Selama beberapa hari "Luca Erillio yang kalah bermain monopoli dari seorang primadona sekolahan" menjadi trending topik semua murid kelas 4A. Mereka mencemoohku habis-habisan.
Pada hari Kamis, ketika jam sekolah berakhir, aku menggantikan tugas piket Diza. Setelah tugas piket selesai, aku langsung menuju lapangan parkir, namun tiba-tiba saja ada yang memanggil namaku. Duh, gawat. Pulpenku pakai hilang segala lagi, bagaimana jika fansku itu minta tanda tangan? Mana pertanggung jawabanku sebagai idola sekolah ini? Duh!
"Woy brother, dipanggil malah plonga-plongo kayak kebo, gitu."
"Hehehe, itu kamu Riyu? Kirain cewek-cewek mau minta tanda tangan sama aku."
"Sikak, kebanyakan ngayal kamu. Eh, aku mau ngajakin kamu main PS di Pallawa. Denger-denger ada game sepak bola terbaru, lho."
"Hehehe, masa sih?" Aku penasaran dengan omongan Riyu barusan.
"Iya, judulnya Winning Eleven season 2001-2002. Aku yakin kali ini akan mengalahkanmu." Dari dengus napasnya terasa jika Riyu masih dendam gara-gara kekalahan minggu lalu.
Aku pun mengangguk. "Oke, Doni sama Aan gak diajak?"
"Dari dulu kan mereka sudah mengibarkan bendera putih. Gimana sih, Bro?"
Upz, aku lupa jika Doni selalu kalah melawan kami berdua. Sedangkan Aan gak bisa main bola. Hal ini mengingatkanku dengan hukum "sebab-akibat". Seorang anak yang pandai bermain bola, belum tentu pandai bermain playstation, begitu sebaliknya. Bahkan seorang pelatih sepak bola pun, belum tentu bisa bermain bola dan begitu pula sebaliknya. Hmm, sebenarnya penerapan hukum sebab-akibatnya cocok dalam hal ini gak, ya?
Aku dan Riyu pun segera mengambil sepeda di tempat parkir sekolah, lalu kami balapan sampai ke Pallawa.
"Oke, Luca," kata Riyu sambil menatap mataku dalam-dalam ketika kami sudah berada di depan layar kaca sambil memegang stik PS. "Mau taruhan?"
"Apa?"
"Seperti biasa, yang kalah harus bayarin PS dan mentraktir mie ayam."
Aku menoleh ke Riyu. "Oke. Siapkan mental dan uang banyak karena pemenangnya sudah jelas."
"Jangan mimpi siang bolong, gini!"
Ngelihat Riyu bersemangat seperti ini aku jadi penasaran apakah kemampuannya sudah meningkat pesat? Menurut hasil pengamatanku selama beberapa hari terakhir, Riyu jarang main bola setelah terakhir kali kukalahkan secara dramatis. Tapi, aku harus tetap waspada, siapa tahu dia punya senjata rahasia. Meski begitu, aku tetap pede bisa mengalahkannya walau dengan susah payah. Seandainya menang lagi, aku bakal dapat status sosial yang lebih tinggi. Bagiku, kemenangan juga berarti untuk menegaskan padanya siapa yang berkuasa di Wellenk Genk.
Riyu selalu memakai Real Madrid, karena ada Roberto Carlos yang berposisi sebagai wing back, tapi sering dipaksa menjadi striker. Bukan rahasia lagi kalau Roberto Carlos terkenal dengan tendangan samber geledek. Kalau sudah menendang dari luar kotak penalti, 90% gol. Riyu itu penganut sekte 4-3-3 "total football" timnas Belanda, tapi dalam perjalanannya, permainan itu berubah menjadi gaya "kick and rush" ala Premier League, intinya menyerang total. Aku sangat suka dengan gaya bermainnya, karena sangat terbuka. Gaya permainannya juga susah ditebak, punya banyak variasi serangan dan gak monoton.
Sedangkan aku adalah penggemar berat AS Roma dengan gaya permainan "catenaccio" timnas Italia. Aku menerapkan pola 4-3-3 yang kadang bertansformasi menjadi 4-2-3-1 dengan mengandalkan trequartista: Francesco Totti, Marco Delvecchio, dan Vinchenzo Montella, serta didukung penuh oleh sang ujung tombak Gabriel Omar Batistuta. Formasi ini sangat kuat dalam bertahan maupun menyerang.
Tapi semua itu gak begitu penting. Yang penting adalah permainan kita. Kuncinya, fokus dan gak mudah terprovokasi.
"Mau main apa formasi?" Riyu mulai memanas-manasiku.
"Sabar, dong." Aku masih mengatur strategi.