil temannya yang paling ABG—Asyik, Baik, dan Ganteng ini. Tak perlu mengetuk-ngetuk pintu atau menyebut namaku segala, cukup sedikit membuat kegaduhan di dekat rumahku, maka dengan sendirinya aku pun akan segera keluar. Simpel banget, ya?


Oh iya, sebelum kebablasan, aku ingin mengenalkan ketiga teman baikku yang sok jadi preman sekolahan itu. Eits, tapi jangan salah ya, walaupun kami sering buat onar di kelas, tapi kami punya geng baik, lho. Namanya Wellenk Genk atau yang lebih populer disebut Wege. Wege itu bukan geng detektif, bukan pula geng-mbel (baca: gembel), apalagi gengster, melainkan hanya sebuah geng-geng-an buat gaya-gaya-an doang biar terlihat keren kayak di tivi-tivi itu, lho. Kalian perlu tahu ya slogan dari geng kami: Tampang Mumun (Jadi Pocong), tapi hati Sailor Moon. Sedangkan motto geng kami adalah: Menumpas kebajikan, menegakkan kejahatan. Eh, kebalik ya? Tapi emang gitu kok motto-nya, hahaha.


Benar-benar geng yang aneh bin nyeleneh. Meski begitu, geng kami cukup terkenal seantero sekolah—terkenal payah. Tekenal dalam mencuri bolpoin, penghapus, tipe-x, dan peralatan tempur sekolah lainnya. Tapi, juga payah jika diberi tugas oleh teman-teman yang membutuhkan bantuan kami. Mereka bertiga adalah Riyu, Aan, dan Doni. Selama aku berteman sama mereka nih ya, bisa dibilang hubungan kami lancar jaya, maju makmur, sentosa abadi. Ibarat bus nih ya, jalan lurus terus gitu, gak belok-belok. Mungkin hanya ada sedikit getaran karena jalan yang berlubang, hehehe.


Riyu adalah teman kami yang paling pendek, paling gila, paling mesum, dan paling jago ngocok. Hehehe, bukan ngocok yang itu, tapi jago ngocok perut teman-temannya buat ngakak se-ngakak-ngakaknya. Kadang kami memanggilnya Gopel, karena sebilah gigi kelincinya tanggal setengah. Kadang juga kami memanggilnya Gentho, karena tingkahnya yang sok preman. Tapi, tak jarang pula kami memanggilnya Bejo, karena nama ayahnya adalah Ahmad Subejo Sudirohusodo. Si Bejo ini paling dekat denganku. Seperti sebuah pepatah: Di mana ada Tuyul, disitu ada mas Yul—karena Riyu cowok. Riyu setali tiga uang denganku, tidak pandai dalam pelajaran, namun pintar bermain playstation dan mainin cewek BBB—Bukan Boneka Barbie.


Aan adalah satu-satunya personel Wege yang juga berbadan Wege, alias Weteng Gedi (baca: gendut). Ayahnya adalah seorang bos mafia. Jadi, tak ada satu pun teman-teman sekolahku yang berani menjahilinya, termasuk sang kakak kelas. Kemana-mana, Aan selalu membawa ransel hitam yang penuh buku pelajaran dari hari senin sampai sabtu. Maka tak heran jika teman-teman sekelasku menjulukinya PBB—Perpustakaan Besar Berjalan. Terkadang kami juga memanggilnya 'Angin Ribut', karena nama ayahnya adalah pak Ribut. Selain itu Aan juga sering dipanggil Mi'on, karena dia sering banget makan mie+so'on. Meski gendut, si Mi'on jago banget berduel, pergerakannya cukup lincah, tangguh, dan pemberani. Bermain bola bersamanya sangat menyenangkan, karena dia selalu memberi rasa aman di lini belakang.


Satu lagi, teman baikku yang gak kalah maknyus, namanya adalah Doni. Doni ini punya nama Italia yaitu Donidona, yang diberikan langsung oleh presiden FIGC—PSSI-nya Italia—karena rajin banget mantengin setiap pertandingan Gli Azzuri. Donidona? Eh, kebalik ya? Itu Donadoni kali, hehehe. Pokoknya dia benar-benar mirip bakpia keju gitu deh alias baik, pintar, agamis, kesannya jujur. Tapi, dia juga kutilang darat gitu, alias kurus, tinggi, langsing, rambut keriting, dada rata, gigi tupai, hehehe. Jadi, aku gak heran jika dia cukup pintar bermain basket. Meski begitu, kami jarang memanggil Doni dengan sebutan aneh-aneh maupun nama orangtuanya, meski kami tahu namanya. Masa-masa sekolah dasar memang masa-masa kenakalan yang penuh kejujuran. Seperti tak ada hukum yang pasti, memanggil nama teman dengan sebutan orang tua sudah menjadi hal biasa dan tak perlu dipertanggungjawabkan.


Meskipun aku dan ketiga teman baikku itu mempunyai banyak perbedaan, tapi kami tetap menjunjung tinggi asas-asas ke-bhineka-tunggal-ika-an, lho. Aku dan Riyu suka banget main PS. Aan dan Doni menggilai segala sesuatu tentang Tamiya dan Crush Gear. Aku dan Doni suka main monopoli, sementara Aan dan Riyu suka main karambol, dan masih banyak lagi perbedaan lainnya. Meski begitu, kami semua mempunyai tiga kesamaan yang pasti. Pertama, sama-sama menyukai sepak bola. Kedua, sama-sama menyukai anime Captain Tsubasa. Dan yang terakhir, sama-sama menyukai teman sekelas kami yang bernama lengkap Adiza Aziza Rahma.


Diza, atau Ziza, atau kadang juga dipanggil Rahma, adalah cewek cantik dan cerdas yang menjadi primadona sekolahan. Layaknya seorang bidadari yang terbuang dari surga, Diza mempunyai semacam 'ayu ning rogo' yang bisa membuat lawan jenisnya klepek-klepek gak karuan. Senyumnya benar-benar melelehkan hati anak-anak cowok. Leleh, kemudian mencair membasahi celana dalam mereka, hehehe. Selain itu, Diza juga jago bermain bulu tangkis, sedikit tomboy tapi sangat berkharisma. Maka tak heran, banyak cowok yang berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan perhatiannya. Contoh kecilnya, banyak yang menggoda, menjahili, sampai membuatnya marah. Ada juga yang menyukainya dalam diam. Bahkan ada yang lebih ekstrem lagi, yakni ngintipin Diza. Malah, terkadang warna celana dalam Diza dijadikan ajang taruhan. Benar-benar parah pokoknya!!! Satu lagi yang perlu kalian ketahui tentang cewek yang mirip banget sama Marshanda itu. Pokoknya kalau lagi ngobrol sama Diza jangan sok tahu deh, karena Diza pintar dan merasa tahu semuanya. Tempat tongkrongannya aja perpustakaan. Benar-benar kupu-kupu buku! Kok kupu-kupu buku? Soalnya Diza itu cantik bak kupu-kupu. Gak lucu kan cewek cantik dijuluki kutu buku, hehe.


Ngomongin soal buku, aku pernah membaca buku yang berisi tentang masa puberitas. Intinya, setiap anak cowok belum bisa dikatakan akil baligh kalau belum ngerasain mimpi basah. Sedangkan untuk anak cewek belum bisa dikatakan cukup umur kalau belum ngerasain menstruasi. Lebih dari itu, mereka belum bisa dikatakan ABG kalau belum pernah ngerasain gimana rasanya jatuh cinta pada teman sekelas.


Lihat selengkapnya