Aku hampir luput menyaksikan kedatangan si orang asing pagi itu.
Aku suka tidur sampai siang, meski jarang melakukannya. Bangun tidur berarti bangun pagi. Bahkan, pada hari-hari ketika aku harus mengikuti pelajaran, ibu dan bibi-bibiku melimpahiku dengan pekerjaan rumah yang mesti kubereskan dahulu. Membersihkan unit-unit hidroponik di sebelah rumah kubah kami. Membuat sarapan ala kadarnya dari segelintir tumbuhan sayur kami yang memilukan dan memastikan agar bumbunya cukup demi memuaskan keempat bibiku. Mengecek penyaring udara supaya tidak tersumbat debu yang masuk ke mana-mana.
Kehidupanku di Jinju menjemukan. Aku menghitung hari sampai menginjak usia lima belas. Tinggal dua tahun lagi, kemudian aku bisa mengikuti ujian masuk Pasukan Antariksa Seribu Dunia dan meneladani jejak kakakku, Jun, sebagai abdi masyarakat. Hanya karena itulah aku termotivasi untuk terus maju.
Namun, pada hari ketika si orang asing datang—yah, hari itu berbeda.
Aku bergelung di balik selimut tipis, bersikukuh untuk tidur terus meskipun sinar terang sudah mulai merembes masuk melalui jendela. Kemudian, dengkuran sepupuku yang tertua, Bora, menjadi terlampau keras sehingga tidak bisa diabaikan. Aku sering kali berharap punya kamar sendiri, alih-alih sekamar dengan tiga sepupuku. Terutama karena Bora mendengkur senyaring naga. Kutendang dia dari samping. Dia mendengkus, tetapi tidak bangun.
Kami semua tidur beralaskan kasur usang yang sama, warisan dari nenek moyangku yang merupakan pemukim generasi pertama di planet ini. Sulamannya dahulu bergambar burung kucica dan bunga, yang merupakan simbol keberuntungan. Sepanjang tahun demi tahun yang berlalu, sebagian besar benang telah terburai sehingga gambar-gambar tersebut menjadi tidak jelas. Sewaktu kecil, kutanya ibuku apa sebabnya dia tidak menggunakan Mantra untuk memperbaiki kasur. Dia memandangiku dengan galak, lalu menjelaskan bahwa dia harus memermak ulang tiap hari begitu efek sihir memudar—barang kurang rentan terhadap Mantra, berbeda dengan manusia.
Aku buru-buru tutup mulut karena tidak mau ibuku menambahkan itu ke tugas harianku. Untung saja ibuku secara umum anti terhadap Mantra, maka pembicaraan tersebut tidak berlanjut.
Seumur hidup, aku diperingatkan agar tidak menunjukkan sihir rubah yang menjadi warisan kami. Kami hidup sambil menyamar sebagai manusia dan jarang menggunakan kemampuan untuk berubah wujud atau Memantrai orang. Ibu bersikeras agar kami bertingkah laku selayaknya gumiho baik-baik yang beradab demi menghindari konflik dengan sesama pemukim tetap, yaitu warga yang berdiam secara permanen di Planet Jinju tanpa bisa ke mana-mana. Pada zaman dahulu, rubah kerap berbuat iseng dengan berubah menjadi manusia cantik untuk memikat musafir kesepian dalam rangka mengisap saripati kehidupannya. Namun, keluarga kami tidak melakukan itu.
Prasangka lama yang tidak kunjung luntur itu menjengkelkanku. Kaum supernatural lain, seperti naga dan goblin serta shaman, bisa unjuk kemampuan sihir secara terang-terangan dan bahkan dipuji karenanya. Naga menggunakan sihir cuaca untuk tujuan pertanian dan teraformasi—transformasi planet—yang memakan waktu. Goblin, dengan topi tak kasatmatanya, dapat bertindak sebagai agen rahasia; kemampuan mereka menyulap makanan dengan tongkat sihir juga bermanfaat. Shaman berperan esensial dalam berkomunikasi dengan leluhur dan roh-roh, tentu saja. Namun, kami, kaum rubah—reputasi jelek kami tidak kunjung terhapuskan. Paling tidak, sebagian besar orang mengira kami sudah punah dewasa ini.
Menurut pendapatku, menggunakan kesaktian di rumah bukan perkara besar. Kami jarang kedatangan tamu—hanya ada sedikit pengembara yang datang ke Planet Jinju. Menurut legenda, kira-kira dua ratus tahun lalu, seorang shaman seharusnya merampungkan teraformasi kami dengan Mutiara Naga, bola mistis yang bisa menciptakan kehidupan. Namun, dalam perjalanan ke sini, sang shaman dan Mutiara itu hilang. Aku tidak tahu apakah cerita tersebut benar adanya. Aku hanya tahu bahwa Jinju sudah miskin dan diabaikan oleh Dewan Naga selama bergenerasi-generasi.
Selagi menanggalkan lelap dengan enggan pagi itu, aku mendengar suara orang asing dari ruangan lain. Mula-mula, kukira salah satu orang dewasa sedang menonton acara holo—mungkin kabar galaksi dari Balai Mutiara—dan mengeraskan volume terlalu kencang. Kami selalu saja mendengar laporan mengenai aksi penyerbuan Dunia Manikam dan upaya heroik Pasukan Antariksa untuk melindungi kami dari para perompak, sekalipun Jinju terlampau jauh dari perbatasan sehingga tidak pernah mengalami serangan semacam itu. Namun, suara dari unit holo kami selalu patah-patah karena gangguan listrik statis. Suara kali ini tidak.
Suara itu juga bukan dari tetangga kami. Aku kenal semua orang yang tinggal dalam radius sejam perjalanan naik skuter. Aku sontak duduk tegak dan berkonsentrasi, tetapi bukan semata-mata karena aku tidak mengenali suara tersebut, yang bernada dalam dan mulus. Tak seorang pun di lingkungan kami berbicara seformal itu.
Apa kami bermasalah dengan pihak berwenang? Jangan-jangan ada yang mengetahui bahwa siluman rubah bukanlah mitos. Suara si orang asing mencetuskan rasa takut yang sudah sejak kanak-kanak terpendam dalam diriku—rasa takut ketahuan.
“Informasi yang Anda dapat pasti salah.” Itu suara Ibu. Dia kedengarannya tegang.
Kini, aku benar-benar mulai khawatir.