Dragon Eagle

Luca Scofish
Chapter #5

Tahun Kedua

Aku adalah seorang anak yang mudah terpengaruh dengan segala hal yang aku lihat dan tonton, termasuk tontonan anime dan kartun Jepang yang tayang setiap hari minggu pagi di stasiun televisi. Ketika aku menonton Dragon Ball, aku ingin sekali bisa berubah menjadi super saiyan agar bertambah kuat dan terlihat keren dengan aura kuning-kuning yang berbunyi, "wush-wush" ditambah sedikit aliran-aliran listrik statis di sepanjang aura kekuningan itu. Tapi, tak lama kemudian aku sadar jika aku tak mungkin bisa jadi super saiyan, apalagi jika harus mengeluarkan jurus kamehameha seperti Songoku.


Lalu, ketika aku menonton Pokemon dan Digimon, aku juga ingin mempunyai hewan peliharaan yang bisa bertarung dan membunuh musuh-musuhnya. Maka dari itu, aku langsung bilang pada ibuku supaya dibelikan anjing, tapi gak dibolehin karena takut terkena air liur anjing yang hukumnya najis mughallazhah. Setelah itu aku merengek pengen pelihara ikan hias, tapi ditolak dengan alasan sering mati. Pas aku minta kucing, langsung dimarahin. Bukan karena bulu kucing gak bagus buat kesehatan, tapi karena kucing itu makannya ikan, sedangkan keluargaku belum tentu seminggu sekali bisa makan ikan.


Kemudian, ketika aku menonton Crayon Shinchan, aku juga ingin menjadi seperti Sinchan yang suka menjahili dan menggoda cewek-cewek, baik itu cewek yang usianya di bawahku, sepantaran denganku, maupun cewek yang lebih tua dariku.


Tapi, dari sekian banyak tontonan berkategori anak dan bimbingan orang tua itu, aku patut bersyukur pada Tuhan karena aku gak pernah menyukai Sailormoon. Aku takut jika harus menjadi gadis cantik berambut pirang yang selalu membawa tongkat dan bicara, "Dengan kekuatan bulan dan bintang, aku siap menumpas kejahatan!"


Lain halnya ketika aku menonton serial tivi Satria Baja Hitam RX. Aku jadi sering berlatih jurus di halaman rumah dan mempraktekkan jurus-jurus itu sebisa mungkin. Berhubung saat itu aku gak mampu membeli pedang dan belum diizinkan mengendarai sepeda motor, aku pun iseng-iseng membawa tongkat dan sepada ontelku sambil memukul-mukul pohon mangga, layaknya seorang Satria Baja Hitam RX yang sedang bertarung melawan monster jahat. Ketika adekku melihat aksi gilaku tersebut, dia malah bilang, "Mas Luca, kalau memetik buah mangga bukan begitu caranya!"


Di sisi lain, ketika serial anime Captain Tsubasa ditayangkan di tivi, aku selalu berada di depan tivi setiap sore, berebut remote tivi dengan adekku sampai dimarahi oleh ibuku. Pada zaman itu, tontonan captain Tsubasa begitu mendunia hingga memengaruhi kehidupanku. Jadi wajar saja, jika keinginan terbesarku sewaktu kelas 2 adalah ingin punya tim sepakbola bersama teman-teman sekelasku. Keinginan untuk mempunyai tim sepakbola seperti SD Nankatsu-nya Tsubasa Ozora dan kawan-kawan aku utarakan kepada teman-teman menjelang permainan sepak bola di sebuah rumah kosong yang dekat dengan Pondok Sukun—lapangan mini yang berjarak 10 menit dari sekolah.


Ketika aku bilang pada teman-teman, mereka memandangiku dengan ekspresi raut muka yang penuh rasa heran.


"Tim sepakbola kelas kita?" tanya Menthol yang pertama kali memberi tanggapan.


