Cuaca masih gerah sewaktu matahari menyirami bangku kayu yang berjejer di pinggir jalan, menyirami pohon yang terhuyung oleh embusan angin, serta menyirami orang-orang panik yang melintas dengan lagak santai. Petir tak lagi menyalak di balik awan, hanya suasana riuh yang terdengar selintas di sana.
Bara terkesima dengan cuaca gerah yang menyiraminya, sewaktu ia menimbang-nimbang lagi untuk menyelinap ke tanah lapang dengan tujuan menghindar dari orang jahat yang barangkali akan mengenali kesendiriannya. Tapi tanah lapang itu masih kosong dari kehadiran pengunjung yang biasanya ramai oleh orang dengan beragam kegiatan. Ya, tanah lapang masih kopong seperti dadanya yang juga kopong.
Selama ini anak itu sudah paham bagaimana cara yang tepat untuk menyelinap ke tanah lapang, yaitu menyingkap pagar kawat berduri yang menganga, atau menyibak ujung yang berkarat. Dari pengalaman yang lalu sewaktu orang-orang menyusup ke dalam, bukan berarti mereka selalu aman dari kemungkinan tergores, apalagi kalau mereka bertindak ceroboh. Kalau ada yang bertindak sembrono bisa celaka akibatnya, sebab jarak antara satu lajur kawat berduri dengan lajur kawat lain begitu dekat. Begitu rapat. Begitu bahaya. Karena itulah orang harus punya kiat yang cerdik untuk menyingkap kawat berduri ke atas dan ke bawah dengan tangan yang berbeda, lalu tersirat ruang menganga untuk menyelinap ke tanah lapang—kalau mau terhindar dari cedera.
Jika bertindak dengan sembrono alamat celaka sekiranya pagar kawat berduri menggores kulit tubuh sampai pedih, yaitu tatkala orang memaksa diri ke dalam dengan tergesa-gesa, atau abai akan keselamatan diri sendiri. Apalagi seandainya ujung lancip pagar yang karatan sampai menusuk bagian daging tubuh. Luka oleh kawat yang berkarat dapat menyebabkan tetanus yang berbahaya bagi kesehatan tubuh, begitu khayalan Bara, seperti yang pernah terjadi pada temannya Yaskur. Gejala tetanus seperti otot leher yang kaku, atau gejala demam, dapat jadi sumber penyakit yang berbahaya, bahkan menghilangkan nyawa seseorang kalau sampai lalai dengan membiarkan luka oleh kawat berduri yang karatan.
Suatu hari Bara pernah mendapat hikmah dari omong-omong dengan orang gedean di sana, bahwa tetanus adalah infeksi bakteri yang begitu potensial mempengaruhi saraf seseorang. Bagi orang yang terluka oleh benda berkarat dan membiarkan luka sampai lama, keselamatan jiwanya dapat terancam, apalagi kalau terserang infeksi penyakit oleh bakteri clostridium tetani dengan gejala kejang-kejang seperti pada perut korban.
Sewaktu Bara berupaya mengenyahkan kegalauan, ia merasa ada orang yang membuntuti langkah kakinya dari rentang jarak yang jauh. Tapi orang yang membuntuti itu bukan Barumunsati. Bukan pula Harrisbah. Ia pun berupaya menepis perasaan galau agar lepas dari sikap ragu-ragu. Acuh tak acuh dengan keadaan pada tempat sekarang berdiri sambil menguatkan tekad sendiri. Jangan sampai terkecoh oleh perasaan melankoli sewaktu membangkang pada Barumunsati. Apa pun yang terjadi di sana nanti akan saya hadapi dengan berani, saya mau membuktikan larangan Ayah betul-betul keliru, ucapnya di dalam hati, sekadar upaya menghibur diri sendiri.
