Musim penghujan telah tiba. Semua murid SD Secang tampak gembira menyambut air hujan pertama setelah musim kemarau yang panjang. Kami berlari dan berseliweran menyibak genangan-genangan air di halaman sekolah untuk bermain betengan, lompat tali, maupun somprengan.
Kegemberian kami, anak-anak nakal kelas 4A, sirna tatkala bu Surti membagikan hasil ulangan IPA minggu lalu. Hasil ulangan itu masih dianggap buruk meski bu Surti sudah mengatur tempat duduk antara siswa-siswi secara berpasangan.
Dari dulu sampai sekarang dan mungkin sampai masa depan, nilai adalah hal penting yang menjadi tolok ukur penilaian guru terhadap muridnya. Jika seorang murid berbakat di bidang olahraga seperti: sepak bola, basket, dan lain-lain, kalau nilai mata pelajarannya buruk, akan dicap "pemalas", atau "tidak bertanggung jawab". Begitu pun sebaliknya, jika seorang murid memiliki nilai yang baik, meskipun ia tidak pandai dalam hal lain, sudah dianggap gurunya sangat hebat hingga ia dinobatkan sebagai anak emas para guru. Hal ini benar-benar tidak adil, karena kemampuan seseorang berbeda-beda, bertingkat-tingkat, satu dengan yang lainnya tak bisa disamakan. Kemauan orang pun juga berbeda-beda, bermacam-macam, satu dengan yang lainnya tak bisa disatu-padukan.
"Nilai 95, ya? Numpang tanya mbak Diza, apakah anda pernah mendapatkan nilai 50 ke bawah?" Aku duduk di atas meja Diza sambil menyodorkan pena ke arah bibirnya, seperti wartawan yang sedang mewawancarai narasumber.
"Jangan norak deh, Luck. Bombongan sekali!" komentar Diza tidak mencerminkan sikap seorang murid teladan.
"Huh, kau ini benar-benar seperti Mak Lampir, ya? Cerewet sekali!" ejekku.
"Luca, kalau kau rajin belajar, kau juga pasti bisa sepertiku." Diza menatapku serius.
"Maaf, tapi aku tidak mau sepertimu. Sebab, kita berbeda. Aku cowok dan kamu cewek, oke?" Aku ngakak, sedikit pun tidak merasa malu.
Rasa percaya diri yang tinggi memang sangat berguna untuk menarik perhatian siapa pun dan membuat kita terlihat menarik.
Beberapa menit setelah bel berbunyi, pak Junaedi, guru agama kami tiba-tiba memasuki kelas 4A. Dari tempat beliau berdiri, di depan mimbar kelas, matanya terlihat mencari-cari seseorang.
"Semua ini benar-benar kelewatan. Siapa yang sebenarnya menulis judul doa ini?" Pak Junaedi menunjukkan stopmap berwarna hijau tua bertuliskan 'Doa Nguntal Wedhus Gembel'. Itu adalah doa yang biasa kami panjatkan sebelum memulai pelajaran.
Semua murid memperhatikan tulisan doa tersebut, kemudian saling bertukar pandang. Suara bisik-bisik pun mulai terdengar. Tak lama kemudian, semua orang menatapku, meminta konfirmasi.
"Itu bukan tulisan saya, Pak. Tulisan saya bagus, gak jelek kayak cakar ayam gitu." Aku menatap pak Junaedi sungguh-sungguh.
Kemudian hening.
"Tidak ada yang mau mengaku, ya?" Urat-urat di leher pak Junaedi mulai menegang.
Hening lagi.
"Kalian benar-benar ingin membuat saya marah, ya? Ini termasuk penistaan agama! Kalian silahkan berbaris di halaman sekolah sampai pelajaran selesai. Kalau sampai nanti tidak ada yang mau mengaku, dengan sangat terpaksa saya akan menghukum kalian lagi." Pak Junaedi marah besar, tangannya mengepal.
Di bawah terik sinar matahari, semua murid berdiri tegak di halaman sekolah. Merasakan semilir angin yang bertiup membawa bau hijau dedaunan sebetulnya tidak terlalu buruk, tapi jika kelamaan di sini, kulit kami bisa melepuh akibat pancaran sinar UV.
"Bajigur! Kenapa gara-gara perbuatan satu orang malah kita semua yang menerima akibatnya." Menthol tidak terima. Ia marah hingga napasnya terengah-engah.
"Benar! Ini tidak adil. Kita harus menemukan pelakunya!" Danang menggerutu sambil menatap aku dan Riyu. "Apa kalian berdua pelakunya!" tambahnya, menuding aku dan Riyu. Benar-benar licik dan picik!
"Jaga omonganmu! Kamu jangan menuduhku sembarangan!" Aku tidak terima dituduh seperti ini.
"Dasar lambe lamis! Jaga tu mulut!" Riyu ikut-ikutan marah.
"Sudahlah teman, kita ribut-ribut juga gak ada gunanya. Sekarang kita diskusikan masalah ini dengan kepala dingin dan sama-sama mengumpulkan bukti untuk mencari tahu siapa pelakunya," ujar Doni dengan santainya. Doni memang selalu santai menjalani hidupnya.
"Benar apa kata Doni. Intinya jangan menuduh sembarang tanpa ada bukti. Ingat kata pak Ustad, fitnah lebih kejam daripada pembunuhan." Wahyu Hikari berkata bijak.
Kami semua kepanasan akibat sengatan sinar matahari. Kami juga kelelahan berdiri terus menerus. Karena lelah, sebagian dari kami memutuskan untuk duduk lesehan di lantai. Kami sangat bosan dengan semua ini sehingga kemudian bermain tebak-tebakkan untuk mengusir rasa bosan dan menghibur yang lainnya.
"Teman-teman...." Tiba-tiba Diza memanggil kami. "Aku yakin bukan anak dari kelas kita pelakunya."
"Aku juga yakin," kata Dasa dan Vina hampir bersamaan.
"Aku lebih yakin lagi." Aku pun ikut-ikutan.
Yang lainnya juga ikut-ikutan.
Teman-temanku memang jago ikut-ikutan. Awas aja kalau suatu hari nanti mereka tidak mau ikut aku menceburkan diri ke sumur, bakal tak jadiin semur jamur, hahaha.
Beberapa menit kemudian, kami membentuk sebuah lingkaran untuk mendiskusikan masalah ini.
"Kalian lihat baik-baik tulisan ini." Diza menaruh kertas doa itu di tengah-tengah lingkaran.
Semua pasang mata lantas tertuju pada kertas. Semuanya berusaha menganalisa kertas itu dengan penuh konsentrasi.
Aku sok-sok-an berpikir sambil meraba tekstur tulisannya. "Hm, tintanya tebal, tulisannya pakai huruf latin kayak adekku."
"Luca," kata Riyu. "Jangan-jangan adekmu pelakunya."
"Gak mungkin lah. Adekku gak sekolah di sini, goblok!"
Teman-temanku celingak-celinguk gak jelas melihat kekonyolan Riyu. Lalu, mereka meneriaki Riyu. Di saat-saat genting kayak gini, kami pun masih bisa bercanda satu sama lain.