Hari di bulan Maret ini berkilau seperti petir di balik awan, menghelakan pelipis dan rambut di kepala anak itu sampai bercucuran keringat. Manakala matahari jatuh di tempatnya berdiri sebegitu lunglai, muncul bertitik-titik penyesalan yang membekap dadanya sampai mampat. Muncul kegetiran di telinganya yang dangkal, sewaktu terngiang-ngiang teriakan Ayah padanya dengan mengumbar kekesalan yang tak terduga.
Sekarang ia tak mengerti apa yang harus dilakukannya untuk mengenyahkan titik penyesalan yang meluber ke tanah yang dipijaknya itu. Kecuali diam seperti orang yang tak punya kaki untuk melangkah. Tubuh anak itu seolah-olah terjerat seperti tubuh orang yang merana, dan hilang daya kendali diri—terseret dalam penyesalan yang menyergap dari segala arah, tanpa mampu dibendungnya karena kakinya tak bisa menyepak. Kepalanya seolah-olah tertindih oleh jaring laba-laba yang baru saja menimpa dari langit, dan ia berupaya bangkit dari jerat meski sia-sia. Tubuhnya dengan kuat terlilit oleh labirin.
Tokoh cerita kita yang sebenarnya sosok yang gagah ini, yaitu Bara, terus menggeliat agar bisa bebas dari impitan penyesalan. Penyesalan membuat mulutnya sesak oleh dada yang mampat, sementara jaring perangkap pada rambutnya bertambah kusut. Ia terbelit oleh kebingungan yang dahsyat mendera.
Saya harus bagaimana agar bisa bebas dari perasaan menyesal yang menekan saya dengan pedih ini, bagai terombang-ambing dalam keraguan yang cetek, ucap Bara kepada diri sendiri. Tetap belum tersedia jawaban yang memuaskan dahaganya.
Sesekali seperti kejadian yang pernah menimpa anak itu—yang keliru ketika ia bertindak ceroboh, sungguh tak pantas kalau berulang. Sementara khayalan palsu tentang kesenangan yang akan menghampiri dengan menghilang dari rumah—bisa saja berbalik arah, bahkan berbeda dari kenyataan yang dihadapinya.
Telinga Bara kembali mendenging, membawa ingatan akan kata-kata Barumunsati sewaktu melarang pergi meninggalkan rumah, tapi ia membangkang dengan mengabaikan perintah itu. Tentu saja membuat pertentangan di antara mereka kian sengit. Sekarang ini muncul hantu-hantu penyesalan yang sebegitu menyiksa, merasa bersalah telah membuat Barumunsati dongkol, kecewa, dan marah. Ingatan ini mengakibatkan anak itu hilang daya kendali atas kecerdasan, seperti orang bloon yang terkapar di tempat yang jorok.
“Seandainya kamu nggak mau mendengar petuah Ayahmu, nanti kamu kena dera penyesalan yang menimbulkan celaka, tersangkut oleh orang yang mau berbuat bejat kepadamu di sana,” kata Barumunsati begitu Bara melengos pergi, seolah-olah paham ke mana tempat menuju anaknya, yaitu ke tanah lapang yang berpagar kawat berduri.
“Sabar, Ayah. Bara hanya mau cabut sebentar saja. Jangan memelihara prasangka buruk. Saya mau pergi sekejap waktu untuk melepas jenuh saat terkurung oleh pelajaran sekolah yang begitu membosankan,” teriak Bara sambil beranjak dari Barumunsati, seolah-olah mau membawa pergi kegalauan hatinya.
“Ayah sudah dapat menebak, sebab biasanya kamu pergi tak cukup sebentar. Pastilah kamu mau menghilang ke tanah lapang itu lagi, dan akan mengeram cukup lama di sana,” teriak Barumunsati dengan nada kesal. “Tapi…, kamu pergi dengan siapa ke sana, Nak? Siapa pula orang yang mau menjadi temanmu bermain di sana, kan hari masih siang.”
“Ada. Saya tak akan sendiri di sana.”
“Entahlah kalau memang begitu kemauanmu. Kenapa kelakangan ini kamu makin keras kepala kalau Ayah mengingatkan kamu.”
“Percayalah dengan janji saya, Ayah, sekali ini Bara hanya mau pergi sekejap dengan bergegas. Pegang omongan Bara. Saya ada janji yang memang harus saya penuhi, dan menepatinya di sana. Kalau tidak pergi sekarang akan membuat kecewa,” jawabnya sambil berlari.
“Kenapa untuk menunggu sebentar saja kamu begitu menggesa?”
“Ayah juga orang yang sulit untuk mengerti kemauan anak!”
Barumunsati dengan gerakan yang berat tapi tetap berupaya kelihatan lincah, berusaha gigih untuk mengejar putranya, dan mau menghelanya. Tapi langkah kaki anak itu lebih sigap daripada langkah kaki si Ayah yang tertahan oleh rasa capek dan sekaligus kecewa.