"Iya, kayak SD Nankatsu-nya Tsubasa Ozora," jelasku dengan penuh semangat. Lalu, aku berpaling ke Riyu, Aan, dan Doni, yang berdiri di belakangku, tetapi ekspresi mereka malah plonga-plongo kayak orang dongo. "Kalian setuju, gak?"


Mereka bertiga tidak menjawab pertanyaanku. Lalu, aku berbalik menatap ekspresi teman-teman yang lain, tapi mereka masih heran dan kebingungan. "Gimana?" Aku meminta pendapat lagi.


"Tim sepakbola sekolah kita kan udah ada tim Adedas," kata Danang, anak yang paling dekat dengan Menthol. Setali tiga uang dengan Menthol, Danang juga nakal dan usil. Meski begitu, anaknya cukup rajin, telaten, dan pekerja keras. Anaknya juga jago berantem, maka tak heran jika Danang selalu bermain sebagai gelandang bertahan yang siap berduel dengan striker lawan.


"Itu kan nama tim sepakbola sekolah kita. Tadi kan aku bilang, tim sepakbola kelas kita, Bro." Aku menjelaskan dengan sabarnya.


"Tapi kita kan cuma ber-sepuluh, sedangkan tim sepakbola itu harus berjumlah sebelas pemain." Kali ini giliran Samuel yang berkeluh kesah. Samuel adalah teman kami yang berbadan pendek seperti Riyu dan Menthol. Dia biasa bermain di posisi gelandang bertahan atau fullback kanan.


"Gak masalah!" kataku meyakinkan. "Di kelas kita kan masih ada empat cowok. Siapa tahu mereka jadi menyukai sepakbola setelah ini." Aku melihat teman-temanku beradu pandang satu sama lain. "Gimana?"


"Aku setuju!" Suara teriakan renyah terdengar dari pojok ruangan. Ternyata dia adalah Rian, teman kami yang sedikit gempal. Rian biasa bermain di lini tengah, baik itu sisi kanan atau kiri. Dengan pandangan nanar Rian berjalan ke arahku, ia merangkul pundakku, lalu berkata, "Kita ajak Dasa, Hari, Bani, dan Udin. Aku yakin mereka pasti mau."


"Kalau mereka gak mau gimana?" Danang terlihat pesimis. "Mereka ber-empat kan tidak suka sepakbola." Ia menambahkan.


"Tenangkan pikirmu, Ndul. Ntar kita paksa aja," sambung Menthol antusias. Aku senang jika Menthol sudah setuju, dengan begitu semuanya akan lebih mudah, sebab dia adalah anak yang paling ditakuti di kelas kami.


"Tapi, untuk kostum tim gimana?" tanya Febro yang duduk di atas meja, dekat dengan jendela. Febro adalah mualaf dari pingpong ke sepakbola. Ia adalah teman duet Aan di lini belakang. Meski begitu, dia masih sering khilaf dan tetap bermain pingpong. Kalau kata Pak Ustad, tobatnya gak nasuha.


"Soal kostum kita bicarakan nanti. Yang penting kalian setuju dulu." Aku berusaha meyakinkan teman-teman. "Pokoknya nanti, aku jadi Wakabayashi. Aan bisa jadi Takasugi. Samuel cocoknya jadi Ishizaki. Kalau Febro jadi Urabe saja. Terus, Riyu bisa jadi Misaki. Dan, untuk Menthol pantasnya jadi Tsubasa, karena permainannya paling bagus. Lalu, untuk Danang, Rian dan Doni bisa jadi Taki, Kisugi dan Izawa," lanjutku sambil menunjuk calon pemain hebat itu satu per satu. "Gimana kalian setuju, gak?"


"Aku setuju, yang penting aku jadi kapten Tsubasa." Menthol benar-benar kegirangan.


"Aku gak setuju, harusnya aku jadi Misaki, sebab kemana-mana aku selalu sama Menthol," ujar Danang yang pertama kali kontra dengan keputusanku.