Dengan gerak tangan yang waswas ia menyibak kawat berduri, dan betul saja, ia meloloskan tubuh ke dalam seperti sosok yang sudah piawai cara memasukkan jarum ke lubang tungkai bawah. Sesampai di tanah lapang ia mengamati keadaan sekeliling, dan menatapi bagian pinggir tanah lapang dengan pandangan yang kopong. Mencoba mengurai perasaan yang mengganggu seperti ada gangguan oleh panu yang menempel pada wajahnya. Jangan-jangan memang ada ancaman bahaya yang menanti saya di sini, tapi akan saya lawan dengan gagah berani, enggan kompromi dengan kejahatan, pikirnya lagi berandai-andai.
Ia pun membayangkan kalau pemilik tanah lapang ini tiba-tiba datang ke sini dengan marah-marah. Membayangkan perasaan yang mencekam oleh kata-kata peringatan Barumunsati—membekas begitu dalam, dan kini berjuang untuk mengenyahkan.
Kemudian Bara beranjak ke dekat pohon jambu bol. Iseng-iseng berharap akan menemukan buah jambu yang jatuh di tanah, seperti menemukan kehidupan yang segar di sana, atau sekadar menghibur diri dan sekaligus menyangkal titik penyesalan. Matanya mengamati ke sekeliling batang pohon jambu bol seperti lagak orang yang berhari-hari belum makan apa pun.
Ternyata tak satu pun buah jambu yang matang dan jatuh ke tanah, tergeletak di bawah ranting dan daun yang rimbun. Ternyata rasa lapar belum sepenuhnya lenyap dari bayangannya. Ternyata rasa masygul juga belum hilang sama sekali dari relung hati yang tergoda untuk mencari tahu segalanya di sekeliling.
Di sana hanya daun jambu bol yang berserakan di dekat batang pohon, sebagian daun telah kering, dan berderak bunyi daun saat terinjak oleh kaki yang melangkah dengan tergesa-gesa.
Bara berjalan lagi, bergegas meski dengan langkah kaki yang letoi. Bunyi daun kering masih berderak saat terinjak oleh kakinya. Begitu pula dengan perasaan waswas, belum sepenuhnya lenyap, tapi muncul seperti bunyi daun kering yang berderak. Ia mengendap-endap ke dekat tanaman singkong dengan sikap waspada sewaktu menyadari bayangan melintas dengan liar di sini. Matanya berkedip berkali-kali seperti ada yang mengganggu penglihatan. Makin terasa ekor mata orang yang membuntuti langkahnya dari jauh. Penciumannya seolah-olah membaui tubuh orang yang membuntuti dengan mata awas terhadap perbuatannya. Tapi itu kan hanya godaan dari perasaan, ucap Bara di dalam hati, sekadar menghibur diri. Tak selalu perasaan yang datang itu adalah hasil dari bisikan nurani yang bersih, tapi bisa jadi dari bisikan Iblis yang membuat rongga dada jadi waswas, gumamnya lagi.
Benar saja. Beberapa menit kemudian berlalu. Sorot mata Bara memergoki seseorang dari rentang jarak yang sulit ia perkirakan dengan tepat, dan orang itu menoleh ke kiri dan ke kanan seperti lagak jagoan mengendus seteru. Orang itu mau menyelinap ke tanah lapang ini dengan waswas terhadap kemungkinan cedera. Tubuh orang itu membungkuk untuk bisa lolos ke dalam, dan segera mengibaskan lengan yang terkena tusukan pagar kawat berduri. Kemudian jari tangan kiri orang itu menyapu bekas tusukan dengan air ludah sendiri.
Bara mengamati orang itu seperti membawa sesuatu yang tersembunyi, bentuknya karung plastik yang berada pada tangan sebelah kanan.
Bara mengingat-ingat sesuatu yang jauh dari masa lalu, meski ia tetap mengalami kesukaran untuk mengenali wajah orang asing itu. Dari jauh pula wajah orang itu kelihatan samar-samar bagai bayangan melintas. Orang itu mengendap-endap dengan langkah ragu-ragu, mendekat ke arah tempat Bara duduk bersembunyi di balik pohon besar. Kemudian orang itu mendekat ke tempat tanaman singkong, ke tempat anak itu bersembunyi, dan dalam khayalannya—orang asing itu begitu berbahaya kalau mendapat peluang berbuat kejahatan.
