Tangan Bara mengacung untuk mengangkat layang-layang itu, supaya mudah kena sambar angin yang berembus. Laki-laki tegap itu menarik benang dengan terburu-buru, baru kemudian melepas benang dengan teratur, dan kadang-kadang menarik benang dengan bervariasi, yaitu dengan gerakan meliuk-liuk seenaknya. Angin berembus lagi perlahan-lahan, dan layangan orang itu mulai beranjak ke atas. Benang yang menghubungkan layangan itu terulur tambah panjang ke arah langit. Tarikan angin yang bertambah kencang menyebabkan benang gelasan yang tersisa pada gulungan tinggal sedikit sebagai cadangan. Padahal lazimnya benang gelasan itu bertumpuk pada kaleng yang berbentuk bulat sebagai wadah buat penyimpanannya, namun kini cuma tinggal sedikit benang yang tersisa pada kaleng.
Manakala Bara berlari untuk melepaskan ikatan benang di pohon pinang, benang layang-layang hampir saja kena sambar oleh layangan laga milik pemain layangan yang lain. Ia tak ingin menyesali diri kalau layangannya putus tali karena tersambar. Tak ingin pula bersedih hati—seandainya tali benang layangannya copot dari ikatan. Sebenarnya uang di kantong hari ini telah kandas, dan tak mungkin ia dapat membeli layang-layang baru, sekiranya putus benang karena aksi laga oleh pemain layang-layang yang bertebaran. Ia benar-benar bersikap hati-hati untuk menjaga layang-layangnya, jangan sampai ada pemain layangan laga lain—yang hadir dengan galak untuk mematuk benang gelasan. Karena benang gelasannya tipis dan rapuh, bukan benang buatan industri rumahan yang lebih kuat untuk memperlagakan di udara. Alamat celaka kalau layangan putus tali, lalu minta dibelikan layang-layang baru kepada orang tuanya. Selain permintaan belum tentu akan dituruti oleh ayahnya, bisa jadi malah kena damprat. Apalagi tadi Bara membangkang atas larangan Barumunsati agar jangan beranjak dari rumah, tapi malah dibantahnya dengan tetap berangkat, dan pergi begitu saja meninggalkan Barumunsati.
Sekarang ini laki-laki yang bertubuh tegap, tinggi, dan berlagak galak itu, bersiul-siul dengan riang. Embusan angin beredar makin kencang untuk menerbangkan layang-layangnya dengan lenggok-lenggok yang aduhai. Kepalanya mengangguk-angguk, dan sesekali bergoyang ke kiri dan ke kanan—pertanda kegembiraan sedang menyeruak ke semua urat nadi tubuhnya.
Orang-orang dewasa yang lain berdatangan lagi ke tanah lapang. Mereka datang ke tanah lapang untuk melepaskan layang-layang, supaya cepat menjejak dekat awan di ujung langit. Makin sore pemain layang-layang bertambah ramai di tanah lapang, hadir dengan meluapkan kegembiraan yang jarang mereka nikmat. Seperti cara yang biasa terjadi, mereka masuk ke sini dengan menyingkap kawat berduri berkarat. Menerobos ke dalam sambil membungkuk, tak berbeda dengan lagak yang tadi anak itu lakukan untuk sampai ke tengah tanah lapang.
Rasa ketakutan yang tadi hinggap dalam benak Bara, yaitu pada saat hanya sedikit orang yang bermain di sana, sekarang ini perasaan takut agak tersisih, sampai akhirnya tersingkir. Keheningan dalam hati hanya tersisa sedikit saja, berganti dengan suasana jiwa yang bertambah riang seolah-olah ada bunga mawar yang menghampiri.