"Aku juga gak setuju!" Si Bejo tiba-tiba ikut mengungkapkan ketidak setujuannya. "Aku pengen jadi Kojiro Hyuga. Asal kalian tahu, tendangan samber gledekku ini sudah mirip tendangan macan, aerrggghhh!" tambahnya sambil memperagakkan tendangan Tiger Shot Kojiro Hyuga.


"Hahaha, Riyu.... Riyu. Mungkin yang kamu maksud tendangan macan ompong kali ya?" Aku menyindir Riyu yang tingkat kesombongannya sudah stadium akhir.


"Hahaha. Teman-teman, mungkin yang dimaksud Luca bukan tendangan macan ompong, tapi macan gopel." Buset, Doni mulai menunjukkan taringnya. Berani juga dia menyidir Riyu. Bagus, Bro, emang tu anak perlu diberi pelijaran, hahaha. Upz, porno, deh.


"...." Semuanya ngakak keras.


"Terus aku jadi apa, Luck?" Ketua kelas Wahyu Hikari yang terpaut beberapa inchi di sampingku bertanya sambil mendengus. Wahyu Hikari adalah pemain yang multifungsi. Selain mematenkan posisi fullback kiri, ia bisa mem-back-up posisi lain di lini tengah dan belakang.


"Oh, kamu di sini, Bro? Sorry.... sorry, aku gak lihat. Habis kamu diam aja, sih." Aku berkata sambil mengucek-ngucek mata. "Em, kamu jadi pemain cadangan atau anak gawang aja, gimana?"


"Hahaha, astagfiullohal'azhim, Luca!" Hahaha, Wahyu Hikari malah ngatain aku dengan kalimat istighfar, dikirinya aku setan yang sedang khilaf kali, ya? Tu anak emang agak aneh.


Satu per satu teman-temanku lalu mengungkapkan keinginannya untuk menjadi pemain jagoan mereka masing-masing dalam anime Captain Tsubasa. Febro bilang padaku jika dia ingin banget jadi Hikaru Matsuyama. Kalau Doni ingin jadi Misugi Jun. Si Mi'on ingin jadi Hiroshi Jito yang tinggi besar menjulang kayak beruang. Sementara Samuel hanya ingin makan soto soda alias Makoto Soda.


Aku sendiri heran kenapa teman-temanku malah berebut para pemain selain dari SD Nankatsu. Sejak awal kan aku bilang mau bikin tim bola kayak SD Nankatsu, bukannya Timnas Junior Jepang.


Di lain pihak, Menthol malah berusaha meyakinkanku. "Udah gak apa-apa, Luck. Yang penting kita punya kesamaan. Kita semua suka Tsubasa."


Akhirnya, di sebuah rumah kosong kawasan komplek Pondok Sukun Asri, tim bola kelas 2A resmi berdiri.


Langkah pertama setelah mengklaim para pemain super dari "negeri matahari terbit" itu adalah memberi nama yang super duper keren untuk tim bola yang akan terkenal ini. Usulan nama-nama tim bola pun bermunculan, mulai dari yang standart kayak SD Secang FC, 2A FC, sampai KFC jagonya ayam segala.


Usulan berikutnya datang dari Menthol. Ia mengusulkan PSSDSFC yang artinya Persatuan Sepakbola Sekolah Dasar Secang Football Club. Semua anak menertawakan usulan itu, karena hampir menyamai panjang gerbong kereta api. Lagian ya udah ada kata "persatuan sepak bola" kok masih di tambah kata "football club" segala, hahaha.


Di sisi lain, Doni memberi saran, "Kalau bisa jangan disingkat-singkat gitu. Udah banyak tim Indonesia yang kayak gitu seperti: PSIS Semarang, PSS Sleman sampai PPSM Magelang kebanggaan kita. Pokoknya kita cari nama lain, yang beda dari yang lain." Begitu mendengar pidato Doni yang berapi-api kayak bung Tomo ketika menyambut pertempuran 10 november di Surabaya, semangat juang kami pun meledak-ledak.


