Dragon Eagle

Luca Scofish
Chapter #12

12. Pencuri Hati

Pertama kali dan terakhir kali aku mengunjungi perpustakaan sewaktu kelas 3, tepatnya pas kartu anggotaku jadi. Akan tetapi, berhubung koleksi komiknya sangat sedikit, maka aku tidak pernah menggunakan kartu itu. Dan sekarang aku ingin menggunakanya untuk pertama kali, siapa tahu dapat inspirasi untuk ngegodain Diza. Upz, ralat dikit, mungkin lebih tepatnya mejelek-jelekkannya.


Pokoknya aku mau cari buku bergenre cinta-cintaan, gombal-gombalan, atau porno-porno-an juga boleh. Semuanya aku mau, terutama yang terakhir aku sebutin.


Saat ini aku sedang berada di dalam ruang perpustakaan. Ruangan itu dibagi menjadi empat dek konter panjang yang cukup berantakan, karena keranjang-keranjang berkawat penuh dengan koran. Pamflet-pamflet warna terang direkatkan di depannya. Ada tiga meja dibalik konter. Suasananya agak sepi, hanya ada beberapa kakak kelas yang terlihat sedang berdiskusi membuat kliping di meja utama. Naluri anak SD memang lebih suka bermain daripada membaca buku. Aku pun disambut dengan senyum manis oleh wanita berkerudung yang menjaga perpustakaan.


"Kamu ke sini mau apa?" tanya wanita paruh baya yang juga berkacamata itu.


"Mau pinjam buku, Bu," jawabku sopan.


"Mau pinjam buku?" Ia mengulangi kata-kataku. Tak disangka lagi, aku akan menjadi topik gosip. Anak nakal dan pembuat onar di kelas keluyuran di perpustakaan? Barangkali hal itu yang ada dipikirannya. "Kamu mau pinjam buku apa?" lanjutnya.


"Emm, buku komik ada, tidak?" tanyaku sambil garuk-garuk kepala.


"Gak ada, lah. Kalau komik yang sekali tenggak batuk reda, saya punya."


"Hehehe, bu Guru ini suka bercanda, ya. Itu komix pake X besar, Bu. Saudaranya mextril dan konidin."


"Hahaha, kamu tahu aja."


"Bu guru waria, ya? Kok ketawanya gitu?"


"Ehm.... maaf, saya lupa." Yaelah, bu Guru juga bisa lupa ternyata. "Jadi, kamu mau pinjam buku apa?"


"Tak lihat-lihat dulu aja deh, Bu."


"Baiklah, tapi ingat jangan bikin gaduh di sini, ya!"


Bikin gaduh? Memangnya aku preman sekolahan apa? Muka innocent gini sudah pasti anak baik-baik, lah. Bu guru payah, ah. "Tapi, kok ada penghapus di rak buku itu? Buat apaan sih, Bu?"


"Oh itu salah satu fasilitas untuk menjaga keamanan dan kenyamanan di perpustakaan ini."


"Maksudnya?" Wah, sepertinya aku harus banyak nanya di segmen ini.


"Jadi begini, Nak. Penghapus itu ditujukan buat jaga-jaga kalau ada yang menganggu para pengunjung. Jadi, kalau ada keributan di perpustakaan ini, saya akan melempar pengapus itu untuk menenangkan suasana."


"Oh, begitu. Baiklah, saya mengerti."


Akhirnya aku pun duduk di bangku paling pojok, arah jarum jam dua dari penjaga perpustakaan. Mudah-mudahan saja tidak ada yang mengangguku, jadi penjaga perpustakaan tidak perlu melempar penghapus untuk menangkan suasana.


Wow, coba lihat apa yang aku temukan. Buku "Cara Mudah Belajar Matematika". Ya, meskipun aku meminjamnya, kemungkinan besar buku itu bakal jarang kupelajari, tapi pencitraan juga penting agar terlihat rajin jika ditanya sama penjaga perpustakaan. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung mengambil buku itu. Di deret rak buku Matematika ada buku "Beranda Wanita".


