Hampir semua murid menyukai pelajaran kosong. Ya, sebenarnya gak bisa dibilang pelajaran kosong sih, karena kami diberi tugas mengerjakan LKS.
Biasanya kalau pelajaran kosong, mendadak nama Wellenk Genk bisa berubah menjadi Wellenk Band. Yup, tiba-tiba ruang kelas kami bisa berubah menjadi panggung konser seribu bintang.
"Woy, kita latihan di halaman sekolah, yuk?" Menthol duduk di 'kursi raja' ketika beberapa murid sedang bermain kartu remi.
Selain Pondok Sukun, tim Dellio memang suka berlatih di halaman sekolah. Alasannya sederhana, supaya terlihat keren di mata anak cewek.
"Bola kita hilang, Bos," ucap Danang sambil mijitin Menthol.
"Pasti dibladok si Tarno," tudingku.
Tarno itu guru gendut berewokan yang dijuluki Mr. Wowo, karena mirip banget kayak Genderuwo dan Buto Ijo. Rambutnya plontos kayak mulutnya yang mrongos, kumisnya tebel kayak super Mario Bros, pokoknya berantakan banget kayak mukanya yang ndlongos. Hampir semua anak cowok di sekolah ini membencinya. Belum lagi giginya yang padat merayap susul-susulan alias offside, bahasa kerennya tonggos. Udah gitu, si Tarno ini pelitnya setengah modyar, khususnya jika menyangkut soal rokok, dia selalu minta melulu. Pantas saja kalau guru-guru lain selalu memanggilnya Rojali, alias rokok jarang beli, karena sering minta mulu. Huh!
Tim Dellio punya semboyan jika berlatih di halaman sekolah: Pantang pulang sebelum vespa Tarno datang. Suara knalpot vespa Tarno membuat kami kalang kabut, karena kami sering mencuri buah belimbing yang selalu diklaim milik Tarno. Sampai saat ini kami sendiri juga belum tahu, siapa orang pertama yang menanam tunas pohon belimbing itu?
"Tarno memang kurang kerjaan, hobi banget ngurusin bola kita." Menthol terlihat marah.
"Iya benar, kita kerjain aja, yuk," usul Danang.
Aku tersenyum pada teman-teman. "Ntar aja pas kita duduk di kelas 5, kita kerjain tu guru sedeng."
Beberapa menit setelah perundingan untuk membalas pak Tarno di kemudian hari selesai, kami setuju untuk membeli bola baru.
Sambil menunggu yang lain membeli bola di pasar, sebagian anak cowok lalu bermain "class football" di mimbar belakang kelas. Gawangnya menggunakan kursi. Di pertadingan ini tidak ada kiper, karena semua pemain bebas bergerak kemana saja. Untuk urusan bola, kami menggunakan bola tenis. Kalau bola tenis tidak ada, kami terpaksa meminjam bola bekel anak perempuan. Kalau pun bola bekel juga tidak ada, kami bermain menggunakan kertas yang digulung menyerupai bola tenis. Kadang kala, kami menggunakan penghapus papan tulis meski berbentuk balok. Meski begitu, kami merasa senang, sebab permainan seperti ini memberikan perasaan bebas.
Tidaklah mengherankan jika kami bermain sepak bola di mana saja dan dengan apa saja, sebab para bintang sepak bola dunia juga melakukan hal yang sama. Lihat saja Skoblar, Salif Keita, Eric Cantona, dan belakangan aku tahu jika si bocah berkaki emas Maradona, atau bahkan Michel Platini juga melakukan hal yang sama. Mereka semua menggiring kaleng bekas dan menendangnya ke gawang bayangan sebelum punya kesempatan bermain di stadion terbaik dunia yang meledak penuh sorak-sorai para penonton.
Setelah bosan bermain class football, beberapa anak laki-laki mulai berjudi dengan bermain monopoli, kartu remi, maupun catur. Aku tidak begitu pandai bermain kartu remi dan catur, maka aku bergabung dengan Doni, Febro, dan Wahyu Hikari yang sedang bermain monopoli di dekat meja guru.
Dengan penuh percaya diri aku pun langsung menantang mereka. "Siapa yang berani melawanku? Kalau aku kalah, aku akan membelikan kalian mie ayam, gimana?"
"Luca, taruhan itu sama dengan judi, dan judi itu termasuk perbuatan setan, itu dosa, tahu!" Wahyu Hikari terus menceramahiku panjang lebar.
"Stop! Ini bukan judi, tapi hadiah!" Aku memotong ucapan Wahyu Hikari. "Apa kalian mau melawanku?" kataku pada Doni dan Febro.
"Huh, terlalu percaya diri. Pasti kamu kalah cepat." Doni ingin sekali mengalahkanku.
"Oke, tapi yang kalah harus berlari mengintari halaman sekolah. Kau berani, kan?" Aku seperti raja monopoli dunia saja.
Doni menggelengkan kepalanya, menyerah sebelum bertanding. Cement sekali!
Sejak demam monopoli menjangkit semua murid di kelasku, dalam beberapa bulan terakhir aku selalu menang dalam permainan dan menjadi bahan perbincangan anak laki-laki. Kalau aku kalah, teman-temanku bertanya, mengapa kalah? Kalau aku menang, mereka pun bertanya, kok bisa menang? Kalah atau menang, aku selalu menjadi bahan perbincangan.