Suatu pagi yang penuh canda-tawa di ruang kelas 4A.
Seperti kebiasaannya dari dulu, Riyu selalu menghampiri bangku Diza hanya untuk mengagumi kecantikan dan senyum yang menyungging di ujung kanan bibirnya. Aku dan Riyu duduk bersebelahan di bangku pojok belakang yang dekat dengan koridor. Tempat- tempat semacam ini disinyalir kuat sebagai tempat duduk anak-anak malas dan nakal.
Kemudian, guru agama kami yang bernama pak Junaedi datang. Orangnya agak galak dikit, terutama kepada anak laki-laki yang tidak punya budi pekerti yang luhur seperti aku ini. Sebagian anak cowok di kelas ini tidak menyukainya, maka dari itu kami selalu mengejek pak Junaedi dengan kata "judi" yang berarti Junaedi. Kami juga sering menyindir pak Junaedi dengan menyanyikan lagu Rhoma Irama berjudul "Judi".
Anehnya, pak Junaedi gak pernah sadar kalau dia sering kami ejek. Pak Junaedi malah bilang, "bagus anak-anak, judi itu termasuk perbuatan setan."
Pelajaran pun dimulai. Kami disuruh menyalin surat At-tin yang ditulis pak Junaedi di papan tulis. Di sisi lain, Dasa yang duduk di depanku terdengar memanggil-manggil Diza yang duduk di sampingnya, deret ke dua dariku.
"Diza.... Diza," bisik Dasa sepelan mungkin. "Besok ada konser Sheila on 7 di Yon Armed 3. Apa kamu mau nonton?"
"Emm, konsernya mulai jam tiga sore, ya?" Diza balik bertanya.
"Iya, kamu bisa ajak Vina kalau mau. Nanti kita bisa naik mobil kakakku. Gimana?" Kelihatannya Dasa ngotot banget mau ngajakin Diza nonton konser. Sial!
"Aaaaaa... Sheila on 7. Aku pengen nonton," rengek Vina sepelan mungkin sambil menarik-narik lengan Diza. "Ayo Diza, kapan lagi bisa lihat kak Duta." Vina terus membujuk Diza. Vina adalah teman sepermainan Diza, baik itu di lingkungan tempat tinggal mereka atau lingkungan sekolah ini. Ikatan diantara mereka begitu erat hingga seperti saudara. Dan jika ada satu anak yang tahu semua rahasia Diza, dia adalah Vina.
Diza berusaha melepas tangan Vina yang masih memegang lengannya, lalu ia tersenyum kecil ke Dasa. "Baiklah, insyaAllah, ya?"
Uuh, aku tu sebel banget sama kedekatan mereka berdua. Ibarat kata ni ya, kalau di Eropa ada Romeo & Juliet, di Indonesia ada Rama & Sinta, maka di kelas ini ada Adidas yang berarti Adiza & Dasa. Adidas sering digosipkan pacaran. Mereka juga bersaing ketat memperebutkan status murid terpandai di kelas ini. Jadi wajar saja jika sebagian murid di kelas ini menjulukinya Adidas. Sebenarnya aku dan anak-anak cowok yang menyukai Diza tidak setuju dengan julukan itu, tapi setidaknya julukan itu bisa menjadi bahan untuk menarik perhatian sang primadona.
Ketika Dasa sedang mengobrol dengan Diza, ia terlihat seperti orang dewasa. Diza selalu mendengarkan dengan seksama. Obrolan mereka selain tentang musik, biasanya tentang film hingga dunia otomotif: F1 atau Moto GP. Dari otomotif hingga ke bulutangkis dan basket. Jelas semua itu di luar batas pengetahuanku. Keterbatasan wawasan alias kebodohanku ini tidak mungkin bisa menandingi Dasa ketika kami bertiga mengobrol bersama. Aku akan sangat bosan dan cenderung malu. Hal ini benar-benar membuatku patah arang. Aku merasa muak.
"!!!!" Aku melempar kacang rebus yang kudapatkan dari Riyu ke rambut Diza yang hitam kecoklatan sebahu.
"...." Diza menoleh ke arahku. Kedua sudut bibirnya ditarik ke bawah, sorot matanya pun berubah sendu, wajahnya kusut.
"Brisiiikkk!" bentakku dengan suara setengah keras. Dasa hanya diam saja melihat kami berdua.
