Dengan langkah bergegas orang yang bertubuh tegap meninggalkan Bara, sementara anak itu berjongkok di dekat pohon besar yang mendekapnya dari panas matahari. Orang itu bergegas ke tengah lapangan dengan sorot mata menyala. Tersirat ia kecewa dengan keadaan di sana, kecewa juga terhadap dirinya.
Sekali ini orang itu berbalik arah, mendekat kembali ke Bara dengan tatapan mata masih menyala, tapi menyempil senyum culas di bibirnya. Bara kembali menundukkan kepala, meski hatinya berontak, dan mulutnya mau berteriak,"Tuduhanmu sama sekali tak berdasar, terselip nada berkelit akan kepalsuan di dalamnya, atau sekadar melempar tudingan kosong." Tapi kata-katanya hanya terapung-apung di mulut, terngiang-ngiang sebegitu menyiksa gendang telinganya.
Ketakutan membuat Bara berpikir sejenak, kemudian menjawab lirih, "Seperti berkabut wajahmu, tertutupi oleh bayangan dari langit."
Pada saat orang itu sudah berada di tengah lapangan lagi, kepalanya celingak-celinguk kembali ke arah Bara. Kemudian mendongak demi mengamati matahari yang sejak tadi condong ke barat. Sekarang awan yang menutupi matahari sudah berkurang, panas pun ikut berkurang.
Beberapa lama berselang, orang itu balik kembali ke dekat pohon besar, seperti ada barang bukti yang mau dipastikan tersimpan di sana. Kini wajahnya tersenyum memandangi Bara dengan seringai yang licik. Tapi dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun, kecuali kepala yang mengangguk-angguk. Memandangi tubuh anak itu mulai dari kepala hingga ke kaki, bagai orang yang mau menelan mangsa.
Senyum orang itu berubah nakal saat memandangi dari atas ke bawah lagi, berlagak seperti orang yang tersihir oleh hasrat dan gairah birahi. Bara makin cemas tatkala menyadari situasi ini dapat berubah cepat, bahaya sekiranya tindakan yang genting merampas kehidupannya.
Bara nyaris tergoda untuk merasa lega. Tapi segera saja ia meninggalkan orang itu, beranjak dengan langkah kaki yang terburu-buru. Begitu banyak kekecewaan yang telah terjadi, begitu banyak peristiwa tak terduga yang membuatnya enggan melepas kewaspadaan.
Ketika menerobos kawat berduri yang berlapis-lapis memagari sekeliling tanah lapang, ia hanyut oleh perasaan ngeri. Ia tak ingin memperpanjang masalah, lebih nyaman kalau diam dan pergi daripada mengoceh atau mengomelinya. Lagi pula ia datang ke sini untuk menyendiri, bukan mau berseteru dengan siapa pun. Orang yang jati dirinya masih teka-teki itu, terlihat kecewa sewaktu Bara meninggalkannya begitu saja.
Manakala Bara sudah di luar pagar kawat, ia berbalik arah, dan gilirannya mengintip orang asing itu dari jarak jauh. Nah, dari tempat yang tersembunyi pula Bara melihat samar-samar ada sosok yang mencabuti batang singkong, lagaknya memburu-buru. Mengambil umbi dengan mencungkil tanah pakai golok yang panjang, lalu memasukkan umbi ke goni plastik. Orang itu juga memetik daun singkong yang masih muda di dekat batang yang dicabutnya.
Bara terbuai, lalu mulai paham dengan apa yang samar-samar dilihatnya. "Barangkali saja orang itu butuh uang buat membeli ransum, atau membeli layang-layang, atau jangan-jangan buat taruhan laga. Tapi alasan dia menuduh saya mencuri, bertolak belakang dengan kenyataan. Tuduhan ceroboh yang mengada-ada oleh orang itu, jangan-jangan memang punya maksud untuk mengecoh dirinya sendiri," ucap Bara kepada diri sendiri.
Barangkali saja tuduhan bermaksud untuk meminta Bara pergi meninggalkan tempat itu, supaya dia leluasa mencabuti tanaman dari tanah tanpa saksi mata yang melihat perbuatan. "Tapi…, berapalah harga umbi yang diambilnya, tak sebanding dengan kelicikan menuduh," ucap Bara lagi, "Bukankah tak seberapa uang yang dia dapat kalaupun menjual hasil panen ke pedagang gorengan atau ke warung?"
Bara mengangguk, tanpa menarik perhatian berjalan ke arah utara. Sekarang ini, sedikit demi sedikit keraguan mulai terjawab dengan sendirinya. "Dengan tindakan laki-laki asing mengambil dan membawa singkong ke luar dari tanah lapang, sudah jelas modus perbuatannya, yaitu menuduh orang yang dapat menjadi saksi mata dengan tujuan mengusir," ucapnya lagi.