Anak itu tambah gembira tatkala teman yang lama ditunggunya, betul-betul menampakkan sosok yang tak tertukar. Lantas Bara menyambut kawan sebaya, yaitu Oskar—yang datang dengan tergopoh ke tanah lapang. Oskar seperti orang yang bersujud mau minta maaf atas keterlambatan, sebab Ayahnya juga melarang untuk bermain layangan di tanah lapang, apalagi cerita tentang penemuan kepala mayat di sini masih beredar dari mulut ke mulut.
Tapi sekarang Oskar sudah dapat menyingkirkan rasa kecewa yang tertahan oleh Ayahnya, mau mengibarkan layang-layang di tanah lapang dengan cara yang unik, yaitu memperagakan gaya berlari. Ia mengibarkan layang-layang dengan teknik mengayun-ayunkan sendiri layangan, lalu berlari-lari dan mengapung dengan langkah kaki yang ringan. Kemudian Oskar bergerak dengan cekatan, sedangkan langkah kakinya terentak, dan mengetuk dengan cepat. Begitu pun ia masih kesulitan untuk menaikkan layang-layang, sebab gerak angin sedang lemah lunglai. Sekarang di tanah lapang ini gerak angin belum cukup memadai untuk menerbangkan layang-layang dengan cepat dari arah bawah ke permukaan atas.
“Kamu jangan sungkan untuk datang ke sini Oskar, saya akan memegangi ekor layang-layangmu yang aduhai itu,” kata Bara dengan tanggap mau membantu temannya. “Nggak bayar kok.”
Oskar memandang heran ke arah langit, dan membayangkan langit marah padanya seperti kemarahan Ayahnya. Ia kian tercengang, takjub kenapa layang-layang sekali ini kurang beruntung sewaktu gerak angin mengayun dengan lunglai dan cenderung lemah. Kenapa bisa begitu lemah gerak angin, berbeda dari harapan saya semula, pikir Oskar, seharusnya angin bergerak kencang. Apakah Ayah ikut berdoa supaya angin berhenti dalam waktu yang lama?
“Sudah saya kasih penawaran, ayo mendekat ke sini. Saya mau menolongmu, supaya layang-layangmu lekas sampai ke langit. Kalau saya pegang layang-layangmu, percayalah, angin dengan cepat akan berembus. Layangan punya Oskar akan lekas bergerak untuk mencapai ke langit paling ujung!” ucap Bara dengan sok yakin.
“Saya khawatir kalau sampai mengganggu permainan layanganmu, Bara!” jawab Oskar sok jual mahal. “Kalau hanya untuk menaikkan layang-layang yang sederhana ini, saya sendiri juga bisa melakukan tanpa bantuan siapa pun.”
“Saya sudah biasa menawarkan jasa kepada teman baik. Ke mari kamu, nggak apa kok! Kamu jangan lupa menarik benang kalau nanti ekor layang-layangmu saya lepaskan, ya,” kata Bara mengingatkan. “Jasa saya gratis kok.”
“Sip deh!” jawab Oskar dengan kalem. “Kalau saya punya banyak teman yang baik hati dan ringan tangan seperti kamu, nggak akan ada kesulitan apa pun yang perlu saya khawatirkan. Semua persoalan bisa saya atasi dengan tangkas. Saya akan dapat mengatasi setiap kesukaran dengan langkah yang gampang berkat bantuanmu, Bara.”
“Bersiap saat kamu harus menarik benang sekencang-kencangnya—pada saat ekor layang-layang saya julurkan ke atas. Seketika saya akan mengangkat tangan tinggi-tinggi untuk melepas ekor layangan itu!” kata Bara lagi. “Jangan lengah, segera kamu tarik benang gelasanmu itu, ya.”
