Sepekan sudah aku duduk di samping Dewi, dan aku mulai memahami karakternya. Seorang anak yang sangat serius pada waktu pelajaran dan bisa mengatur kapan waktunya belajar atau bercanda. Seorang anak yang cukup perhatian dengan nilaiku dan mengingatkanku untuk terus belajar supaya nilaiku meningkat. Dia juga sering membantuku memahami kesulitanku belajar Matik dan pelajaran-pelajaran yang tidak kusukai. Dengan sabarnya Dewi menjelaskan sebaik mungkin sehingga aku dapat menangkap apa yang ia maksud. Namun tetap saja, sewaktu ada ulangan, dia tidak mengizinkanku mencontek jawabannya. Arrrggghhh!!!
Bagaimana rasanya duduk di samping Dewi?
Harus kuakui, aku merasa seperti terbelenggu dalam lilitan ular piton. Setiap aku ingin merebahkan kepalaku di meja, Dewi selalu memukul-mukul punggungku. Jika aku tidak bangun, dia akan mencubit punggungku dengan sekuat tenaga, sehingga aku akan langsung bangun karena kesakitan. Tapi aku sadar, semua yang dilakukan Dewi tak lebih karena perintah bu Surti. Dan, aku paham benar soal itu.
Sejujurnya, aku cukup terkejut dengan semua perhatian Dewi. Aku dan Dewi sudah sekelas selama tiga tahun, namun sebelum ini kami jarang berkomunikasi satu sama lain. Mungkin hanya sekedar basa-basi seperti "hai", "selamat pagi", dan perkataan basa-basi lainnya. Oleh sebab itu, seharusnya Dewi tahu apa yang kusukai dan tidak kusukai. Namun menurutku, Dewi adalah anak perempuan yang baik. Seorang anak perempuan yang selalu mengatakan padaku, "Menurutku, kau adalah anak yang pintar jika mau belajar", dapat meluluhkan hatiku. Ia juga tidak pernah terdengar menyombongkan prestasinya. Ketika berbicara dengan Dewi, aku merasa sangat malu dan minder sekali. Rasanya seperti berbicara dengan seorang kakak yang selalu menyemangati adiknya. Seorang kakak yang sangat cantik dan harus dihormati.
Dewi tinggal di Pucang, ujung selatan kecamatan Secang, tempat yang cukup jauh dari sekolah. Namun, Dewi selalu tiba di sekolah lebih awal, di-drop oleh bapaknya di depan pintu gerbang. Lalu, pulang dengan menaiki angkot sekitar pukul satu siang. Terkadang, beberapa kali dalam seminggu, dia dijemput oleh kakak perempuannya menggunakan sepeda motor, lalu pergi untuk makan siang bersama, sebelum dia dipulangkan ke rumah.
Ketika pergantian jam pelajaran, sesekali Dewi bercerita tentang kartun-kartun yang ia tonton. Sialnya, kartun kesukaan Dewi sangat berbeda denganku. Dia menyukai Doraemon, Barbie, Sailormoon, dan sejenisnya. Terkadang aku mendengar ceritanya dengan malas- malasan dan tampak berpura-pura menyukainya. Tapi, sikapku ini malah membuat Dewi semakin bersemangat menceritakan semua itu.
Mengobrol dengan murid pintar ternyata ada untungnya juga. Setidaknya Wahyu Hikari, si ketua kelas, akan mempertimbangkan untuk mencatat namaku di daftar hitam. Sebenarnya, Wahyu Hikari gak tega mencatat namaku dan nama anak-anak yang suka membuat keributan, karena Wahyu Hikari adalah anggota tim Dellio. Status sebagai pencatat daftar hitam bak dua sisi mata pisau. Di satu sisi, ia merasa bersalah padaku dan teman-teman yang masuk daftar hitam. Di sisi lain, dia harus menjalankan amanat dari bu Surti jika tak ingin disebut khianat.
Pagi itu, bu Surti memberitahu jika beliau akan datang terlambat ke sekolah. Dan sebagai gantinya, bu Kepsek mengisi "kekosongan kekuasaan" kelas kami. Bu Kepsek terlihat sangat buas dan menakutkan sekali, seperti ingin memakan sesuatu tetapi tidak ada sesuatu yang bisa dimakan.
Bu Kepsek lalu menulis soal Matematika tentang volume balok di papan tulis dan menyuruh Danang maju ke depan untuk mengerjakan soal itu. Sepertinya bu Kepsek ingin menguji seberapa jauh kemampuan kami memahami apa yang bu Surti ajarkan selama ini.
"Soal mudah saja tidak bisa mengerjakan. Kamu setengah berlutut di luar, berdiri dengan menekuk lutut sampai ada yang bisa mengerjakan soal ini." Wajah bu Kepsek seperti ibu tiri ketika memarahi Danang. "Tunggu," kata bu Kepsek ketika Danang hendak keluar. "Tunjuk salah satu temanmu untuk mengerjakan soal ini."
"Menthol, Bu," ucap Danang lembut.
"Menthol?" Bu Kepsek kebingungan. "Nama yang aneh. Apa yang ada dalam kepala orang tuanya?"
Semua murid tertawa.
"Itu nama julukan, Bu." Danang menjelaskan lalu berjalan keluar.