"Menaklukan hati perempuan bukan dengan kata-kata indah atau bualan-bualan penuh syahdu, tapi dengan perasaan tulus dan penuh kejujuran." Aku membaca kata pengantar di buku itu, lalu tersenyum licik.


"...." Aku menajamkan indra telingaku, karena mendengar suara-suara kecil, manja, dan genit menggemaskan. Aku pun langsung mendekati sumber suara itu. Siapa sih? Kok berani- beraninya cengengas-cengenges di perpustakaan. Gak takut apa dilempar penghapus sama penjaga perpustakaan yang aneh tadi.


Aku mengendap-endap bak James Bond yang sedang menjalankan misi penting.


"...." Aku kaget, mataku melotot hampir keluar. Duo Adidas sedang asyik berduaan sambil membaca buku. Hm, aku baru menyadari kalau tempat ini adalah tongkrongan anak-anak pintar.


Tiba-tiba duo Adidas mulai mengobrol lagi. Berhubung indra pendengaranku sangat tajam, maka dengan cepat aku dapat menangkap inti perbincangan mereka.


"Diza, kau tahu, tidak? Kutu apa yang paling membosankan?" Sepertinya Dasa sedang berusaha menggoda Diza.


"Em, kutu apa, ya? Kutu rambut, lah."


"Salah." Suara Dasa terdengar cukup keras. "Yang benar adalah kutunggu cintamu."


Hueeekkk! Aku serasa mau muntah. Nyebelin banget! Norak banget rayuannya.


"Diza, hari ini kau terlihat sangat cantik. Kau mirip sekali dengan Karena Kapoor." Sial! Si kampret Dasa mulai ngegombal lagi.


"Makasih, Dasa," ucap Diza lembut.


Ih norak banget. Mirip Karena Kuper kali, batinku.


"Oh iya, Diza. Kamu suka minum air putih ya?" Lagi-lagi tanpa malu si kupret Dasa melancarkan aksi gombalnya.


"Hm, kok, tahu?"


"Iya dong, tapi kalau di dekatmu gini, rasa air putih akan terasa seperti air madu, manis banget."


"Ah Dasa, jangan ngegombal mulu, deh." Diza tersipu malu.


"Dasar Dasa kampret!" Aku menggerutu dalam hati. Huh, daripada sakit hati dan menjadi pihak ketiga kayak gini, mending main sama teman-teman aja, lah. Aku pun, melangkah dengan hati-hati, dan.... BRUUKKK!!!


"Aduh! Sakit."


"Luca, kalau jalan hati-hati, dong!" Dewi ngomel-ngomel sambil memungut buku yang berjatuhan.


"Ssstttt!!!" Aku mengatupkan jari ke mulut Dewi yang menganga selebar diameter ring basket. "Jangan keras-keras, nanti bisa dilempar penghapus sama penjaga perpustakaan."


Dewi mengangguk. Aku membantunya memungut buku.


"Luca, ngapain sih pakai jatuh-jatuh segala?" Tiba-tiba Diza berdiri di belakangku.


"Aku gak bisa lihat apa-apa, Diza. Tiba-tiba bayanganku kabur semua."


"Hahaha." Dasa tertawa lebar. "Sepertinya kamu harus mengunjungi dokter mata, Luck."


"Cerewet!" Aku tak terima dengan ucapan Dasa.


Dewi hanya diam saja melihat pertikaian antara aku dan Dasa.


"Tapi, untuk apa kamu bermain-main di sini? Jangan-jangan kamu mengikutiku dan Dasa, ya?" Diza menatapku serius.


"Ih, GR banget kamu." Aku mengelak. "Oh iya, ngomong-ngomong tadi si Dasa bilang kalau kamu mirip Karena Kapoor tuh maksudnya Karena Kuper. Eh, tapi Karena Kuper masih terlalu bagus, lebih cocok mirip Kapur Barus, alias pembasmi kutu, hahaha."


Sebelum Diza marah-marah padaku, aku langsung berlari ke meja penjaga perpustakaan untuk melapor buku yang kupinjam, meninggalkan duo Adidas dan Dewi yang "mati angin" karena ulahku.


Lihat selengkapnya