Bara memanggil ingatannya kembali dari masa lalu, tapi ia makin yakin, bahwa selama ini—belum pernah melihat tampang orang asing itu di tanah lapang ini. Mungkin orang yang menyelinap ke tanah lapang ini adalah orang baru yang masih membutuhkan kawan bermain seperti saya, pikir Bara menduga-duga, sekadar menghibur kegundahan.
Sekarang ini Bara berlindung sambil melipat tangan di balik batang pohon yang besar, meski ia yakin kalau orang asing itu akan menemukannya. Kalaupun ada orang yang menemukan, ia akan tetap duduk dengan napas tertahan di dada, dan begitulah cara menenangkan diri, sekaligus buat mengusir penyesalan.
Dengan gerakan kaki yang cepat seperti ular merayap di tanaman semak belukar, orang asing itu bertatih-tatih menuju ke sumur, menyauk air dari dalam timba, dan mereguk bagai orang yang belum minum seharian. Setelah tenggorokan basah dan rasa haus lenyap, dia menyeret kaki ke arah pohon jambu di sana. Bara yang berada di belakang pohon yang berbeda, tidak bergerak barang sejengkal pun. Tapi dengan mudah orang itu memergoki, berlagak seperti ahli yang sudah dapat menebak sosok yang ada di dekatnya hanya dengan mencium bau tertentu.
Mata orang itu pun melotot dengan sorot tajam yang bengis, dan menakutkan bagi kelelawar sekalipun. Mulutnya hampir menganga, tapi terkatup lagi. Kepala anak itu tertunduk, tapi hatinya bergolak. “Perbuatan tersembunyi apa yang sedang elo lakukan di sini?” teriak orang itu, tapi suaranya seperti tertahan di tenggorokan. “Elo sengaja mau mengintai gua dengan cara mengumpet segala, kan!”
Anak itu berkecamuk dalam ketakutan, tapi diam saja pada tempatnya berlindung dengan berjongkok. Ia terbelit di tempat yang sepi itu, dan enggan meladeni pertanyaan lebih lanjut, meski dada bergolak untuk melawan sebisanya. Lagi pula tak ada keharusan baginya menjawab pertanyaan orang asing, kecuali bersikap waspada terhadap bahaya yang dapat menyergap tiba-tiba. Jangan-jangan orang ini akan melukai saya dengan celurit tajam yang dibawanya, tapi jarak saya dengannya masih ada ruang untuk bergerak, mengelak dari tusukan, ucap Bara dalam hati.
Bara berupaya menyembunyikan perasaan kecut dengan bersikap tenang, seperti lagak orang yang menyepi, dan menyendiri. Bersikap cuek dengan membungkam mulut sampai rapat—bahkan seekor nyamuk pun sulit untuk masuk ke dalam mulutnya.
“Elo sembunyi di balik batang pohon supaya rahasia perbuatanmu lenyap dari pandangan orang lain kan, bocah tengil,” kata orang itu lagi dengan suara keras, seolah-olah kesal karena sikap cuek dari anak yang terperangkap oleh pertanyaan. “Sengaja elo sembunyi buat menyamar, kan.”
Dari jarak dekat Bara dapat melihat mata orang itu melotot lagi, dan kian menyadari kalau seterunya memiliki tubuh yang tinggi dengan badan tegap. Rambutnya agak gondrong. Tatapan matanya menusuk ke jantung dengan licik, dan jantung anak itu hampir mau copot oleh ketakutan. Orang itu terkesan sebagai sosok laki-laki yang keras, apalagi tatkala ia menatap wajah Bara seperti mata pisau yang tumpul.
Bara mengendus bahaya yang mengancam tubuh—sekiranya ia lengah. Orang itu belum mau surut dengan gertakan yang lugas dan picik.
“Lantas apa saja perbuatan rahasia yang telah elo lakukan di kebun ini dengan menyendiri, sengaja mengasing dari penglihatan orang seperti gua, hei?” bentaknya lagi.
“Saya menyendiri karena menunggu seseorang, Om,” jawab Bara dengan gugup, sekadar menyembunyikan keadaan galau. “Saya sengaja di sini, sekadar menunggu kedatangan teman baik saya kok.”