Diza menjulurkan lidahnya kayak bunglon sebagai balasan atas seranganku barusan. Seakan tak terima begitu saja, dia meremas-remas kertas lalu melemparkannya padaku. Kertas itu mengarah ke wajahku. Tapi, aku bisa menangkapnya dengan mudah menggunakan tangan kiri. "Kau lupa jika aku kiper Dellio?"
"Awas kamu!!!" ancamnya sambil mengepalkan satu tinju.
Aku tersenyum nakal ke arahnya. Lalu, mengambil pulpen untuk menulis pantun di kertas itu.
Sekuntum bunga mawar melati
Putih berseri harum mewangi
Assalamualaikum si cantik bak bidadari
Jangan bersedih walau terbuang dari surga illahi
Nb: Cantik kayak Omas, wkwkwk
Setelah kulempar balik, kertas itu mengenai punggung Diza dan jatuh ke lantai. Diza memungutnya, lalu membuka dan mulai membacanya. Ia terlihat seperti Mak Lampir yang begitu murka dan ingin membalas dendam. Tak lama kemudian, ia melempar balik kertas itu, dan aku pun bisa menangkapnya dengan mudah lagi.
Saat perang melawan pejabat kayangan, Kera Sakti mengajak kera- kera lainnya untuk memukul mundur pasukan kayangan, tapi misi ini gagal karena masih ada satu kera yang sedang baca tulisan ini.
DIZAAAA!!!
Akibat ulahnya memang bisa tercipta kegembiraan tersendiri untukku, tapi juga bisa merusak keindahan sebait pantunku untuk Diza pagi ini.
"Dasar bidadari terbuang!" celaku sambil melempar balik kertas itu. Kata bidadari terbuang adalah julukan yang kusematkan untuk Diza.
Satu jam sudah pelajaran agama berlalu. Kini, bu Surti, wali kelas 4A, duduk di "kursi raja". Selama beberapa menit pelajaran belum juga dimulai, sehingga ruang kelas pun langsung bergema dengan obrolan para murid. Sementara itu, aku iseng-iseng menggambari sampul buku catatanku sambil sesekali menatap Diza. Aku mendengar sangat jelas ketika Riyu menggeser kursinya, tapi mataku tetap terarah pada gambar.
"Diza." Kudengar suara bu Surti memanggil calon pacarku, tuh. Diza pun mendongak. "Tolong ambilkan buku paket bahasa Indonesia di ruang guru, ya?" Mendengar perintah itu, Diza pun bergegas ke ruang guru.
Tak lama kemudian bu Surti menyuruh murid-murid tenang, dan aku pun berbalik arah untuk mendengarnya.
"Hari ini teman kalian bernama Hari tidak masuk sekolah karena takut sama Luca," kata bu Surti sambil memperlihatkan sebuah surat pada semua murid. Beliau lalu melirikku yang langsung berpura-pura sibuk merapikan barang-barang di dalam laci.
"Saya bersalah, maafkan saya. Saya tidak akan mengulanginya lagi." Aku merapikan buku pelajaran dan prakarya yang sangat berantakan di dalam laci sambil memasang raut wajah serius dan dingin.
"Bajingleng! Cengeng banget tuh anak. Hanya gara-gara uang jajannya jatuh di lantai, terus kuinjak dengan sepatu aja pakai nangis segala. Ampun deh!" Aku menggerutu dalam hati karena bu Surti terus memarahiku habis-habisan gara-gara masalah ini.
Bu Surti memang wali kelas yang tegas binti menyebalkan. Demi mendapatkan penghargaan "kelas terbaik" setiap bulannya, beliau membuat peraturan yang sangat ketat di kelas ini. Peraturan pertama merujuk pada salah satu rukun iman tentang kebersihan. Setiap seminggu sekali, kelas wajib dipel dengan ampas kelapa. Lalu, setiap sebulan sekali, semua murid diwajibkan membawa tanaman hias untuk dipajang di koridor kelas. Beliau juga menerapkan kebijakan "student most wanted", dimana setiap hari sabtu, ketua kelas kami diminta menuliskan nama- nama murid yang suka membuat keributan di secarik kertas kosong untuk dikumpulkan. Sesudah itu, nama-nama yang masuk daftar hitam akan dipanggil, lalu diberi hukuman. Mereka juga mendapatkan poin merah pada buku rapor kepribadian dan surat peringatan yang harus ditandatangani orang tua masing-masing. Soal ini, aku dan Riyu selalu nangkring di posisi puncak selama caturwulan pertama.