Wahyu Hikari yang dari tadi cuma ngomong sepatah dua patah kata, akhirnya mengemukakan pendapatnya. "Kalau Peresdelo gimana?"


"Apalagi itu?" Gantian Febro yang bertanya.


Semuanya lalu memandangi Wahyu Hikari.


"Persatuan Es De Kelas Loro," jawab sang ketua kelas malu-malu.


Riyu ngakak paling keras sampai air liurnya muncrat kemana-mana. Lalu, dia bertanya, "Kamu ngelawak, ya?"


"Jangan yang per-per gitu. Di Indonesia udah sangat banyak kayak Persija, Persebaya, Persib, Persipura, dan lain-lain. Kita cari nama yang beda kayak Arema, Deltras, atau Sriwijaya kan malah keren, tuh." Giliranku yang memberi saran.


"Kayak tim liga Inggris aja: Chelsea, Manchester United, atau Liverpool." Danang ikutan bicara.


"Ya setuju, tapi apa?" tanya Samuel.


"Gimana kalau Writing atau Listening?" Kali ini Riyu yang mengungkapkan pendapatnya. "Tapi menurutku Speaking yang paling keren, deh," tambahnya.


"Artinya apa?" Semua anak bertanya hampir bersamaan.


"Haduh, gitu aja gak tahu artinya. Upz, aku lupa jika kalian tidak bisa bahasa Inggris." Riyu malah meledek kami. Dia lupa kalau aku juga bisa bahasa Inggris, karena kita suka main PS bareng, huh menjengkolkan. "Jadi, Writing itu artinya membaca, kalau Listening itu mendengarkan, terus kalau Speaking artinya berbicara," kata Riyu melanjutkan omongannya.


"Hahaha, yang benar saja! Masa nama tim bola kita kayak pelajaran bahasa Inggris. Ngawur kamu, Yu.... Yu!" ejek Doni hingga membuat semua orang ngakak guling-guling.


"Lho, katanya suruh pakai bahasa Inggris. Lha salah satu tim liga Inggris aja ada tim yang bernama Reading, kok," kata Riyu, memberi penjelasan.


"Hahaha." Semuanya ngakak lagi. Nama tim bola yang aneh. Tapi benar juga ya, Reading kan tim dari divisi Championship, kasta kedua liga Inggris yang sempat promosi ke Premiere League.


Sejenak kami duduk bersila sambil berpikir ekstra keras, sekeras minuman Ekstra Joss yang memabukkan. Meski begitu, kami terus berpikir sampai pada akhirnya ada usulan lagi dari Riyu untuk mengombinasikan nama-nama hewan dan kota, seperti Tiger City, Lion City, atau Dragon City, supaya mirip dengan Swansea City, gitu. Tapi nama hewan malah terdengar "ndeso", karena menyerupai nama regu pramuka.


"Luck, kamu kan juga pintar bahasa Inggris, jadi menurutmu nama yang keren buat tim kita apaan, dong?" Menthol bertanya padaku setelah gak nemu-nemu nama yang tepat.


"Gimana kalau Dellio." Aku menjawab spontan.


"Dellio?" Teman-teman mengulangi kata-kataku sambil bengong, dan aku pun juga ikutan bengong.


"Artinya apaan, Luck?" tanya Danang memecah kebengongan kami semua.


"Gak tahu," jawabku singkat sambil mengangkat kedua tangan sepinggang.


"Huuuuuu...!!!" Semua anak terlihat kecewa dengan usulanku.


"Tapi keren, kok." Doni memberi dukungan yang langsung disetujui oleh Aan dan Riyu.


"Iya keren." Beberapa anak mulai ikut-ikutan bicara.

Lihat selengkapnya