Yang jelas orang itu bukan pemilik kebun di tanah lapang ini, tapi mungkin juga dia adalah tengkulak buah dan sayuran yang hadir langsung ke tanah lapang untuk memetik tanaman. Kalau tengkulak jangan-jangan dia telah membayar tanaman singkong kepada pemilik tanah lapang, atau membayar kepada petani yang menanam di sana, pikiran lain menggoda Bara. "Tapi kalau sudah membayar, kenapa orang itu membawa panen yang dicabutnya dengan tergesa-gesa, dan enggan kelihatan oleh siapa pun? Kenapa orang itu tidak memegang kunci pintu pagar tanah lapang?" ucapnya lagi.
Bara belum dapat menjawab pertanyaan sendiri dengan jawaban yang mendekati pasti.
Setelah orang itu lenyap dari pandangan mata yang terbatas daya jangkaunya, Bara berbalik dan mengendap-endap lagi ke tanah lapang. Menyingkap kawat berduri. Ia melongok ke kiri dan ke kanan dengan waswas terhadap kemungkinan bahaya lain yang mengintai. Tapi segera ditepisnya perasaan ragu-ragu dengan lagak sok percaya diri.
Sebenarnya tanah lapang ini sesuatu yang menakjubkan bagi Bara. Betapa menolong keberadaan tempat ini pada saat dia mau menyendiri. Sedangkan bagi orang-orang yang suka bermain seperti berlaga layang-layang, tanah lapang ini juga jadi tempat yang asyik untuk bercengkerama.
Siapa pun yang masuk ke sini lazim dengan cara mengendap-endap, karena pagar sekeliling memang melindungi tanah lapang yang luas—lebih luas dari lapangan pertandingan sepak bola. Pagar itu bagai pengawal bersenjata. Sedangkan kebun di dalamnya hanya bagian kecil dari lapangan yang terletak di pinggir Kampung Baru ini.
Sebagian tempat di lahan tanah lapang itu seperti yang tercecer di bagian selatan, ada tempat yang permukaan tanahnya rata. Selama ini tanah yang rata menjadi tempat berkumpul yang menyenangkan bagi warga yang mau kelayapan di sini. Biasanya pengunjung di tanah lapang ini sengaja untuk bersenang-senang dengan menikmati pemandangan lepas, dan udara yang segar, tapi ada juga yang berjalan dengan sebuah buku. Umumnya mereka hadir dari sekitar perkampungan.
Di sini biasanya angin berembus dengan sepoi-sepoi, dan kadang-kadang angin berembus dengan cukup kencang tapi tetap nyaman. Tanah lapang ini cukup asyik bukan hanya untuk tempat bercengkerama, tapi juga bermain gundu, atau apa pun kegiatan yang bisa membakar waktu. Pemandangan luas ke arah sekeliling terasa menyegarkan mata telanjang yang melihat suasana plong.
Namun keberadaan kawat berduri yang mengelilingi tanah lapang, seperti pengawal bersenjata, memang terasa mengganggu bagi pengunjung. Begitu membahayakan orang ceroboh yang mau menyelinap ke tanah lapang, apalagi kalau si penyusup bertindak dengan sembrono.
Anehnya, selama ini pada saat orang ramai di tanah lapang, belum ada kejadian seperti pengusiran dari tempat ini oleh penjaganya, atau barangkali memang tak ada orang yang dengan teratur untuk mengawal tanah lapang, kecuali pagar kawat itu. Rumput liar merunduk akibat terinjak-injak, bukan karena pemangkasan secara teratur.
Meski Bara pernah mendengar cerita yang ganjil dari orang gedean tentang peristiwa masa lalu di tanah lapang ini, baginya cerita itu hanyalah bualan, bukanlah problem yang terlalu mengganggu. Cerita yang didengarnya adalah kisah yang menyeramkan, pertama tentang penemuan korban pembunuhan yang berusia senja di tanah lapang ini, meski ia sengaja mengabaikan cerita yang beredar dari mulut ke mulut seperti folklor itu.
Adapun cerita kedua yang suram dan pernah disampaikan orang-orang dewasa beberapa hari lalu, adalah tentang peristiwa penemuan potongan kepala wanita di sudut tanah lapang ini. Tetap tidak membuat ia takut untuk datang ke sini seorang diri, lagi pula ada teman yang ia tunggu untuk berbual-bual dan menghibur diri.
Dalam cerita orang gedean itu pernah tergambar kisah tentang penemuan mayat yang berbeda lagi, yaitu korban mutilasi yang belum dikenali identitas atau jati dirinya. Mayat yang ditemukan oleh warga Kampung Baru itu berada di satu sudut yang jauh, tepatnya di dekat kebun singkong yang waktu itu terlindung oleh tumpukan sampah. Entah siapa yang membunuh korban mutilasi, dan meninggalkan mayat wanita yang hamil di tanah lapang. Polisi yang melacak keberadaan si pembunuh, sampai sekarang hanya bisa menduga-duga tentang siapa pelaku pembunuhan yang sebenarnya. Akhirnya kasus penemuan mayat ketiga yang terjadi beberapa bulan lalu itu lenyap begitu saja, dan menjadi catatan kumal yang berdebu.
