Aku mematikan lagu favoritku, Dragon Screamer—OST Captain Tsubasa—dari VCD player peninggalan ayah, lalu mengambil tas selempang Spyderbit dan bergegas menuruni tangga. Duh, rasanya udah gak sabar pengen ngejitak tiga anak itu. Teman-temanku sungguh tega, ngajakin aku berangkat pagi-pagi. Untung saja hari ini hari sabtu, jadi sekolah cuma sebentar. Ketika melewati ruang tengah, aku mengambil bekal makananku dan meminum segelas susu yang sudah disiapkan oleh ibuku. Kemudian, aku berlari ke garasi untuk mengambil si belalang tempur—sepeda kesayanganku satu-satunya.
"Maa.... Luca berangkat!" Aku berpamitan dengan ibuku yang sedang membersihkan halaman rumah.
"Nak, kesini dulu," panggilnya. "Tolong balikin tangga itu ke rumah Ajeng, ya!"
"Gak ah Maa, Luca dah ditunggu teman-teman tu, lho. Daaa... Mama." Aku langsung mengayuh sepedaku menuju pagar rumah.
Males banget aku ketemu si Ajeng dari rumah sebelah. Anak itu agresif banget denganku. Dia bilang wajahku mirip Toming Tse. Hm, mungkin gara-gara model rambutku yang mirip artis Taiwan itu kali, ya? Padahal, aku menggondrongkan rambut ini biar mirip pemain bola favoritku, Gianluigi Buffon. Tapi ternyata rambut ini justru membuatku terlihat seksi di mata cewek-cewek.
Ketika aku membuka pagar rumah, ketiga teman baikku itu sudah standby dengan sepeda kesayangannya masing-masing.
"Hai Luca," sapa Aan yang terlihat bersemangat dengan sepeda BMX kesayangannya. "Lama banget sih? Kita ni udah pada siap dari tadi."
"Sorry, Bro, masalah klasik, hehe," kilahku. "Yuk berangkat?" Seruku pada teman-teman.
"Bentwar, dwong! Kwamu gwak lihwat akwu lagwi ngwemwil?" Riyu ngomong sambil mengunyah kacang rebus.
"Kalau ngomong jangan sambil makan, Yu." Aan mengingatkan.
"Iya.... iya," kata Riyu datar, ketika kacang rebusnya sudah ditelan. "Eh, sepulang sekolah kita bermain bulu tangkis di gedung serbaguna, yuk?"
"Halah, bilang aja mau lihat Diza latihan," sambar Doni sewot.
Diza memang selalu menyempatkan diri berlatih di gedung serbaguna, meski ia harus membagi waktu antara hiruk-pikuk kesibukan bersekolah dan berbagai macam les. Aku paling suka kalau udah ngelihat Diza berjibaku dengan raket dan memukul shuttlecock dengan beringas. Rambutnya diikat ke belakang, pakai kalung dan gelang anyaman berwarna merah-biru yang kata Diza adalah jimat keberuntungannya.
"Tahu aja kamu, Don," timpal Riyu sambil cengengas-cengenges gak karuan. "Sambil menyelam minum air. Sambil mencuci mata, kita juga bisa meminta Diza untuk memilih siapa yang pantas menjadi pacarnya."
"Peribahasamu kebalik, tuh! Harusnya, sambil menyelam minta air, goblok!" ucap Doni ketus. "Diza tu gak suka sama cowok goblok! Pasti dia memilihku!"
"Enak aja! Yang paling pintar di sini siapa?" Si perpustakaan berjalan terlihat tak terima. Aan memang suka mengklaim jika dirinya adalah yang paling pintar diantara kami berempat. Tapi, sebenarnya Doni lah yang paling pintar.
"Ih, pede banget kalian! Diza tu suka cowok ganteng kayak aku!" Aku menyambar omongan mereka bertiga, lalu mendekati Riyu yang berada di samping Doni. "Ya gak, Bro?"
"Di rumah punya kaca gak, sih?" Riyu bertanya dengan muka cemberut.
"Kaca spion atau kaca jendela?" Aku memiringkan kepalaku.
"Kaca buat ngaca, goblok!" Temperamen Riyu yang seperti Mak Lampir mulai muncul ke permukaan.
"Adanya kaca+huruf N dan G, alias kacang, hahaha." Aku mencoba berspekulasi.