Aku mundur dari pojokan sebelum Ibu melihatku, menunggu beberapa saat, kemudian keluar untuk menyapa mereka berdua. Hidungku lagi-lagi gatal dan aku mesti menahan diri supaya tidak bersin. “Ya, Bu?” kataku, pura-pura tidak habis menguping percakapan mereka.
Ibu secara singkat menerangkan situasi kepadaku. “Pria ini membawakan pesan dari Jun,” katanya. “Dia ingin kau memberitahunya kalau-kalau ada yang tidak lumrah dalam pesan Jun.” Aku bisa mendengar nada skeptis dalam suaranya.
Aku mengangguk muram kepada si penyelidik, sebal karena dia menuduh Jun melakukan desersi. Namun, segi positifnya adalah, pria ini sepertinya tidak tahu bahwa kami rubah.
“Saya mohon izin untuk melihat pesan tersebut,” kataku, mengingatkan diri untuk berbicara secara formal.
Si penyelidik memandangiku. Andaikan dalam wujud rubah, kupingku pasti sudah merapat rata ke kepala. Ekspresinya tidak meremehkan, berbeda dengan dugaanku sebelumnya. Sebaliknya, aku merasa pria itu sedang menilaiku. Dan, sekarang aku bisa membaui kecurigaannya. Apa dia mengira aku sedang menyembunyikan sesuatu?
Dia mengeluarkan papan-data dari saku, mengetuk benda itu, dan menunjukkan pesan yang dicap dengan segel Jun—tidak aneh-aneh, hanya namanya yang ditulis dengan kaligrafi sederhana.
Aku merengut, dalam hati merutuk karena mereka menggeledah korespondensi pribadi kakakku, tetapi saat ini aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Halo Min,
Jangan bilang-bilang Bora, tapi pekerjaan di kapal tempur sini lebih banyak daripada di rumah. Aku tidak sabar menantikan cuti pertamaku. Banyak sekali yang ingin kuceritakan kepadamu. Aku mendapat banyak teman baru di sini. Kami bersama-sama menjelajahi dunia baru, sama seperti Ayah. Teman-temanku terkadang membantuku mengerjakan tugas juga. Sudahkah kusebut bahwa di sini banyak pekerjaan?
Salam sayang,
Jun
Aku mengerjap cepat. Aku tidak sudi menangis, apalagi di depan si orang asing. Aku menyerahkan papan-data itu kepada Ibu supaya dia bisa ikut membaca. Jun jarang berkirim surat. Seribu Dunia tidak memiliki teknologi komunikasi yang lebih cepat dari cahaya, maka semua pesan antarbintang harus diantarkan oleh kurir. Aku pedih membayangkan bahwa pesan ini mungkin merupakan kabar terakhir yang akan kami terima dari kakakku. Si penyelidik pasti keliru.
Walau begitu, isi pesan memberiku harapan. Betul bahwa surat tersebut mengandung pesan rahasia. Semasa kami tumbuh besar, Jun tidak pernah mengeluh perihal tugas-tugas rumah tangga. Dia hendak memberitahuku bahwa ada yang tidak beres. Siapa “teman-teman” yang dia maksud? Benarkah mereka adalah temannya, atau sejatinya biang onar yang menjadi rekan sepergaulannya? Kenapa dia tidak menyebut satu pun nama mereka?
Yang paling mengkhawatirkan, dia menyinggung-nyinggung soal Ayah, padahal ayah kami sudah meninggal tujuh tahun lalu, ketika usiaku baru enam tahun. Terlebih lagi, dia tidak pernah menjadi penjelajah. Menurut Ibu, Ayah adalah teknisi mumpuni. Jun hendak menyiratkan apa? Dan, seberapa banyak informasi ini yang ingin kusampaikan kepada si penyelidik? Aku tidak memercayai pria itu. Bagaimanapun, aku tidak tahu apa-apa tentang dirinya maupun motifnya. Namun, jangan sampai aku terlalu kentara mengakali pria ini karena bisa-bisa keluarga kami kesusahan karenanya. Jika dia memutuskan untuk menyelidiki kami lebih lanjut, rahasia kami—bahwa kami adalah siluman rubah—bisa-bisa terbongkar.
Aku terlalu lama ragu-ragu. “Min,” kata si penyelidik dengan suara yang kelewat tenang, alhasil meresahkan, “ada yang bisa kau beri tahukan?”
“Dia hanya mengeluh,” kataku, berusaha sebaik-baiknya agar tidak terkesan enggan—atau cemas.
Si penyelidik menatap mataku. “Cerita selengkapnya bukan cuma itu, ‘kan?”
Aku tidak mau mengadukan Jun kepada sembarang orang asing. “Saya tidak mengerti maksud Anda.”
Aku membaui bahwa Ibu semakin khawatir. Dia ingin aku bertindak, tetapi dengan cara apa?
“Banyak petinggi yang tertarik kepada Mutiara Naga,” kata si penyelidik, seolah kemungkinan itu tidak terpikirkan olehku. “Kalau Mutiara itu muncul, benda itu wajib diambil oleh Pasukan Antariksa dan bukan oleh sembarang orang.”
Aku memahami kenapa harus begitu. Menurut legenda, Mutiara dapat mengubah seisi planet dalam sehari. Naga mengontrol sihir teraformasi, tetapi metode itu relatif kurang cepat dan efisien—beregu-regu pekerja terlatih mesti banting tulang bertahun-tahun untuk menjadikan dunia betul-betul subur dan dapat dihuni. Warga Jinju pada khususnya, termasuk aku, menyadari hal tersebut. Jun juga.
Jantungku mencelus begitu teringat alasan Jun sehingga memutuskan bergabung dengan Pasukan Antariksa. Aku ingin belajar supaya bisa membantu Jinju, supaya semua orang bisa hidup lebih enak di sini, demikianlah dia memberitahuku, lebih dari sekali.