Sejumlah cerita seram lain seperti orang yang melihat kuntilanak pernah juga beredar dari mulut ke mulut, tapi tidak mengurangi minat orang-orang untuk berlaga layang-layang pada sore hari di tanah lapang ini. Seperti yang biasa terjadi pada saat musim layangan, selalu saja ramai orang yang hadir di tanah lapang untuk bercengkerama, atau kelayapan, atau menenteng layang-layang sekadar pamer.
Bara yang memang gemar untuk bermain layangan yang tipis kertasnya, sekarang ini merasakan suasana agak aneh, dan membaui aroma yang berbeda dari biasanya. Apalagi orang-orang terlambat untuk sampai ke sini, termasuk kawan yang telah berjanji dengannya untuk berbual-bual, dan berlaga layangan.
Seperti yang sesudah-sudah terjadi, bagi setiap orang seperti penarung layang-layang yang mau memasuki tanah lapang ini, mereka menyusup dengan menerobos kawat berduri, yaitu mengangkat dua lajur kawat berduri sampai menjadi lebar. Satu lajur ke bagian atas, dan menekan satu lajur lagi ke bawah. Supaya orang yang mau menerobos kawat dapat dengan mudah meloloskan tubuh ke dalam. Begitu pula sebaliknya kalau mau keluar dari tanah lapang ini.
Kalaupun ada yang memotong kawat berduri dengan golok atau dengan gunting tajam, biasanya akan ada orang yang menyambung dan merekatkan kembali kawat berduri itu. Berarti memang ada pengawal atau penjaga yang mengawasi tanah lapang itu, meski tak kelihatan jati dirinya. Lagi pula Bara tak mengenal siapa penjaga itu, atau jangan-jangan dia hanya sukarelawan yang menyambungkan kawat yang putus supaya rekat kembali demi pengamanan.
Meski berpagar kawat berduri pada sekelilingnya, dan ada tulisan peringatan pada papan dengan tiang yang tinggi—bahwa siapa pun dilarang untuk memasuki tanah lapang ini, ternyata sembarang orang suka kelayapan di sini. Begitulah peringatan itu jadi terlantar, hanya sekadar pajangan untuk basa-basi, sebab selalu ramai warga yang datang melayap di sini. Warga datang bukan hanya untuk berlaga layang-layang saja, banyak juga warga yang datang sekadar berleha-leha tanpa tujuan pasti, atau sekadar cari angin senja yang membuai dengan buku di tangan.
Cukup asyik bagi orang yang mau berleha-leha, kalaupun hanya sekadar memandangi permainan layang-layang dengan takjub. Hanya tanah lapang inilah tempat bermain yang luas, dan syahdu untuk melepas kejenuhan bagi warga perkampungan, serta warga sekitar yang berbatasan dengan Kampung Baru.
Sekarang ini Bara tak tahu sudah berapa lama ia kembali di tanah lapang, kini ia sedang melamun dengan khayalan masa lalu. Ia menatap ke sekeliling dengan pandangan mata yang melindap. Kemudian matanya waswas, menyelidiki sekiranya ada orang jagoan yang berkeliaran di dekatnya. Lagi pula masih terngiang-ngiang tuduhan dan kemarahan orang asing itu. Terngiang-ngiang kemarahan Barumunsati. Tudingan kepala oleh Harrisbah juga mengapung kembali dalam pandangan matanya. Tapi kejadian yang lebih menyakitkan adalah orang asing yang menuduh dengan mengada-ngada, yaitu menuduh telah mencuri singkong, padahal si penuduh yang kemudian terbukti mengambilnya.
Kemudian Bara menyeret kakinya ke sumur di dekat pohon kelapa untuk menimba air, dan membasuh wajah yang terasa sepat. Sesekali ia menghirup air sumur dengan rakus, seperti lagak orang yang haus oleh kekurangan air minum. Memang air sumur itu bening, dan cukup enak kalau mau meminum airnya, meski tanpa merebus air terlebih dahulu.
Satu jam berlalu sampai kini, Bara masih sendirian di tanah lapang ini. Perasaaan masygul yang menggerogoti mulai lenyap, sewaktu ia menikmati angin yang mengusap tubuh dengan lembut. Tak lama kemudian dari jarak jauh ia melihat orang asing yang tadi memergokinya, kini dia telah berada di tanah lapang lagi. Sekarang orang itu berkeliling di tanah lapang untuk mencari titik spot yang menggairahan. Kelihatan ia mau menerbangkan layang-layang—seolah-olah telah lupa dengan anak yang tadi sendirian di tanah lapang, dan mendapat hardikannya.