Berlanjut setelah bimbingan singkat itu, dengan langkah berlari-lari terlebih dahulu Bara perlu menyelamatkan layang-layang miliknya, yaitu dengan cara mengikat benang pada pohon pinang. Ia melongok ke langit, mau memastikan kalau layang-layangnya akan nyaman dari kemungkinan gangguan layangan laga seteru yang cemburu padanya. Barulah ia membantu dengan memegangi ekor layangan, dan memastikan layang-layang temannya yang baik hati, segera menanjak ke langit dengan gerak yang meliuk-liuk. Tatkala layang-layang Oskar beranjak berkat gerak angin yang bertambah lincah, Bara pun tak dapat menyembunyikan senyum. Senyum di bibir Oskar juga mengembang dengan tersungging, ikut merasa puas berkat bantuan kawan yang sebegitu tulus.
Pada kesempatan sekali ini beruntung, sebab embusan angin langsung menyambar dengan kencang sekali. Tatkala angin menyambar layang-layang Oskar seperti kilatan cahaya, membuat layang-layang dengan garis berwarna kuning di kepala itu mudah melesat ke awan, bahkan nyaris putus karena embusan seperti badai. Lalu Oskar menahan diri, lalu dengan pelan mengulurkan benang gelasan sewaktu embusan angin melambat, dan sesaat berubah dengan bertambah kencang lagi. Cuaca belakangan ini memang tak menentu, bisa terjadi hal yang sulit terduga pada alam. Lantas muncul layangan laga yang lain mau mendekat, tapi angin yang bertiup kencang malah menerbangkan layangan Oskar kian dekat ke langit, berseling dengan suara berdesau yang mendinginkan segala perasaan ceria.
Oskar memandangi Bara sambil melempar senyum kekaguman pada temannya, dan seketika Oskar memperagakan tanda jempol ke arah Bara pertanda pujian yang membuat hati melambung ke langit. Bermain layang-layang saat angin bergerak dengan gagah, serasa berada di taman bunga yang bergoyang dengan meliuk-liuk.
Tak lama kemudian Bara mengingatkan Oskar agar menyumpal kuping dan pergi jauh dari laki-laki yang bertubuh tegap itu, sebab tak ada untungnya kalau mau mendekat atau berteman dengannya. Orang itu sangat galak, kalau lagi marah ia suka menghardik dengan menunjuk-nunjuk, dan gelagatnya seperti anjing yang suka menggonggong, kata Bara kepada Oskar. Mendengar cerita yang menyeramkan itu keberanian Oskar lenyap dengan mengulum senyum getir, sebab khawatir kalau orang yang dimaksud oleh Bara segera mendatangi tempatnya bermain, berlagak jagoan sambil marah-marah, atau muncul dengan congkak seperti preman pasar.
Kedua anak itu saling tatap lagi dengan mata membelalak, kemudian tersenyum satu dengan yang lain untuk meyakinkan diri mereka masing-masing, bahwa sekarang ini mereka dalam keadaan aman dari gangguan siapa pun yang arogan. Kalau ada orang gedean yang mengganggu kita dengan menyalak, harus berani kita lawan, dan satu dengan yang lain akan saling menolong demi ketangguhan kita, begitu kata Oskar. Bara mengangguk setuju dengan membenarkan seruan Oskar di dalam hatinya.
Selama ini persahabatan antara Bara dengan Oskar terjalin dengan sikap saling menolong, pengertian satu dengan yang lain tumbuh bagai lampu yang menerangi bagi tempat yang gelap. Keduanya memang berteman elok, dan dengan suka rela untuk saling mendorong antara satu anak dengan anak yang lain supaya punya martabat, apalagi sekiranya ada yang mau membutuhkan dukungan, atau butuh uluran tangan yang segera. Keduanya juga elok hati, dan sikap menolong di antara mereka terjalin sejak lima tahun lalu dengan bermula dari perkenalan sekilas, tapi berlanjut dengan persahabatan yang terjalin di luar lingkungan sekolah. Tak ayal lagi keduanya memang sebaya, sepadan satu dengan yang lain, bahkan saling melengkapi kekurangan yang tersembunyi sekalipun. Lantas kecocokan itu pula yang ikut mempermudah tumbuhnya saling pengertian di antara mereka.