"Anak-anak, nilai rapor kalian pada ujian caturwulan pertama sangat mengecewakan. Khususnya untuk Luca dan Riyu yang selama tiga tahun terakhir selalu menempati peringkat 26 dan 27." Bu Surti berdiri di depan mimbar kelas sambil membawa buku paket bahasa Indonesia yang barusan diambilkan Diza.
"Hore." Aku dan Riyu bersorak gembira. Duh, seneng banget deh rasanya, karena sejak kelas 1 sampai kelas 4 ini kami berdua berhasil mempertahankan gelar. Ingat ya, mempertahankan itu jauh lebih sulit daripada merebut.
"Ya ampun!" Bu Surti terlihat kebingungan dengan tingkah laku kami. Aku dan Riyu melakukan selebrasi dengan tos tangan. Bu Surti mengeleng-gelengkan kepala. Semua murid tertawa keras.
"Bu Guru gimana, sih? Jumlah siswa-siswi di sekolah kita kan tiga ratus-an lebih. Nah, peringkat 26 dan 27 itu termasuk yang terbaik." Aku menyemangati diri.
Bu Surti bengong. Seperti ingin menjedor-jedorkan keningnya di meja. Tapi dilarang murid-murid, karena kalau beliau masuk rumah sakit, siapa yang akan mengajar kelas kami?
"Sudah anak-anak, kita ambil hikmahnya saja." Kalimat itu meluncur begitu saja. Semua murid tertawa lagi.
"Kalian sudah kelas 4, jadi bu Guru harap kalian lebih giat belajar lagi, terutama untuk anak laki-laki. Mulai sekarang, bu Guru akan mengatur tempat duduk kalian dengan berpasang-pasangan antara laki dan perempuan." Sekarang bu Surti melambai-lambaikan sehelai kertas.
"Begini susunannya," kata bu Surti. "Tulis nama kalian di kertas, lalu edarkan ke deret meja sebelah." Beliau menjatuhkan kertas itu di depanku. "Semoga kalian mendapatkan teman sebangku yang kalian sukai. Kalian akan bersamanya selama di kelas 4 ini. Saya harap anak perempuan bisa membantu anak laki-laki agar lebih rajin lagi."
Huh, aku curiga semua ini pasti akal bulus bu Surti untuk memisahkanku dari Riyu. Tapi, bukan hal yang aneh jika bu Surti ingin memisahkan kami, karena kami sering bercanda dan bertengkar dengan teman-teman ketika pelajaran berlangsung.
Akhirnya, aku duduk di samping Dewi. Anak yang selalu mendapat rangking 3 di kelas ini. Tubuh Dewi pendek kayak peri, dan jika menghadap samping, dia tidak akan terlihat. Meski begitu anaknya sangat manis seperti boneka Barbie. Ngomongin boneka Barbie, aku jadi ingat boneka adekku di rumah. Setiap kali aku melihat boneka itu, aku juga melihat Diza dalam dirinya. Maka tak heran, sebagai pelampiasan, aku sering berbicara sendiri dengannya. Terkadang aku menciumnya juga, gantiin bajunya juga, lho.
Semua anak lantas mengikuti pelajaran dengan tenang, begitu juga denganku. Tidak ada yang berbicara sendiri, termasuk Riyu yang beruntung banget bisa duduk di sebelah Diza.
"Baik anak-anak, sekarang kita belajar bahasa Indonesia tentang profesi," kata bu Surti dari atas mimbar. "Orang yang pekerjaannya belajar dinamakan apa?"
"Pelajar," jawab murid-murid kompak.
"Bagus, pertanyaan berikutnya. Tono menggiring, mengoper, lalu menendang bola. Tono berprofesi sebagai?"
"Pesepakbola." Murid-murid masih menjawab dengan kompaknya.
"Siapa yang bercita-cita ingin jadi pesepakbola?" tanya bu Surti. Semua anggota tim Dellio langsung mengangkat tangan.
"Baiklah, sekarang bu Guru ingin bertanya sama Luca." Waduh, napa bu Surti tiba-tiba ngincer aku, ya? kalau gak bisa jawab bisa dihukum, nih. Males banget! "Bu guru mengajar murid-murid. Profesi Bu guru adalah....?"
"Peguru!" Aku langsung menjawab dengan pedenya.