“Kamu memang kawan baik saya yang murah senyum, mau mengulurkan pertolongan bagi siapa pun yang butuh bantuanmu. Beruntung bantuanmu datang pada saat yang tepat, tanpa saya harus memintanya. Kamu pun melakukan tugas dengan ringan tangan, dan wajah yang semringah,” kata Oskar memuji Bara. “Semuanya gratis pula! Kamu ikhlas!”
“Kamu bisa saja bergurau kalau lagi senang, padahal ini kan perbuatan yang biasa saja, dan siapa pun bisa melakukan kalau hanya memegang ekor layangan!” jawab Bara dengan lirih. “Pujianmu itu membuat hati saya melambung ke langit, sekaligus membuat kepala saya jadi bengkak seperti balon.”
“Kalau kamu melihat dada saya, kamu akan paham kalau pujian saya benar-benar tulus kok, tanpa agenda yang tersembunyi,” tukas Oskar sambil tersenyum malu. “Tapi…, tunggu…, kalaupun Bara sudah menolong, jangan kamu sambar layang-layang saya. Bentuk benang gelasan saya itu tipis seperti lubang jarum, pasti kalah oleh benangmu yang tentu saja pasti tajam melebihi pisau silet!”
“Jangan meledek, kamu kan paham kalau benang gelasan yang saya punya juga tipis. Serat kaca halus yang melapisi benang saya itu kurang lembut, kalau kena laga dengan beradu kuat oleh benang yang tajam milik pemain layangan lain, lalu terjadi gesekan di langit oleh seteru, tentu saja bahaya bagi keselamatan layangan saya. Kalau gesekan terhenti di sundulan noktah benang gelasan layangan saya, tak sulit untuk memastikan kalau benang layangan saya mudah terpotong. Saya harus tangkas untuk menghindar dari kejaran layang-layang laga yang galak, karena itulah saya mau menghindar dari mereka. Saya mau bermain dengan cara yang aman dari gangguan siapa pun, Oskar!”
“Kalau saya malah khawatir pada satu soal, yaitu orang-orang gede di sini yang acap bertindak jahat, dan kadang-kadang suka brutal. Bisa saja mereka dengan seenaknya menukikkan layang-layang ke layangan musuh seperti layangan kita. Mereka suka berlagak pamer, dan merasa bangga kalau benang kita yang tipis dapat ditaklukkan oleh benangnya yang tajam. Benang gelasan mereka kan buatan pabrik, pasti lebih kuat, dan tentu saja harga benangnya pun mahal. Kalau benang gelasan saya hanya benang hasil kerajinan tradisional, benang buatan oleh kerajinan tangan kami yang mau kotoran.”
“Maksudmu…, tanganmu yang mengolah sendiri benang gelasan itu, Oskar?”
“Ya! Betul itu! Hasil kerajinan tangan kami sendiri, berarti kami yang mengolah bahan dari awal!”
“Kalau begitu bagaimana cara kamu sewaktu mengolah benang gelasan itu?”
“Ada deh! Itu kan rahasia dapur yang harus disembunyikan. Kamu mau tahu saja bisnis orang.”
“Kasih tahu cara pembuatan yang sebenarnya, dong! Kan saya juga mau terampil seperti tanganmu.”
“Baiklah, kalau kamu mau mendengarkan akan saya ceritakan dengan apa adanya, Bara.”
“Saya nggak sabar untuk mendengar pengalamanmu pada saat membuat benang gelasan yang bentuknya indah dan kuat itu, Oskar!”
“Sungguh mudah kok cara pengolahan benang gelasan. Siapa pun bisa melakukannya.”
“Bagimu mudah, tapi bagaimana caranya?”
“Mulanya kami membuat serat kaca sampai menjadi rata dengan permukaan yang halus. Serat kaca itu kami tumbuk berulang-ulang sampai bentuk halus serbuknya seperti atom.”
“Lalu? Apa lagi langkah selanjutnya terhadap atom itu?”